JUDUL : PENTINGNYA PERAN GENERASI MUDA
DALAM PELESTARIAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL DI ZAMAN DIGITAL
SUB BAB 1 : Kearifan Lokal Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo
Rizal Ananda1
, Ainur Rofiq Gufron², Lucky Nuzurul Arif Mahensa³
1Universitas Negeri Semarang, 2Universitas Negeri Semarang, ³Universitas Negeri
Semarang
Email: 1. rizalananda10@studentd.unnes.ac.id,2.
rofiqgufron1288@students.unnes.ac.id, 3. luckymahensa123@student.unnes.ac.id
Abstract
The purpose of this research is to understand how traditional practices are carried out, the types of
traditional practices that exist, and the role of traditional practices in the local communities of
Kapung, Tanggung Harjo, and Grobogan. The research in this article uses the research methods of
literature review, observation and archival analysis. Literature study means the activity of searching
and collecting data/sources of information, knowledge, and facts based on written media, such as
books, scientific articles, news, magazines, or journals that have relevance or connection to the
research being conducted. According to the customs of the people of Kapung Village, Nyadran is an
annual tradition that includes slametan, prayer requests, a means of strengthening friendship, and
respect for ancestors. Furthermore, although Nyadran was first known to the general public as a local
tradition, in the following years Nyadran experienced an acculturation process with Islamic law and
education. In the Nyadran tradition, reconciliation between religion and culture is achieved through
dialogue and confirmation. Third, in terms of finance, the values included in traditional wisdom
include: praying to Allah, giving alms, gathering, and transformation of inherent social values. This is
in line with the vision of the fiqh of civilisation. This research aims to harmonise traditional and social
norms with the concept of limited resources, thus leading to the development of tolerance and
moderation in the life of a pluralistic society.
Keyword: Local Wisdom, Nyandran Tradition, Kapung Village, Cultural Heritage
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana praktik tadisi dijalankan, jenis praktik
tradisi yang ada. Serta praktik tradisional masyaakat Kapung, Tanggung Harjo, dan Grobogan
setempat. Penelitian artikel ini menggunakan metode observasi, analisis arsip, dan evaluasi literatur
(studi literatur). Studi literatur fokus pada kegiatan yang melibatkan pengumpulan dan analisis
data/sumber informasi, pengetahuan, dan fakta berdasarkan media tertulis, seperti buku, artikel dari
jurnal akademis, artikel surat kabar, atau buku yang berbagi atau terkait dengan proyek penelitian yang
sedang berlangsung. Menurut adat masyarakat Desa Kapung, nyadran merupakan tradisi tahunan yang
meliputi slametan, doa permohonan, sarana penguat silaturahmi, dan penghormatan terhadap leluhur
atau nenek nenek moyang. Lebih lanjut, meskipun Nyadran pertama kali dikenal masyarakat umum
sebagai tradisi lokal, namun pada tahun-tahun berikutnya Nyadran mengalami proses akulturasi
dengan syariat dan pendidikan Islam. Dalam tradisi Nyadran, rekonsiliasi antara agama dan budaya
dicapai melalui dialog dan konfirmasi. Ketiga, dari segi finansial, nilai-nilai yang termasuk dalam
kearifan tradisional antara lain: berdoa kepada Allah, bersedekah, ajang silaturahmi, dan transformasi
nilai-nilai sosial yang melekat. Hal ini sejalan dengan visi fikih peradaban. Penelitian ini bertujuan
untuk menyelaraskan norma-norma tradisional dan sosial dengan konsep sumber daya yang terbatas,
sehingga mengarah pada pengembangan toleransi dan moderasi dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk.
Kata Kunci: Kearifan Lokal, Tradisi Nyandran, Desa Kapung, Warisan BudayaPENDAHULUAN
Tradisi Nyadran merupakan simbol hubungan apapun dengan orang yang lebih tua,
sesama warga, dan Yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Nyadran merupakan praktik
upacara yang menjunjung syariat Islam dan adat istiadat setempat, sehingga menghasilkan
berkembangnya masyarakat yang mengenal Islam. Nyadran juga menjadi contoh adat istiadat
setempat dan praktik keagamaan. Budaya ketaatan beragama terlihat jelas dalam tradisi
nyadran yang dilakukan masyarakat Jawa.
