Suara Bapak melengking dari arah samping halaman.
Marzuki :”Dengarkan, Viona. Aku …, aku!?”
Kinanti :”Kang Marzuki adalah satu-satunya laki-laki yang menemani hatiku. Hubungan itu terjalin delapan tahun lamanya. Musim jagung sudah berganti ratusan kali. Sampai sang pemilik pendaringannya sudah pergi ke alam keabadian.”
Viona :”Jadi kalian?” (menatap tak percaya) “Sudah lama menjalin hubungan? Bang! Kenapa Abang diam! Apakah Abang masih punya nyali untuk sedikit dewasa? Bang, jelaskan padaku apakah benar yang dikatakan perempuan itu bang?”
“Apa kau pikir perempuan juga bisa kau samakan dengan sandiwara politik yang selalu kau tebarkan dengan pesona janji-janji manismu! Jawab, Bang!”
“Dan kau, Kinanti, apakah kau masih berharap Bang Zuki menjadi lelaki terakhirmu?”
Kinanti :”Tidak. Semua sudah berakhir, Viona. Kedatanganmu adalah jawaban yang selama ini terkatung.”
Marzuki :”Diam! Diam semuanya! Tidakkah kalian bisa diam barang sebentar! Kalian tidak tahu perasaanku. Simbok meninggal! Kalian masih memperdebatkan perasaan? Ha!”
(Marzuki berteriak sekencang-kencangnya. Matanya melototi kedua perempuan yang sedang bergejolak hatinya)
Viona :”Perasaan? Kau pikir kami kursi yang mematung yang tak punya hati Bang! Kau permainkan semua hati perempuan, termasuk ibumu, Bang!”
Viona tak kuasa menahan tangisnya.