Yuna mengangguk mengiyakan. "Hm, jadi apa yang ingin kak Yuri bicarakan?"
"Bunda. Ini tentang bunda." Matanya berkaca-kaca. Yuri mendongakkan wajahnya, menahan air mata yang menerobos untuk keluar.
Yuna menatap Yuri cemas. "Bunda? Bunda kenapa kak?"
Ia menghela napas. "Bunda masuk rumah sakit. Penyakitnya kambuh mendengar Ayah sedang dekat dengan perempuan dan akan menikah lagi. Aku butuh bantuanmu, bisakah kamu membujuk Ayah agar membatalkan rencananya?"
Yang diajak bicara menggigit bibirnya, perlahan menundukan kepalanya. "A-aku sudah satu tahun pindah ke apartemen. Ayah memintaku untuk belajar mandiri dengan cara pisah rumah dengannya. Setiap akhir semester Ayah akan mengunjungiku ke apartemen. Aku baru tahu kalau Ayah akan menikah lagi."
Sang kakak membolakan matanya, terkejut mendengar pernyataan adiknya. Ia sekarang benar-benar benci Ayahnya. Bagaimana bisa anak usia lima belas tahun dituntut untuk hidup sendiri di apartemen? Ia bersyukur memilih untuk ikut sang Bunda, walaupun ia harus bekerja banting tulang membantu sang Bunda memenuhi kebutuhan rumahnya.
Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar yang diterangi lampu jalan menuju apartemen gadis yang lebih muda. Tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hanya terdengar derap langkah dari sepatu yang bergesekan dengan aspal.
"Kak, ayo masuk." Ajak Yuna kepada sang kakak.
Yuri mengangguk lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Yuri berhenti melangkahkan kakinya lalu menatap sekeliling. Apartemennya mewah, sangat mewah. Dengan interior yang elegan dan fasilitas yang canggih.
"Woah, ini sangat mewah Yuna." Yuri bersuara dengan matanya yang berbinar.
"Hm, mewah tapi sepi apa enaknya?" Jawab Yuna yang sudah duduk di sofa empuknya.