Bapak : “Sudah-sudah, jangan kau ingat-ingat lagi bocah itu, tugas kita sudah cukup.” (Jawab Bapak dengan nada tidak senang).
Simbok : “Dingklik tua milik Simbok ini simbol kesederhanaan, tapi tidak dengan kursimu, Marzuki. Kau kini berubah. Benda itu telah mengubur hatimu yang dulu Mbok kenal.” (perlahan Simbok menduduki dingklik tua dari kayu akasia yang dibuat suaminya beberapa tahun silam).
Bapak : “Kursi-kursi itu buatan pribumi dari ladang petani. Kini disulap dengan pernis mengkilap. Tapi sayang pemakainya lupa bahkan mungkin tidak kenal pembuatnya, Bune. Dari tubuh legam petani inilah barang-barang mereka di sulam, juga nasi yang jadi bumerang karena rakyat disuruh diet. Ndak ilok makan nasi kebanyakan nanti bikin otak bodoh dan tak bertenaga. Ya, mungkin kita disuruh makan sandal saja nanti juga kenyang.”
Simbok :”Dingklik oglak aglik…yen kecelik adang gogik.”
Simbok menerawang menatap halaman rumah itu. Tatkala memori masa-masa kecil Marzuki melintasi matanya penuh rindu membiru. Lima belas tahun silam di halaman itu sangat ramai marzuki dan teman-temannya dolanan disaat bulan purnama menyenandungkan dingklik oglak aglik berkeliling menyilangkan kakinya sambil berputar-putar. Suara itu masih terdengar kuat di genderang telinga simbok.
Yo Pasang Dingklik oglak aglik
Yen kecelik adang gogik
Yu yu mbakyu mangga datheng pasar blanja
Leh-olehe napa
Jenang jagung enthok enthok jenang jagung
Jenang jagung enthok enthok