Tradisi adalah adat istiadat yang dilakukan secara bertahap dalam suatu masyarakat tertentu
sejak nenek moyang kita sampai saat ini. Metode yang digunakan dalam melaksanakannya
adalah metode yang akurat dan konsisten. Dapat dikatakan bahwa tradisi setara dengan
hukum ilmu pengetahuan, filsafat, dan alam, serta diintegrasikan secara cermat dan tegas ke
dalam sistem keagamaan yang membentuk perilaku manusia dalam konteks sosial dan
keagamaan. Tradisi biasanya mencakup nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan
pada pendidikan atau perolehan pengetahuan. Selain itu, tradisi dapat menyampaikan
penilaian yang baik, yang biasanya diturunkan dari generasi ke generasi. Rekomendasi
biasanya didasarkan pada kriteria yang relevan dengan populasi saat ini.
Nyadran, juga dikenal sebagai sadrī, bukan hanya bagian dari pendidikan Islam; juga
mencakup adat atau ritual yang menggunakan alat keimanan, seperti doa-doa dengan
menggunakan bahasa Arab dan Jawa. Oleh karena itu, sadranan hanyalah tradisi atau adat
Jawa yang digunakan sebagai kegiatan seremonial atau hari raya. Sebelum tahun Ramadhan,
adat istiadat seperti “mengirim doa dan mendoakan leluhur” bisa saja telah mengembangkan
agama yang sangat mirip dengan kegiatan keagamaan. Namun berdasarkan bukti, kegiatan
tersebut hanya merupakan tradisi keagamaan yang sudah berlangsung lama. Nyadran telah
menjadi masalah bagi umat Islam. Oleh karena itu, ritual tersebut dianggap suci dan mewakili
Islam. Saat ini, para pemimpin agama secara bertahap beralih dari praktik tradisional ke
praktik yang lebih progresif.
Nyadran memiliki arti penting bagi masyarakat Jawa karena berfungsi sebagai sarana untuk
melestarikan warisan budaya dan menjaga hubungan dengan tradisi leluhur. Ini adalah cara
untuk mewariskan nilai, adat istiadat, dan kepercayaan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dengan berpartisipasi dalam Nyadran, masyarakat berperan aktif dalam
melestarikan identitas budayanya dan memperkuat rasa memiliki.
Tradisi Nyadran telah berkembang seiring berjalannya waktu, beradaptasi dengan perubahan
masyarakat dan memasukkan unsur-unsur Islam dengan tetap mempertahankan esensi
budayanya. Adaptasi ini mencerminkan perpaduan unik antara budaya Jawa dan ajaran Islam
di wilayah tersebut. Tradisi tersebut terus dilakukan di berbagai wilayah di Pulau Jawa
sehingga berkontribusi terhadap keanekaragaman dan kekayaan budaya nusantara.
Kegiatan ini tidak hanya menyoroti kebajikan para sesepuh, namun juga menumbuhkan ikatan
yang kuat antara masyarakat dengan keyakinan dan identitas budaya para sesepuh. Dalam
makalah ini, kita akan membahas secara rinci makna, penerapan, dan signifikansi praktik
tradisional masyarakat Nyadran di masa lalu serta penerapannya pada masyarakat masa kiniPEMBAHASAN
Sejarah
Sejak zaman Hindu Budha, masyarakat Jawa telah mengetahui dan mempraktikkan
Nyadran sebagai tradisi untuk menyemangati orang tua yang telah meninggal dunia. Menurut
Partokusomo (1999: 3), Nyadran Sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta dikenal dengan
nama Sraddha atau Sadrayang dan mempunyai sifat protektif terhadap orang tua (Riyadi,
2017: 145). Selanjutnya, ketika masyarakat Jawa mulai menggunakan istilah "Sadradiubah",
maka dikenal dengan istilah "Nyadran", yang dapat dipahami sebagai hari puasa atau hari doa
(memberi sesaji) yang dimaksudkan untuk melindungi mereka yang dirampok di bulan
tersebut. ruwah .Berdasarkan beberapa kitab suci, tradisi Nyadran berasal dari Majapah.
