Mohon tunggu...
Marshel Leonard Nanlohy
Marshel Leonard Nanlohy Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Finding God In All Things

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Padma (Cerita Pendek)

23 Juli 2024   09:40 Diperbarui: 23 Juli 2024   14:01 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bunga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Seandainya ada yang bilang bahagia itu sederhana, mereka bohong. Iya sih, bahagia memang ampuh untuk bikin orang tersenyum, bahkan tertawa terbahak-bahak. Tapi di waktu yang bersamaan, bahagia juga bisa kok bikin orang menangis sesenggukan. Contohnya aku, yang ketika itu sedang merayakan wisuda, justru menangis karena bahagia. Menurutku, kebahagiaan itu emosi yang rumit, bahkan jauh lebih rumit jika dibandingkan dengan kesedihan. Perlu kecerdasan emosional tinggi untuk menemukan kebahagiaan melalui hal-hal sederhana.

Terkadang, orang terlalu melebih-lebihkan perasaan bahagia, sehingga rasa lain luput dari pikiran dan hati mereka. Misalnya, kalau mendengar kata "perayaan", pasti yang ada di pikiran kita hanyalah sesuatu yang bahagia. Jarang sekali aku mendengar kata-kata seperti, "orang itu sedang merayakan kesedihan", atau "mereka baru saja merayakan kemarahan", apalagi "gadis kecil itu masih merayakan kematian".

Menurutku, orang-orang keliru mengartikan kebahagiaan. Mereka terlalu terlena dengan euforia yang dibawa oleh rasa bahagia. Seolah manusia tidak bisa merayakan perasan lain di luar kebahagiaan. Itulah alasannya, kenapa orang lebih terbiasa dengan istilah: bahagia itu sederhana.

Padahal, kalau mau diresapi lagi, yang lebih sederhana justru kesedihan. Buktinya, kehidupan seorang bayi yang baru saja lahir ke dunia, justru ditandai dengan sebuah tangisan, bukan senyuman, apalagi tertawa. Aku yakin, semua dokter di dunia pasti akan kaget apabila menemukan bayi yang langsung tertawa setelah keluar dari perut ibunya.

Lucu ya, kita sering lupa kalau kebahagiaan yang paling murni, justru bermula dari pecahan tangis, bukan tawa.

Selama dua puluh lima tahun hidup, aku belum pernah dihampiri oleh kebahagiaan. Sejauh ini, kebahagiaan selalu meminta untuk ditemukan. Misalnya waktu ibu meminta tolong padaku untuk membujuk ayah, menenangkannya agar tidak marah-marah setiap pagi. Akhirnya, aku turuti kemauan ibu, supaya ibu bisa lebih bahagia. Lain lagi ketika anjing kesayanganku, Popito, merengek meminta masuk ke dalam rumah. Sekali lagi, aku turuti kemauan Popito, yang bahkan adalah seekor anjing, untuk memberikan kebahagiaan kepadanya.

Aku rajin memberikan kebahagiaan untuk orang lain. Sebaliknya, aku sendiri tidak pernah mendapatkan kebahagiaan yang diberikan oleh orang lain. Pernah sekali waktu, aku meminta ayah untuk membelikanku sepatu, tapi dia malah memarahiku. Katanya, aku tidak bisa memahami kondisi keuangan keluarga saat ini. Untuk kesekian kalinya, kebahagiaan itu lenyap lagi.

Kendatipun selalu gagal menemukannya, proses mencari kebahagiaan adalah sesuatu yang menyenangkan untukku. Setidaknya, proses itulah yang menjadi alasan kenapa aku tetap semangat menjalani hidup.

Orang-orang bilang kebahagiaan akan datang dengan sendirinya, dia akan menemukanmu tanpa harus dicari, kebahagiaan akan menemukan jalannya menuju dirimu. Omong kosong.

Sekali lagi aku bilang, mereka berbohong.

*

Beberapa bulan setelah ibu tiada, aku masih diselimuti oleh rasa duka. Ibu menghembuskan napas terakhirnya tepat tujuh hari setelah ayah. Ibu menyusul cinta sejatinya. Dalam urusan rumah tangga, mereka jauh dari kata kompak. Semasa hidupnya, tidak jarang aku menemukan mereka berselisih paham, bahkan sampai di titik pertengkaran. Keadaan itu yang membuatku merasa tidak betah untuk tinggal di rumah.

Sialnya bagiku, satu-satunya peristiwa yang menunjukkan kekompakan mereka, adalah ketika keduanya meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku ingat betul ketika hari-hariku hanya diisi oleh tangisan yang tidak berkesudahan. Dunia seolah berhenti berputar. Hatiku mati rasa, terkubur bersama memori tentang ayah dan ibu.

Sejak saat itu, aku tidak bisa lagi membedakan perasaanku sendiri. Suatu hari, aku pernah merasa bahagia yang berlebihan, namun di waktu yang bersamaan, aku tidak berhenti menangis karena larut dalam kesedihan. Aku sedih karena mereka pergi, tentu saja. Namun, aku juga bahagia karena tidak perlu mendengar tangisan ibu setiap malam. Aku juga bahagia karena akhirnya bisa berhenti mendengar bentakan ayah kepada ibu setiap pagi, sebelum ia pergi ke kantor.

Kejadian-kejadian itulah yang membuatku semakin yakin, bahwa kebahagiaan tidak mungkin datang menghampiriku.

Bahagia tidak sesederhana itu.

*

Tiga tahun berlalu, kepergian ayah dan ibu masih menyisakan luka di hatiku. Aku masih rutin merindukan mereka. Satu hal yang bisa mengobati rasa kangenku adalah dengan menghirup wangi parfum mereka. Ibu memiliki parfum dengan aroma bunga yang sangat khas. Kata ibu, wangi itu adalah bunga mawar, bunga kesukaannya.

Ibu pernah bercerita, waktu masih pacaran dengan ayah, dia selalu dibawakan satu buket bunga yang dihiasi oleh empat tangkai mawar di setiap sudutnya. Ayah selalu membawa itu setiap kali mereka memperingati hari jadiannya. Bagi ibu, mawar di buket bunga ayah, yang sebetulnya hanya hiasan, justru menjadi berkesan karena jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan bunga lain.

Sebaliknya, ayah memiliki wangi parfum dengan aroma yang cukup menyengat. Waktu kecil, aku tidak suka dengan bau parfum itu. Akan tetapi, ketika ayah sudah tidak ada, hanya bau parfum itu yang bisa aku pakai untuk mengabadikannya. Aromanya sangat menyengat di pagi hari, sama menyengatnya seperti bentakan-bentakannya di setiap pagi. Aroma itu bahkan masih bertahan hingga ayah pulang dari kantor.

Botol parfum mereka masih kusimpan hingga hari ini. Sengaja, aku menyusunnya dengan rapi dalam lemariku, supaya bisa mengingatkanku kepada kehadiran mereka. Setiap kali rindu itu datang, aku langsung membuka botol parfum mereka, mendekatkan hidungku pada bagian lubang semprotannya, lalu menghirup wanginya dalam-dalam.

Seketika, rasa rindu itu hilang, lenyap perlahan-lahan, seraya wajah ibu dan ayah tampak semakin nyata dalam ingatanku.

Mereka sudah tiada, tapi masih abadi selamanya, di dalam ingatan dan hatiku.

*

Dua minggu lalu, aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku sebagai karyawan swasta. Langkah ini aku ambil setelah kejadian buruk menimpaku di kantor. Salah satu atasanku, seorang laki-laki, melakukan tindakan yang menghancurkan martabatku sebagai perempuan. Sekali lagi, usahaku mencari kebahagiaan kembali gagal.

Duniaku kembali berhenti berputar. Kebahagiaan gagal menemukanku untuk kesekian kalinya.

Sungguh, pengalaman itu membuatku hancur berkeping-keping. Rasa traumanya bahkan membekas hingga sekarang. Peristiwa itu semakin meyakinkanku untuk berhenti bekerja di lingkungan perkantoran, setidaknya untuk sementara waktu. Aku membutuhkan suasana yang baru.

Aku selalu berpikir, andai saja ayah dan ibu masih ada, mereka pasti akan memburu orang itu, menghabisinya, kemudian menghancurkan hidupnya. Meskipun sering berdebat masalah rumah tangga, aku yakin mereka bisa kompak untuk hal yang satu ini. Terlebih lagi ketika mereka tahu bahwa anak perempuan satu-satunya, direndahkan oleh laki-laki bejat yang tidak bisa menahan kemaluannya.

