Viona :”O…iya. Ngomong-ngomong ini Bapaknya, Abang? Selamat siang, Bapak, dan ini siapa adiknya, Abang?.”
Bapak duduk terdiam memandangi keduanya tak selera.
Marzuki :”Bapak, perkenalkan ini temanku namanya Viona.”
Gadis :”Bapak, saya Viona.”
Berusaha menjabat tangan Bapak tapi tak dihiraukannya seakan tangan itu sesuatu yang najis untuk disentuh
Bapak :”Tak perlu kalian basa-basi. Apa maksud kedatangan kalian di gubuk ini ha? Apa istana di senayan tak cukup nyaman hingga kalian harus bersusah payah datang di gubuk reot ini?”
“Kalian datang hanya untuk meleburkan rindu yang sudah lama pergi. Apakah kalian akan memanggilnya dengan ribuan pengeras suara? Semua sudah tidak berlaku. Kinanti, ambilah bingkisan itu untuk Marzuki.”
Kinanti masuk ke kamar Simbok dan keluar membawa bingkisan yag terbalut sarung milik Marzuki kecil. Ia menyerahkan bingkisan itu kearah Marzuki. Secara perlahan Marzukipun membukanya. Dia terdiam tak mengerti, apa maksud dari semua ini.
Marzuki :”Apa ini? Sarung dan dingklik? Apa maksud semua ini, Bapak? Kinanti apa maksudnya, katakan padaku?”
Kinanti :”Seminggu yang lalu Simbok meninggalkan kami. Kerinduan itu begitu menghunjam hebat hingga Simbok tak mampu melawan degup gelombang rasa. Simbok telah tiada, Kang, dan ini adalah pesan terakhirnya. Dia sangat merindukanmu, dingklik inilah peninggalan sebagai kado yang nantinya kau akan mengerti makna di balik semua ini, Kang.”
Marzuki :”Jadi...jadi…, Simbok sudah meninggal? Tidak!? Tidak mungkin Simbok pergi secepat itu. Mbok! Mbok!! Anakmu datang, Mbok!”