Beberapa minggu setelahnya, tepat saat jam menunjukkan pukul lima sore, dentingan lonceng kembali terdengar. Gadis itu datang lagi, dengan seragam yang sama, juga senyuman yang tidak berubah.
"Permisi, Kak," sapanya lembut, sama seperti sebelumnya. Kali ini, dia meminta bunga lili putih dan bunga matahari. Tanpa banyak bertanya, aku segera mengambil bunga yang diminta, menghiasnya, lalu membungkusnya dengan hati-hati.
Selama beberapa minggu berikutnya, gadis itu selalu menyempatkan untuk datang. Dia selalu membeli bunga yang berbeda di setiap kunjungannya. Ketika aku bertanya, untuk siapa bunga itu, jawabannya selalu sama: "Untuk mama."
Keinginannya yang sederhana, namun konsisten, membuatku penasaran. Hingga di suatu sore, ketika dia datang untuk kesekian kalinya, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam.
"Dik, boleh aku tahu kenapa kamu selalu beli bunga buat mama?" tanyaku halus.
Gadis itu tersenyum kecil, kembali mengangkat kedua alisnya, seolah menyiratkan ketakutan yang mendalam. Senyuman itu disertai dengan semburat kesedihan di matanya. "Mama suka bunga," jawabnya pelan. "Dan sekarang mama lagi sakit," gadis itu melanjutkan.
"Aku mau bikin mama bahagia, aku mau mama senyum lagi karena bunga-bunga ini," kata gadis kecil itu menjelaskan, suaranya tersendat, matanya berkaca-kaca.
Sore itu, tidak ada siapa pun di toko. Hanya ada aku, si gadis kecil, dan bunga-bunga yang menemani kami berdua.
Kami berdua tenggelam dalam keheningan. Hatiku terenyuh mendengar kata-katanya. Setiap berkunjung, gadis kecil ini selalu datang sendiri. Baru kusadari, bahwa selama ini dia menyempatkan diri untuk membeli bunga, demi melihat senyuman dari ibunya yang sedang sakit. Sebuah pengorbanan kecil yang penuh kasih sayang dari seorang anak kecil yang menolak untuk menyerah.
Mataku berkaca-kaca, dadaku terasa perih setelah mendengar kata-kata yang keluar dari gadis kecil itu. Hatiku seperti disayat perlahan-lahan oleh mata pisau yang tajam. Aku berusaha untuk menahan air mataku, lalu menghela napas sambil tersenyum padanya.
"Semoga mama segera pulih ya, Dik," balasku, mencoba menenangkannya. "Tenang aja, Kakak yakin mama pasti bangga punya anak seperti kamu," aku melanjutkan, sambil mengusap kepalanya perlahan, membelainya dengan penuh kasih sayang. Seperti yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya.