Maka dari itu, aku mengiyakan tawaran paman untuk menjaga toko bunga miliknya.
*
Tentu saja, paman tidak tahu alasan yang sebenarnya. Aku sengaja tidak memberitahukannya, menghindari pertanyaan-pertanyaan aneh yang membuat situasinya semakin rumit. Aku hanya bilang kalau rutinitas harian di kantor membuatku jenuh, dan aku ingin mencari suasana yang baru.
Setidaknya, alasan itu jauh lebih sederhana dan masuk akal, ketimbang harus menjelaskan semua kronologisnya dari awal. Ditambah lagi, aku juga percaya bahwa menjadi dewasa bukan lagi sekadar merayakan emosi.
Lebih jauh lagi, menjadi dewasa adalah sebuah seni memendam perasaan.
Melalui pengalaman sebagai pegawai kantoran, aku mulai memahami kebiasaan orang dewasa. Mereka cenderung mencari titik tengah, antara menjadi diri sendiri yang autentik, dengan tetap menjaga profesionalitasnya di tempat kerja. Perlahan-lahan, aku menemukan jawaban baru dari pertanyaanku semasa remaja.
Kurasa, inilah alasan mengapa ayah selalu membentak ibu setiap pagi, melampiaskan emosi yang tidak mampu diluapkannya di kantor. Tentu saja, dengan embel-embel 'profesionalitas'. Itu juga alasannya kenapa ibu selalu memaafkan ayah, bukan malah berbalik marah seperti aku yang membenci sifat buruknya.
Ayah mampu memendam perasaannya dengan baik, namun ia kesulitan untuk melampiaskannya melalui hal-hal baik.
Sekarang, aku mulai memahami cara unik manusia untuk menyalurkan emosinya. Beberapa teman kantorku misalnya, ada yang melatih kemampuan menulisnya dengan membuat utas panjang di platform sosial media X. Beberapa yang lain menyalurkan emosinya melalui hobi, seperti bermain sepak bola, mengumpulkan koleksi mainan, dan sebagainya.
Ternyata, memendam sebuah perasaan bukan berarti harus kehilangan diri sendiri. Aku juga bisa menyimpulkan bahwa ayah adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan kesalahan utama seorang manusia ketika memendam perasaannya. Terkadang, perasaan perlu dipendam untuk diolah dengan baik, oleh hati, dan oleh pikiran.
Di tahap itu, ayah gagal meluapkan emosi yang muncul dalam hatinya. Alih-alih meluapkannya dengan hal-hal positif, dia malah menyalurkannya lewat bentakan setiap pagi.