Sayangnya, saat ini aku hanya bisa berharap ayah dan ibu menghantuinya setiap malam. Menggentayangi orang itu ke mana pun dia pergi, lalu membuatnya terjaga dari pagi ke pagi, begitu seterusnya hingga akhirnya dia mati kelelahan.

Aku cukup beruntung ketika paman datang dengan sebuah tawaran. Dia menawarkanku untuk menjaga toko bunga miliknya. Sejak aku kecil, paman sudah ditugaskan untuk mengambil alih bisnis kecil-kecilan milik eyang putri. Bisa dibilang, ini salah satu warisan dari eyang yang diberikan untuknya. Sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar, bentuknya pun cukup sederhana.

Waktu ayah dan ibu masih ada, kami sering mampir ke toko bunga milik paman. Kata ayah, meskipun bentuknya terlihat sederhana, toko itu cukup terkenal di masyarakat karena koleksi bunganya yang lengkap.

Aku sadar, tidak baik untuk terlarut dalam lorong gelap ini terlalu lama. Mau bagaimanapun, duniaku harus tetap berputar, dan hari-hariku harus segera diisi oleh kegiatan yang produktif.

Maka dari itu, aku mengiyakan tawaran paman untuk menjaga toko bunga miliknya.

*

Tentu saja, paman tidak tahu alasan yang sebenarnya. Aku sengaja tidak memberitahukannya, menghindari pertanyaan-pertanyaan aneh yang membuat situasinya semakin rumit. Aku hanya bilang kalau rutinitas harian di kantor membuatku jenuh, dan aku ingin mencari suasana yang baru.

Setidaknya, alasan itu jauh lebih sederhana dan masuk akal, ketimbang harus menjelaskan semua kronologisnya dari awal. Ditambah lagi, aku juga percaya bahwa menjadi dewasa bukan lagi sekadar merayakan emosi.

Lebih jauh lagi, menjadi dewasa adalah sebuah seni memendam perasaan.

Melalui pengalaman sebagai pegawai kantoran, aku mulai memahami kebiasaan orang dewasa. Mereka cenderung mencari titik tengah, antara menjadi diri sendiri yang autentik, dengan tetap menjaga profesionalitasnya di tempat kerja. Perlahan-lahan, aku menemukan jawaban baru dari pertanyaanku semasa remaja.

Kurasa, inilah alasan mengapa ayah selalu membentak ibu setiap pagi, melampiaskan emosi yang tidak mampu diluapkannya di kantor. Tentu saja, dengan embel-embel 'profesionalitas'. Itu juga alasannya kenapa ibu selalu memaafkan ayah, bukan malah berbalik marah seperti aku yang membenci sifat buruknya.

Ayah mampu memendam perasaannya dengan baik, namun ia kesulitan untuk melampiaskannya melalui hal-hal baik.

Sekarang, aku mulai memahami cara unik manusia untuk menyalurkan emosinya. Beberapa teman kantorku misalnya, ada yang melatih kemampuan menulisnya dengan membuat utas panjang di platform sosial media X. Beberapa yang lain menyalurkan emosinya melalui hobi, seperti bermain sepak bola, mengumpulkan koleksi mainan, dan sebagainya.

Ternyata, memendam sebuah perasaan bukan berarti harus kehilangan diri sendiri. Aku juga bisa menyimpulkan bahwa ayah adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan kesalahan utama seorang manusia ketika memendam perasaannya. Terkadang, perasaan perlu dipendam untuk diolah dengan baik, oleh hati, dan oleh pikiran.

Di tahap itu, ayah gagal meluapkan emosi yang muncul dalam hatinya. Alih-alih meluapkannya dengan hal-hal positif, dia malah menyalurkannya lewat bentakan setiap pagi.

Syukurlah, rutinitasku saat ini menjadi jauh lebih berwarna. Kali ini, bukan kebahagiaan yang datang menghampiriku, melainkan jawaban atas semua pertanyaanku tentang kehidupan. Sebuah pertanyaan yang bahkan tidak sempat terjawab oleh ayah dan ibu.

Perlahan namun pasti, duniaku kembali berputar.

Aku kembali menjalani kehidupanku seperti biasanya.