Nyadran mempunyai kesamaan dengan tradisi Sraddha atau Craddha kerajaan Majapahit yang
berlangsung kira-kira pada tahun 1284. Ratu Tribuana Tungga Dewi merupakan orang
pertama yang melakukan tradisi Craddhadi di kerajaan Majapahit pada masa itu. Tujuan dari
tradisi ini adalah untuk menghormati dua dewa utama, yaitu Ratu Gayatri (Sri Rajapatni) dan
moya yang terdapat di Candi Jobo. Pada malam Tungga Dewi, tradisi Craddha dilaksanakan
oleh Putran Raja Hayam Wuruk. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, tradisi
Sraddha dimaksudkan untuk menghormati seorang wanita yang dikenal sebagai Gayatri (Sri
Rajapatni), dan dilakukan pada bulan Agustus hingga September.Menyajikan sebagai macam
hidangan, yakin sayur, buah, daging, dan minuman lain. Menurut Anam (2017:81), tahun 13
menandai dimulainya pendidikan Islam di Indonesia. Wali Songo selanjutnya melaksanakan
doa harian sesuai dengan tradisi Nyadran, sehingga Saat mau tidur, nyadran tidak dan merta
sedang tolak. Dengan kata lain, tradisi pada masa Hindu-Budha dijadikan media wacana oleh
Wali Songo untuk menjelaskan dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa pada
masa itu. Akibatnya, tradisi Nyadranya berubah secara signifikan. Dahulu Nyadranya
menggunakan sesaji sebagai alat ritual, melakukan persembahan ke makam orang yang
meninggal, serta pemujaan dan permintaan sumbangan ke makam tersebut. Kemudian Wali
Songo mereformasinya dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an, tahlil, doa, dan makan
bersama secara berkelompok serta meluruskan ritual pujaan untuk mengesakan Allah SWT.
Menurut keterangan Wijaya, dkk. (2021:61) menyatakan bahwa kebanggaan lokal merupakan
hasil dari karakteristik masyarakat saat ini yang dikembangkan melalui sejumlah pengetahuan
dan bias yang kemudian diwariskan kepada generasi mendatang. Sebagai contoh, Nyadran
mengambil pengetahuan dan prasangka masyarakat umum yang selama ini dianut kemudian
diterapkan pada turunan selanjutnya. Sampai saat ini tradisi tersebut masih eksis dan masih
dipraktikkan, meski mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Waktu dilaksanakan
Nyadran biasanya diperingati satu bulan sebelum dimulainya Ramadhan, yaitu pada
tanggal 15, 20, dan 23 penanggalan Islam. Sedangkan berasal dari Laman Surakarta, Nyadran
biasanya dilakukan setiap hari kesepuluh bulan Rajab atau saat dimulainya bulan Sya'ban.
Meski dilakukan pada waktu yang berbeda-beda di setiap daerah, Nyadran biasanya dilakukan
pada bulan Ramadhan untuk memperingati bulan suci Ramadhan.
Makna nyadran
Nyadran tidak hanya dimaksudkan sebagai sarana berekspresi, mengutarakan, dan
melaksanakan tugas-tugas dunia yang sudah selesai. Makna nilai-nilai kebaikan dari para
pendahulu atau para leluhur merupakan andalan tradisi Nyadran.Hal ini terkait dengan pepatah kuno Jawa “Mikul dhuwur mendem jero” yang pada
dasarnya berarti “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita
tanam-dalam.” Nyadran juga mempunyai kemampuan meyakinkan diri bahwa setiap orang
pada akhirnya akan mengalami kesulitan. Selain itu, tradisi ini juga sebagai sarana untuk
menggalakkan perayaan Hari Gotong Royong sebagai sarana tercapainya keharmonisan
masyarakat.
Kegiatan nyadran secara umum adalah sebagai berikut:
1. Ziarah Kubur Pada bulan Ramadhan biasanya masyarakat mendatangi makam leluhur
untuk mencuci tangan dan memastikan makamnya bersih. Ini berfungsi sebagai simbol
peringatan bagi mereka yang telah kehilangan seseorang.
