(Marzuki menangis sejadi-jadinya)
Bapak :”Kenapa, Marzuki? Kamu menyesal? Kenapa kamu baru menyesal? Barangkali kamu baru tersadar dari mimpimu itu. Sudahlah jangan buang-buang air matamu itu yang justru mengotori bajumu itu yang bermartabat.”
Marzuki menangis sambil memeluk sarung sunat sembari memegangi dingklik yang dulu biasa ia tenteng keliling kampong saat Simbok menjajakan nasi jagung. Kenangan itu sangat manis tapi peerempuan lugu itu kini telah meninggalkan ia selamanya.
Marzuki : “Simbok, maafkan Marzuki. Selama ini Marzuki terlalu sibuk dengan urusan Negara hingga meninggalkanmu.”
Bapak :”Negara kau bilang? Negara yang mana yang kau perjuangkan ha!? Omong kosong saja!”
Kinanti :”Sudahlah, Bapak!”
Kinanti menenangkan Bapak yang sedari tadi ingin menerkam saja makhluk yang ada di hadapannya. Bapak meninggalkan ruang tamu itu. Ia bergegas menuju kebun samping rumah. Dan membawa jauh-jauh perkutut kesayangannya.
Viona mendekati Kinanti yang berdiri tak jauh dari dirinya.
Viona :”Kamu siapa? Setahu saya Abang tidak pernah cerita kalau dia punya saudara perempuan?”
Viona menatap Kinanti penuh curiga. Dia telanjangi tubuh ayu itu dengan pandangan matanya yang penuh tanda tanya.
Bapak :”Tanyakan saja calon suamimu itu?”