Sekarang, hari-hariku benar-benar berbunga. Malah, kali ini bunganya nyata, bukan hanya kiasan semata, apalagi sekadar barisan huruf yang tersusun rapi setiap kali aku menulis kolom nama: Florencia Liliana.

*

Sebagai mantan pegawai perusahaan yang setiap hari bekerja dari jam sembilan pagi hingga jam lima sore, menjaga toko bunga tentu menjadi kegiatan yang kuanggap sebelah mata. Meski tidak mengetahui sedikit pun tentang toko bunga eyang, aku tetap antusias untuk mendalami pekerjaan baruku.

Aku mengerti masih banyak hal yang harus aku pelajari untuk menjadi seorang florist.

Untungnya, tidak sulit menemukan buku-buku elektronik tentang panduan menjadi seorang florist. Aku menekuni kebiasaan belajar, membaca, serta mengumpulkan informasi seputar bunga selama kurang lebih tiga minggu. Aku tidak hanya menghafalkan nama dan jenis bunga. Lebih dalam lagi, aku belajar memahami filosofi dan maknanya satu per satu.

Seperti beberapa orang yang percaya bahwa bunga anyelir dapat membawa sial, atau bunga lavender yang katanya menyiratkan lambang ketidakpercayaan. Oh iya, aku juga ingat bagaimana Gregor Lersch, seorang seniman yang juga florist, menjelaskan simbol kesombongan pada bunga bakung.

Semua bunga memiliki filosofinya tersendiri. Dari salah satu buku yang terinspirasi oleh karya Klaus Wagener, setiap warna dari bunga tertentu bahkan melambangkan maknanya tersendiri. Seperti menghindari warna putih dan kuning saat merayakan suasana bahagia. Katanya, dua warna itu umumnya digunakan ketika sedang berduka.

Di samping itu, aku juga senang memperhatikan gerak-gerik yang ditunjukkan oleh setiap pembeli yang datang berkunjung. Mulai dari raut wajahnya ketika membuka pintu, warna bajunya, wangi parfumnya, hingga pandangan mata yang tertuju pada bunga tertentu.

Sesekali, aku tidak ragu untuk menanyakan alasan di balik kunjungan mereka ke toko bunga ini. Biasanya, aku langsung memberikan saran, rekomendasi, atau pilihan bunga tertentu yang kurasa cocok untuk acara atau momen yang sedang mereka rayakan.

Sejauh ini, tidak pernah ada pembeli yang datang kedua kalinya untuk protes. Sebaliknya, mereka malah kembali ke toko untuk menanyakan sisa stok bunga favoritnya. Entah mengapa, rekomendasiku selalu disambut dengan baik oleh para pembeli dan pelanggan toko ini.

Di luar itu semua, aku pun masih terus belajar untuk mencari kebahagiaan yang telah lama hilang. Melalui setiap tangkai dari bunga, aku mencoba merangkai kebahagiaan itu, berusaha untuk mengambil kembali kepingan kenangan yang mulai disapu bersih oleh waktu. Setiap kelopak yang terbuka menjadi lambang harapan dan kasih yang sempat aku rasakan. Kehangatan yang pernah ada, selalu menguatkanku untuk terus mencari kebahagiaan yang sejati.

Bunga-bunga yang kini terpajang indah pada setiap raknya akan terus mengingatkanku pada ingatan manis bersama ayah dan ibu, yang kini telah tiada.

Kami terpisah amat jauh, melintang dibatasi ruang dan waktu, terpaut oleh jurang antara kehidupan dan kematian.

*

Enam bulan sudah kulalui menjadi tukang bunga. Sejauh ini, aku bisa menyimpulkan bahwa pembeli yang datang umumnya adalah orang dewasa, umurnya beragam mulai dari remaja umur dua puluhan, hingga opa dan oma yang berumur tujuh puluhan.

Aku senang memberi tebakan umur dari pembeli yang datang. Ketika tiba di kasir, aku memberikan tebakan umur mereka dalam hati, lalu menuliskannya pada sebuah kertas kosong.

"Dua remaja, seragam SMA, 18 tahun," tulisku di kertas itu.

"Satu om-om, kemeja ketat, wangi parfum dry-wood, kisaran 40 tahun," lanjutku menulis.