2. Padusan, atau mandi di sungai Warga di sungai atau tempat pemandian dilakukan
mandi. Mandi dilambangkan sebagai refleksi diri menjelang dimulainya Ramadhan.
3. Menjaga lingkungan Selain perbaikan diri, masyarakat juga berupaya memperbaiki
lingkungan.
4. Kenduri Warga berkumpul dan makan sama di kenduri. Selain itu, pertunjukan ini
biasanya dibawakan dengan Doa Bersama sebagai simbiosis doa kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Pelaksanaan nyadran di Desa Kapung biasanya selesai pada tanggal 20. Berjalan
sesuai kebiasaan adat yang ada, acara tersebut diadakan di area Makam. Setelah sampai,
penjaga memakai masker berbahan bakul dan tenong (rantang) yang tidak nyaman karena
rampe. Seluruh menu tersebut nasi, sayur, ayam ingkung, bakmi, sayur kentang, atau krecek
menjadi salah satu yang disiapkan sejak hari pertama bulan ini. Banyak para hadirin yang
ditujukan kepada laki-laki. Beberapa sesepuhnya sudah cukup tua, namun masih bisa diatur
dengan jari. Setiap anak, tua atau muda, memiliki seseorang yang ingin sekali mengajari
mereka adat istiadat budayanya. Seratus Orang memadati sepanjang jalan makam tidak
kurang. Usai disambut oleh masing-masing veteran perang, diadakan upacara interaktif
dengan nilai-nilai bersama yang dicontohkan oleh mereka yang tua / sesepuh kampung. Usai
doa, acara dilanjutkan ketimbul bujono dengan alas daun pisang utuh yang di tengah kalangan
disediakan. Nasi putih di tepian daun pisang segera dicecer. Setelah ingkung ayam diciwel,
siswa dibagi rata. Bakmi dan sayur krecek dan segera tertebar merusak putih nasional.
Selanjutnya, mereka bisa bekerja sama. Cara bertindak seperti ini disebut dengan “semangat
kebersamaan berputar”, yaitu gotong royong dan paguyuban warga. Inilah pengorbanan
terbesar yang dilakukan para sesepuh bangsa demi anak mereka. Atau mangan sing penting
kumpul, ora mangan. Lokasi yang digunakan dalam pengobatan tradisional biasanya adalah
patung-patung besar yang bernilai tinggi untuk syiar agama atau makam leluhur. Umumnya
kegiatan nyadran dilakukan dengan doa kepada orang tua atau orang besar (tokoh) yang
terkena dampak ketika mengamalkan agama Islam di kemudian hari. Setiap komunitas di
suatu wilayah mempunyai lokasi ziarahnya masing-masing. Waktu nyadran biasanya
ditentukan pada tangga 15, 20 dan 23 Ruwah disebut juga sya'ban. Selain berdasarkan
kesepakatan, para anggota kelompok ini juga menganut prinsip mudhunan dan munggahan,
yaitu keyakinan bahwa Ruwah adalah orang pertama yang memasuki dunia saat masih kecil.
Upacara nyadran biasanya diawali dengan pembuatan kera, ketan, dan kolak. Generasi
pertama pekerja muda. Generasi muda adalah generasi Bangsa penerus. Sejak awal generasi
sekarang, praktik tradisional telah diikuti oleh muda. Dari sini mereka akan belajar cara yang
benar dalam menjalankan tradisi tersebut dari awal hingga akhir acara. Kemahiran dalam
mengungkapkan perasaan dan menafsirkan keyakinan agama yang mapan dapat dipelajari
dengan mudah. Karena masyarakat dan memegang teguh keyakinan agama menjadi sarana
utama dalam merayakan hari besar keagamaan, maka pada akhirnya timbul keinginan untukmerayakannya. Sedikit refleksi dan kerja keras akan membantu kita mengevaluasi kualitas
agama yang kita miliki.
Yang pertama hanya muncul setelah seseorang bertambah dewasa melalui interaksi
interpersonal dan pendidikan tentang kepercayaan tradisional; jika tidak, tradisi tersebut
lambat laun akan memburuk dengan sendirinya. Selanjutnya adat dan organisasi pemerintah
berkolaborasi untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang tradisi nyadran
yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Strategi dalam memberikan edukasi salah
satunya dilakukan pada saat pertukaran Perayaan oleh para pegawai instansi pemerintah dan
perwakilannya. Sambutan secara tidak serius memberikan dorongan kepada masyarakat untuk
terus mengamalkan nilai-nilai tradisional.
