Tetaplah menjadi sahabatku selamanya.!" Dhini mulai tersedu-sedu. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya perasaan Mya nantinya. Namun, dia selalu berdo'a agar perkiraannya salah tentang perasaan Mya pada Ryan.
***
Senja di ufuk barta mulai menampakkan warnya yang indah di pandang. Aku merapikan jelbabku sambil tersenyum bahagia. Menikmati warna kemerah-merahan sang mentari sore di bangku mesjid bersama Dhiny. Ku lirik Dhiny yang begitu gugup dan hanya melirik berkali-kali jam unik di pergelangan tangannya.
"Dhin... kamu kenapa?" tanyaku.
"Hehehe... nggak kok. Memangnya jam berapa Ryan tiba?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Kayaknya sebentar lagi..sabar ya?" ucapku tersenyum.
Sebenarnya ada sebersit rasa aneh melihat tingkah dhiny yang kaku. Namun ku coba tepiskan semua hal-hal buruk yang dibisikkan syeithan terkutuk. Tiba-tiba sosok yang tinggi jangkung dengan kacamata minusnya menghampiriku dengan ngos-ngosan.
"Assalamu'alaikum...!" sapanya
"Wa'alaikumsalam!" balas kami berdua.Aku tertunduk pelan begitu juga dhiny.
" Dhiny... kamu kok ada disini?" tanyanya gugup.
Aku berpaling kearah Dhiny yang salah tingkah. Dhiny menatapku meminta pertolongan.