Suatu waktu, pernah ada seorang gadis kecil yang datang berkunjung ke toko. Paras wajahnya sangat manis, lesung yang muncul di kedua pipinya ketika tersenyum menambah kecantikannya. Aku tidak tahu persis mengenai umurnya, tapi dari seragam yang ia gunakan, aku bisa menebak gadis itu masih duduk di bangku SD.

Dia datang untuk membeli bunga.

Aku ingat betul, pada kedatangan pertamanya, gadis kecil itu memakai baju seragam SD. Dia menggunakan kemeja putih dan rok berwarna merah. Biasanya, pembeli yang berkunjung sudah mulai berkurang setelah jam lima sore, toko menjadi lebih sepi setelahnya. Sore itu, aku sedang merapikan uang yang ada di mesin kasir, bersiap untuk menutup toko.

Ketika aku sedang sibuk menata uang-uang kembalian, terdengar suara dentingan lonceng,

"tringgg...." bunyi lonceng yang menggantung di sudut atas pintu, tanda bahwa pintu toko terbuka.

Anak ini berhasil memecahkan rekor pembeli termuda, setidaknya yang tertulis di catatanku, sejak aku mulai bekerja enam bulan lalu. Dia selalu datang sendiri, tidak pernah aku melihatnya datang didampingi oleh siapa pun.

"Permisi, Kak," sapanya, lembut.

Aku menoleh, melayangkan pandanganku ke arah pintu masuk. "Haloo, ada yang bisa aku bantu?" balasku hangat.

Aku meletakkan buku catatanku, meninggalkan uang-uang kembalian yang sedang aku rapikan, lalu melangkah mendekat.

"Mau cari bunga apa, Nona?" tanyaku ramah, selagi memperhatikan penampilannya, seperti yang biasa kulakukan kepada setiap pembeli.

Gadis kecil itu mengangguk pelan, matanya berkeliling melihat bunga-bunga yang tertata rapi. "Aku lagi cari bunga..." dia terhenti. Tatapannya berbinar, tertuju pada sebuah bunga mawar, dia terkagum melihat kelopak merahnya yang terlihat menyala, tersorot sinar matahari senja.

Aku tersenyum, mengambil setangkai mawar merah yang tampak segar dan mekar sempurna. "Ini, kamu mau lihat bunga mawarnya dari dekat?" kataku menebak, sambil memberikan bunga itu ke hadapannya.

Dia tersenyum kecil, lesung pipinya semakin terlihat jelas. Matanya tampak menyala melihat mawar merah yang kuambil. Gadis kecil itu masih terdiam, seolah tersihir oleh wangi dan warna merah dari bunga mawar yang merona sempurna.

"Aku mau bunga mawarnya, Kak," dia membalas dengan suara lembut yang nyaris berbisik.

"Siap Nona, kalau mau lihat-lihat lagi, gapapa, Kakak masih punya banyak bunga bagus lainnya," jawabku, menawarkan pilihan bunga lain.

Aku berjalan menuju sudut lain dari ruangan, mengambil bungkus plastik untuk menghias mawar yang dipilih oleh si gadis kecil.

Anak itu masih berjalan, mengelilingi rak-rak bunga, melihat dengan teliti, satu per satu. Sesekali, dia mendekatkan hidungnya pada kelopak bunga, berusaha menemukan perbedaan wangi yang dihasilkan oleh setiap bunga yang ada di rak bagian bawah.

Setelah selesai membungkus bunga, aku membawakannya kepada anak itu. "Bunganya untuk siapa, Dik?" tanyaku penasaran.

Gadis itu kembali tersenyum. Kali ini, kedua alisnya sedikit terangkat, menyiratkan misteri yang belum sempat aku terjemahkan. "Untuk mama," jawabnya singkat. Kata-katanya membuatku terhenyak beberapa saat. Ada sesuatu yang dalam dan tulus di balik alasan sederhana itu.

Aku memberikan bunga mawar yang sudah terbungkus rapi. "Ini, semoga mama suka sama bunganya," balasku seraya mengulurkan tangan, memberikan bunga mawar yang warnanya merah sempurna.

Dia mengangguk penuh semangat, senyuman perpisahannya masih aku ingat hingga saat ini. "Terima kasih ya, Kak," dia menjawab dengan nada ceria.

Gadis kecil itu lalu merogoh kantongnya, mengambil uang untuk membayar bunga mawar itu, kemudian melangkah keluar dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya.

