"Terima kasih?" tanyaku bingung.
"Ya," jawabnya. "Bunga-bunga di toko ini, dulu sering dibawakan oleh anak saya, ketika saya masih sakit," dia melanjutkan.
Aku tertegun sejenak, kemudian senyuman lebar mengembang dari wajahku. "Oh, tentu saja! Kakak pasti ibunya Padma, ya?" tanyaku, semringah.
"Syukurlah kalau Kakak udah sembuh! Oh iya, bagaimana kabar Padma? Aku sudah lama tidak melihatnya berkunjung ke toko."
Mendengar kalimatku, perempuan itu terkejut. Seolah kata-kata yang keluar dari mulutku menusuk tepat di jantungnya. Air matanya mengalir deras, terjun dengan cepat membasahi pipi perempuan itu.
Tanpa sempat membalasku, perempuan itu memberikan uangnya, lalu bergegas membuka pintu, sambil menyeka air matanya yang tumpah.
Aku tenggelam dalam pikiranku, menebak-nebak apa yang terjadi dengan Padma dan ibunya. Setelah dia pergi, aku berdiri di depan etalase, memandang ke arah jalan yang mulai sepi.
Pertemuan singkat dengan Padma dan ibunya menyisakan banyak pertanyaan yang timbul. Angin dingin tanda hujan mulai menyeruak, masuk menghembuskan helai pada kelopak bunga. Warna-warna cerah pada kelopak bunga yang terpajang mulai berubah menjadi gelap.
Di tengah awan hitam yang muncul beriringan, hanya terdapat dua warna yang masih menyala dengan terang, tidak terpengaruh oleh redupnya cahaya matahari sore itu. Mereka adalah warna putih dan kuning. Dua warna yang justru digunakan ketika sedang berkabung, merayakan kesedihan.
Aku yakin, Padma pasti rindu dengan pertemuan kita, sama seperti aku merindukannya. Sampai bertemu lagi, Padma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H