Langkah terakhir adalah memanfaatkan teknologi masa kini untuk merekam
pertunjukan tari tradisional. Dokumen ini dapat digunakan untuk mendidik generasi penerus
anak-anak yang diselingkuhi, yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai sarana untuk
mengembangkan nyadran yang lebih tradisional dan lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Wujud pelestarian budaya adalah nyadran pelestarian adiluhung nenek moyang nenek
moyang. Banyaknya kearifan dalam proses nyadran erat kaitannya dengan konteks kekinian.
Sebab, proses nyadran tidak hanya meliputi penilaian berkala terhadap makam leluhur,
selamatan/kenduri, dan penetapan kue apem ketan kolak sebagai unit utama. Secara lebih
spesifik, nyadran menjelma dapat digambarkan sebagai konstruksi sosial, konstruksi sosial,
jati diri suatu bangsa, sentimen nasionalis, dan sentimen kebangsaan.
Nilai nilai kearifan lokal yang terkandung dalam Tradisi Nyadran
Kearifan lokal adalah salah satu manifestasi dari kebudayaan yang berasal dari hasil
adaptasi kelompok atau etnis dengan lingkungannya yang diwujudkan dalam bentuk budaya.
Wujud budaya dalam hal ini meliputi: 1) pengetahuan/ide/gagasan, 2) nilai, 3) norma, 4)
etika, 5) adat-istiadat, serta 6) aturan-aturan khusus. Dari perwujudan tersebut kemudian
dijadikan sebagai pedoman/petunjuk bagi seseorang atau kelompok dalam menjalani hidup
dan akan terus diwarisi ke generasi selanjutnya. Oleh karena itu, kearifan lokal mengandung
ajaran kebaikan bagi siapapun yang mengimplementasikannya. Salah satu wujud dari kearifan
lokal adalah nilai. Nilai menurut Mulyana (2011) dalam (Frimayanti, 2017: 230)adalah
sebagai dasar keyakinan dalam menentukan suatu pilihan. Pendapat berbeda diutarakan oleh
Rahman dan Ismail (2017: 125), menurutnya nilai adalah dorongan atau motivasi bagi
manusia untuk bersikap dan berperilaku. Sedangkan Kartono Kartini dan Dali Guno (2003)
berpendapat bahwa, nilai adalah keyakinan seseorang ataupun kelompok dalam menganggap
sesuatu itu penting dan baik (dalam Zakiyah & Rusdiana, 2014: 14). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa, nilai adalah keyakinan seseorang ataupun kelompok dalam menganggap
sesuatu itu penting dan baik yang kemudian dijadikan sebagai pedoman/petunjuk dalam
berperilaku atau bersikap. Dari definisi nilai tersebut bila dikaitkan dengan kearifan lokal
berarti, ajaran yang berasal dari warisan nenek moyang yang diyakini oleh masyarakat
memiliki dampak baik untuk kehidupan, sehingga dijadikan sebagai pegangan untuk
berperilaku dan bersikap. Dalam tradisi Nyadran terdapat nilai-nilai kebaikan yang bisa
diimplementasikan sebagai pedoman hidup. Nilai-nilai yang dimaksud diantaranya sebagai
berikut1.Nilai Religius
Nilai religius berkenaan dengan kepercayaan atau keyakinan manusia dalam menjalin
hubungan dengan Tuhan yang diimplementasikan untuk mengatur dan mengarahkan
kehidupan manusia. Tradisi Nyadran akan sarat dengan nilai-nilai religi, sebab tradisi ini
dilakukan sebagai bentuk atau wujud masyarakat Jawa dalam bersyukur kepada Tuhan YME
dan para leluhurnya. Dengan kata lain, nilai religius pada tradisi Nyadran berisi tentang nilai
kedermawanan, kesalehan, dan penghambaan (Wajdi, 2017: 128). Nilai religius sangat
berpengaruh terhadap masyarakat Jawa dalam berperilaku dan bertindak, tanpa adanya nilai
ini masyarakat Jawa akan cenderung berbuat semena-mena dan tidak memiliki aturan dalam
hidupnya. Nilai religius dalam tradisi Nyadran ada dalam pelaksanaan atau prosesi ritual yang
pada umumnya berkenaan dengan doa bersama. Seperti misalnya yang ada di Desa Kapung,
Tanggungharjo, Grobogan,
2. Nilai Sosial
Di kawasan Kapung, nilai-nilai sosial Tanggungharjo terlihat dari kesediaan masyarakat untuk
melakukan pekerjaan sosial yang bermakna terkait interaksi sehari-hari dengan masyarakat
umum. Hal inilah yang menghambat masyarakat Jawa dalam menjalin hubungan satu sama
lain. Dalam konteks tradisi Nyadranan, komponen sosial adalah ritual atau upacara yang
biasanya dilakukan tanpa menggunakan sumber daya masyarakat atau alternatifnya sumber
daya alternatif yang berasal dari masyarakat secara keseluruhan dan melibatkan setiap
anggota masyarakat. Membersihkan sareyan secara gotong royong atau bersama-sama.