*

Beberapa minggu setelahnya, tepat saat jam menunjukkan pukul lima sore, dentingan lonceng kembali terdengar. Gadis itu datang lagi, dengan seragam yang sama, juga senyuman yang tidak berubah.

"Permisi, Kak," sapanya lembut, sama seperti sebelumnya. Kali ini, dia meminta bunga lili putih dan bunga matahari. Tanpa banyak bertanya, aku segera mengambil bunga yang diminta, menghiasnya, lalu membungkusnya dengan hati-hati.

Selama beberapa minggu berikutnya, gadis itu selalu menyempatkan untuk datang. Dia selalu membeli bunga yang berbeda di setiap kunjungannya. Ketika aku bertanya, untuk siapa bunga itu, jawabannya selalu sama: "Untuk mama."

Keinginannya yang sederhana, namun konsisten, membuatku penasaran. Hingga di suatu sore, ketika dia datang untuk kesekian kalinya, aku memberanikan diri untuk bertanya lebih dalam.

"Dik, boleh aku tahu kenapa kamu selalu beli bunga buat mama?" tanyaku halus.

Gadis itu tersenyum kecil, kembali mengangkat kedua alisnya, seolah menyiratkan ketakutan yang mendalam. Senyuman itu disertai dengan semburat kesedihan di matanya. "Mama suka bunga," jawabnya pelan. "Dan sekarang mama lagi sakit," gadis itu melanjutkan.

"Aku mau bikin mama bahagia, aku mau mama senyum lagi karena bunga-bunga ini," kata gadis kecil itu menjelaskan, suaranya tersendat, matanya berkaca-kaca.

Sore itu, tidak ada siapa pun di toko. Hanya ada aku, si gadis kecil, dan bunga-bunga yang menemani kami berdua.

Kami berdua tenggelam dalam keheningan. Hatiku terenyuh mendengar kata-katanya. Setiap berkunjung, gadis kecil ini selalu datang sendiri. Baru kusadari, bahwa selama ini dia menyempatkan diri untuk membeli bunga, demi melihat senyuman dari ibunya yang sedang sakit. Sebuah pengorbanan kecil yang penuh kasih sayang dari seorang anak kecil yang menolak untuk menyerah.

Mataku berkaca-kaca, dadaku terasa perih setelah mendengar kata-kata yang keluar dari gadis kecil itu. Hatiku seperti disayat perlahan-lahan oleh mata pisau yang tajam. Aku berusaha untuk menahan air mataku, lalu menghela napas sambil tersenyum padanya.

"Semoga mama segera pulih ya, Dik," balasku, mencoba menenangkannya. "Tenang aja, Kakak yakin mama pasti bangga punya anak seperti kamu," aku melanjutkan, sambil mengusap kepalanya perlahan, membelainya dengan penuh kasih sayang. Seperti yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya.

"Oh iya, kita belum kenalan, namaku Liliana, tapi kamu boleh panggil aku Kak Lili," kataku sambil mengulurkan tangan.

Gadis kecil itu menyambut uluran tanganku, menggenggamnya, lalu berkata, "Salam kenal, Kak, namaku Padma. "

"Padma, Kakak titip salam untuk mama ya, semoga cepat sembuh."

"Iya, Kak, nanti aku sampaikan ke mama," Padma membalas. "Terima kasih banyak ya, Kak Lili," pamitnya, sambil berjalan menuju pintu. Kami berpisah di sore itu, tepat setelah aku dan Padma secara resmi berkenalan.

*

Untuk waktu yang lama, Padma tidak pernah mengunjungi toko lagi. Aku pun tidak berusaha mencarinya. Kurasa, dia masih sibuk dengan urusannya di sekolah, apalagi ibunya juga sedang sakit.

Pertemuan dengan Padma memberikan rasa yang cukup membekas di dalam hatiku. Bukan perasaan bahagia, tapi juga bukan perasaan sedih.

Rasa itu lebih kepada campuran antara haru dan kekaguman. Melihat anak sekecil Padma yang begitu tulus mencurahkan kasih sayangnya kepada ibunya, membuatku merenung tentang arti sebenarnya dari kebahagiaan.

Hari demi hari berlalu, toko bunga tetap buka dan melayani para pembeli seperti biasa. Namun, setiap kali lonceng pintu berdenting, aku selalu berharap melihat wajah manis Padma lagi. Aku bertanya-tanya tentang keadaan ibunya, apakah bunga-bunga yang dibeli Padma berhasil membawa senyuman di wajah ibunya yang sedang sakit.

Suatu sore, ketika aku sedang merapikan bunga di etalase, tiba-tiba terdengar suara lonceng dari arah pintu. Aku berbalik dan melihat seorang perempuan, umurnya mungkin hanya terpaut beberapa tahun di atasku. Dia mendorong pintu, lalu melangkah masuk ke dalam toko.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" kataku.

Perempuan itu tampak sedikit pucat. Matanya terlihat sembab, seperti baru saja menangis. Dia membalas sapaanku dengan senyuman, namun kedua alisnya mengangkat saat dia tersenyum. Aku masih mencoba mengenali wajahnya.

"Halo," katanya, membalas sapaanku. "Saya lagi mau cari bunga lili dan bunga matahari, di sini jual enggak, ya?" lanjutnya bertanya.

"Ada, Kak," jawabku. "Untuk yang bunga lili, mau warna putih atau merah, Kak?" tanyaku, memastikan warna pilihan perempuan itu, sambil menerka soal momen yang sedang dirayakan olehnya.

"Warna putih dan kuning, ada?" balasnya lembut.

"Baik, Kak, sebentar saya ambilkan," balasku, sambil berjalan ke arah rak bunga lili dan bunga matahari.

Wajah perempuan itu tidak asing, bau parfumnya juga pernah aku kenali sebelumnya. Mungkin, dia termasuk pembeli yang dulunya sering datang, sama seperti Padma.

Ketika aku sedang membungkus bunga-bunga pesanannya, perempuan itu beberapa kali sibuk menyeka matanya. Aku bisa melihat air mata yang membendung di ujung matanya.

"Kak? Kakak enggak apa-apa, kan?" tanyaku memastikan.

Dari kejauhan, aku melihat perempuan itu langsung menurunkan kedua lengannya sesaat setelah aku bertanya, berusaha menyembunyikan sebuah perasaan sedih yang terlihat begitu jelas. Dia tidak menjawab pertanyaanku.

Setelah membungkus bunga pesanannya, aku berjalan ke arahnya, menghampiri perempuan itu dan berkata, "Kakak dulu sering datang juga, ya? Rasanya aku pernah liat Kakak..."

Sekali lagi, dia tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Saya mau bilang terima kasih," katanya.

"Terima kasih?" tanyaku bingung.

"Ya," jawabnya. "Bunga-bunga di toko ini, dulu sering dibawakan oleh anak saya, ketika saya masih sakit," dia melanjutkan.

Aku tertegun sejenak, kemudian senyuman lebar mengembang dari wajahku. "Oh, tentu saja! Kakak pasti ibunya Padma, ya?" tanyaku, semringah.

"Syukurlah kalau Kakak udah sembuh! Oh iya, bagaimana kabar Padma? Aku sudah lama tidak melihatnya berkunjung ke toko."

Mendengar kalimatku, perempuan itu terkejut. Seolah kata-kata yang keluar dari mulutku menusuk tepat di jantungnya. Air matanya mengalir deras, terjun dengan cepat membasahi pipi perempuan itu.

Tanpa sempat membalasku, perempuan itu memberikan uangnya, lalu bergegas membuka pintu, sambil menyeka air matanya yang tumpah.

Aku tenggelam dalam pikiranku, menebak-nebak apa yang terjadi dengan Padma dan ibunya. Setelah dia pergi, aku berdiri di depan etalase, memandang ke arah jalan yang mulai sepi.

Pertemuan singkat dengan Padma dan ibunya menyisakan banyak pertanyaan yang timbul. Angin dingin tanda hujan mulai menyeruak, masuk menghembuskan helai pada kelopak bunga. Warna-warna cerah pada kelopak bunga yang terpajang mulai berubah menjadi gelap.

Di tengah awan hitam yang muncul beriringan, hanya terdapat dua warna yang masih menyala dengan terang, tidak terpengaruh oleh redupnya cahaya matahari sore itu. Mereka adalah warna putih dan kuning. Dua warna yang justru digunakan ketika sedang berkabung, merayakan kesedihan.

Aku yakin, Padma pasti rindu dengan pertemuan kita, sama seperti aku merindukannya. Sampai bertemu lagi, Padma.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun