*
Beberapa bulan setelah ibu tiada, aku masih diselimuti oleh rasa duka. Ibu menghembuskan napas terakhirnya tepat tujuh hari setelah ayah. Ibu menyusul cinta sejatinya. Dalam urusan rumah tangga, mereka jauh dari kata kompak. Semasa hidupnya, tidak jarang aku menemukan mereka berselisih paham, bahkan sampai di titik pertengkaran. Keadaan itu yang membuatku merasa tidak betah untuk tinggal di rumah.
Sialnya bagiku, satu-satunya peristiwa yang menunjukkan kekompakan mereka, adalah ketika keduanya meninggalkanku untuk selama-lamanya. Aku ingat betul ketika hari-hariku hanya diisi oleh tangisan yang tidak berkesudahan. Dunia seolah berhenti berputar. Hatiku mati rasa, terkubur bersama memori tentang ayah dan ibu.
Sejak saat itu, aku tidak bisa lagi membedakan perasaanku sendiri. Suatu hari, aku pernah merasa bahagia yang berlebihan, namun di waktu yang bersamaan, aku tidak berhenti menangis karena larut dalam kesedihan. Aku sedih karena mereka pergi, tentu saja. Namun, aku juga bahagia karena tidak perlu mendengar tangisan ibu setiap malam. Aku juga bahagia karena akhirnya bisa berhenti mendengar bentakan ayah kepada ibu setiap pagi, sebelum ia pergi ke kantor.
Kejadian-kejadian itulah yang membuatku semakin yakin, bahwa kebahagiaan tidak mungkin datang menghampiriku.
Bahagia tidak sesederhana itu.
*
Tiga tahun berlalu, kepergian ayah dan ibu masih menyisakan luka di hatiku. Aku masih rutin merindukan mereka. Satu hal yang bisa mengobati rasa kangenku adalah dengan menghirup wangi parfum mereka. Ibu memiliki parfum dengan aroma bunga yang sangat khas. Kata ibu, wangi itu adalah bunga mawar, bunga kesukaannya.
Ibu pernah bercerita, waktu masih pacaran dengan ayah, dia selalu dibawakan satu buket bunga yang dihiasi oleh empat tangkai mawar di setiap sudutnya. Ayah selalu membawa itu setiap kali mereka memperingati hari jadiannya. Bagi ibu, mawar di buket bunga ayah, yang sebetulnya hanya hiasan, justru menjadi berkesan karena jumlahnya yang lebih sedikit dibandingkan bunga lain.
Sebaliknya, ayah memiliki wangi parfum dengan aroma yang cukup menyengat. Waktu kecil, aku tidak suka dengan bau parfum itu. Akan tetapi, ketika ayah sudah tidak ada, hanya bau parfum itu yang bisa aku pakai untuk mengabadikannya. Aromanya sangat menyengat di pagi hari, sama menyengatnya seperti bentakan-bentakannya di setiap pagi. Aroma itu bahkan masih bertahan hingga ayah pulang dari kantor.
Botol parfum mereka masih kusimpan hingga hari ini. Sengaja, aku menyusunnya dengan rapi dalam lemariku, supaya bisa mengingatkanku kepada kehadiran mereka. Setiap kali rindu itu datang, aku langsung membuka botol parfum mereka, mendekatkan hidungku pada bagian lubang semprotannya, lalu menghirup wanginya dalam-dalam.