Kegiatan yang dilakukan secara berkelompok tidak hanya terbatas pada kelompok kecil saja;
juga mencakup kegiatan seperti pengajian, kenduri, Nyadran, dan bahkan upacara
pemakaman. Oleh karena itu, nilai-nilai sosial terpenting dalam tradisi Nyadran adalah nilai-
nilai yang mengedepankan solidaritas sosial, seperti bergotong-royong, silaturahmi, tolong
menolong, kerukunan, toleransi, serta saling pengertian dan menghargai orang lain.
3. Nilai Pendidikan
Pendidikan harus inklusif terhadap seluruh aspek yang dapat memberdayakan masyarakat
menjadi warga negara yang taat hukum.. Dapat juga digambarkan sebagai formula yang dapat
meningkatkan kinerja dan kepercayaan diri seseorang dari awal hingga akhir. Pendidikan
yang ada dalam tradisi Nyadran telah diaplikasi pada pemaparan prioritas, yang dilambangkan
untuk bersyukur kepada Tuhan atas segala kasih dan karunia yang telah mengirimkan nikmat
sehat, nikmat rezeki, dan keselamatan bagi masyarakat. Selain itu, Masyarakat Jawa juga
diajarkan untuk selalu bersikap sopan, baik hati, dan menghargai orang lain, baik yang lebih
senior atau yang kurang berpengalaman. Masyarakat Jawa merasa bahwa jika mereka disiplin
dan berperilaku baik, maka akan berdampak buruk pada kualitas hidup mereka. Selanjutnya,
masyarakat Jawa diimbau untuk menghormati dan menghormati hukum karena mereka
memahami bahwa hukum melanggar taraf hidup mereka. Akibatnya, mereka berisiko
mengalami malapetaka jika tidak melakukan tindakan tersebut. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, solidaritas sosial sangat penting bagi masyarakat Jawa; Oleh karena itu,
masyarakat diajarkan untuk selalu menjalani kehidupan pribadi, memperlakukan orang lain
dengan baik, tidak menyakiti orang lain, dan tidak pernah memanfaatkan orang lain. Selain
itu, masyarakat Jawa diajarkan untuk menjalani pola hidup rukun yang selaras dengan tanah,
artinya tanah tidak boleh hilang.Tantangan pelestarian Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo
Tantangan pelestarian Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa
Tengah. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian tradisi tersebut antara
lain:
1. Perubahan Sosial dan Budaya: Desa Kapung dapat mengancam keberlangsungan
Tradisi Nyadran. Perkembangan teknologi, urbanisasi, dan modernisasi menyebabkan
pergeseran nilai-nilai tradisional serta menurunnya minat generasi muda untuk
mempelajari dan menjaga tradisi leluhur.
2. Kehilangan Minat Generasi Muda: Generasi muda cenderung lebih tertarik pada gaya
hidup modern dan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga warisan
budaya lokal. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang makna dan nilai-nilai
Tradisi Nyadran dapat menyebabkan kurangnya partisipasi mereka dalam menjalankan
tradisi tersebut.
3. