“Kaukah yang datang itu, Le. Kemarilah, Simbok sangat rindu. Ayo cah bagus temani Simbok tidur. Karena sebentar lagi Simbok akan kangen sekali. Rasa sakit ini tak seberapa anakku, dibanding rindu Simbok pada wajahmu itu, Le.”
Bapak : “Sudahlah, Bu, doakan saja anakmu itu. Di sampingmu itu Kinanti bukan Marzuki.”
(Bapak semakin kuat menghisap rokoknya dari tembakau yang diirisnya dimusim yang lalu)
Simbok : “Jika seragam itu membuatmu lupa diri, segeralah kau tanggalkan, Anakku. Simbok yakin hatimu sedang tertipu. Sarungmu sudah lama menunggu ingin mendekapmu penuh rindu. Sarung itu kejujuran diri menerima nasib. Bukan kepura-puraan.”
Kinanti : “Ini Kinanti, Mbok. Saya yakin Marzuki tetap setia dengan sarung miliknya. Waktulah yang memisahkan keduanya. Saat ini biarlah teman istimewa itu sepi, meski mereka bilang uang.” (sambil memeluk Simbok)
Bapak : “Kinanti, apa kau yakin Marzuki lelaki yang baik? Sudah sepantasnya kau terima pinangan lelaki lain. Kamu hanya menyia-nyiakan waktu untuk orang yang belum tentu masih mengenalmu, Cah Ayu.”
Simbok : “Kinanti, maafkan Marzuki. Meski kamu hanyalah kekasihnya. Tapi kamulah yang sebenarnya anak Simbok yang dikirim Tuhan menggantikan nafas Marzuki.” Simbok memeluk erat Kinanti
Kinanti membalas pelukan Simbok dengan erat. Dipagutnya rindu itu dari sosok perempuan lugu yang tak kuasa menahan rasa yang menggelegak. Seperti hatinya itu.
Simbok :”Kinanti, jika suatu saat nanti Simbok sudah tidak ada lagi. Apakah kau akan tetap setia melihat gubuk ini? Dan membuatkan kopi tumbuk buat Bapakmu, Nduk?”
Kinanti :”Sudahlah, Mbok. Mengapa Simbok berkata seperti itu? Kinanti akan setia untuk Bapak dan Simbok juga Akang. Meski suatu hari nanti toh Akang bukan jodoh Kinanti. Kinanti akan selalu ada buat Bapak juga Simbok.”
Bapak : (menarik nafas berat)