“Seperti santan saja hidup ini. Santan kental dihasilkan dari kelapa tua akan menghasilkan jlantah yang harum. Diminum menyehatkan, dibuat sisiran juga baik buat rambut kepala. Berguna untuk minyak urut kaki saat keseleo. Tapi di luar sana banyak minyak kelapa instan yang didapatkan dari kebun industry. Meratakan hutan lindung membakar lahan untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Rakyat jelata yang jadi korban karbon dioksida. Plepeken akhirnya terbunuh pelan-pelan.”
Rintihan Simbok semakin pelan dan hamper tak terdengar.
Kinanti :”Mbok!, Mbok! Aduh Bapak sepertinya demam Simbok makin menjadi.”
Simbok :”Marzuki…! Marzuki!” (suara Simbok terdengar kembali) “Simbok hanya berpesan padamu, Nak. Rawatlah dingklik Simbok itu. Kelak kau akan tahu rasa sayang simbok tetap terjaga dan menemanimu setiap saat menyandarkan tubuh tua ini seperti kesetiaan dingklik menemani hari-hari Simbok mencari sesuap nasi.”
Bapak :”Bune! Bune! Sadar, Bune!.”
Simbok :”Bapak, Kinanti, Simbok titip Marzuki. Bagaimanapun dia adalah anak manja yang selalu minta perhatian. Simbok harus pergi. Biarlah rindu itu berlabuh di dingklik tua itu. Jangan lupa sampaikan juga kerinduan sarung sunatnya, yang masih menyimpan luka irisan lelakinya.”
Bapak tak kuasa berkata-kata. Dipandanginya perempuan tua yang kian anggun termakan usia itu. Angin berhembus beriringan suara jangkrik seakan menyaksikan malaikat Izrail dengan senyuman menyambut ruh kedamaian. Sosok tubuh tua itu melemah dan akhirnya matanya terkatup lesu. Tangis pun pecah bersama lenggokan teplok yang juga menangisi kepergian perempuan tua itu.
Babak 5
Di balik pintu berkayu mahoni itu sosok yang selama ini menjadi buah bibir pun datang. Ia tampak lebih gagah daripada lima tahun lalu. Seragamnya necis dengan berbagai title bak anak pramuka yang sedang mengikuti jambore nasional.
Bapak : “Rupanya kakimu masih menginjakkan bumi, Marzuki?”
“ Angin apa yang membuatmu ingat jalan menuju rumah ini?