Perempuan itu tampak sedikit pucat. Matanya terlihat sembab, seperti baru saja menangis. Dia membalas sapaanku dengan senyuman, namun kedua alisnya mengangkat saat dia tersenyum. Aku masih mencoba mengenali wajahnya.
"Halo," katanya, membalas sapaanku. "Saya lagi mau cari bunga lili dan bunga matahari, di sini jual enggak, ya?" lanjutnya bertanya.
"Ada, Kak," jawabku. "Untuk yang bunga lili, mau warna putih atau merah, Kak?" tanyaku, memastikan warna pilihan perempuan itu, sambil menerka soal momen yang sedang dirayakan olehnya.
"Warna putih dan kuning, ada?" balasnya lembut.
"Baik, Kak, sebentar saya ambilkan," balasku, sambil berjalan ke arah rak bunga lili dan bunga matahari.
Wajah perempuan itu tidak asing, bau parfumnya juga pernah aku kenali sebelumnya. Mungkin, dia termasuk pembeli yang dulunya sering datang, sama seperti Padma.
Ketika aku sedang membungkus bunga-bunga pesanannya, perempuan itu beberapa kali sibuk menyeka matanya. Aku bisa melihat air mata yang membendung di ujung matanya.
"Kak? Kakak enggak apa-apa, kan?" tanyaku memastikan.
Dari kejauhan, aku melihat perempuan itu langsung menurunkan kedua lengannya sesaat setelah aku bertanya, berusaha menyembunyikan sebuah perasaan sedih yang terlihat begitu jelas. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Setelah membungkus bunga pesanannya, aku berjalan ke arahnya, menghampiri perempuan itu dan berkata, "Kakak dulu sering datang juga, ya? Rasanya aku pernah liat Kakak..."
Sekali lagi, dia tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Saya mau bilang terima kasih," katanya.