Bapak : “Hanya orang yang mengaku dirinya bermartabat dan ngaku berpendidikan tinggi menyebut dingklik dengan kata kursi, Bune. Kursi yang jadi rebutan. Kursi yang membuat manusia lupa diri. Kursi yang diperjuangkan sampai mati-matian. Kursi untuk saling menjatuhkan. Kursi yang menjadi kehormatan. Waladalah…, fungsinya sama lo buat sandaran buntut yang pesing la kok mlekete.”
Simbok : “Dingklik hanya milik rakyat kecil seperti kit,a Pakne, rendah di atas mata kaki dan di bawah lutut. Beda dengan kursinya orang-orang di atas sana. Sebuah kursi jati berlapis busa empuk yang mewah bernilai pundi-pundi rupiah.”
“Tapi ntah mengapa Marzuki lupa akan dingklik Simboknya.”
Bapak : “Marzuki itu sudah tergila-gila sama dingkliknya orang di atas sana, Bune.”
Simbok : “Dulu semasa kecil Marzuki dengan senang hati membawa dingklik ini mengikuti Simboknya jualan nasi jagung keliling kampung. Kini dingkliknya dilupakannya.”
Bapak masuk kamar tanpa berkata apa-apa. Sambil menyedot rokok pipa tua kesayangannya. Simbok tetap asik mipil jagung sambil nembang lagu rindu untuk anak semata wayangnya itu.
Dek jaman berjuang
njuukelingan anak lanang
Biyen tak openi neng saiki ono ngendi
Jarene wes menang
Keturutan seng digadang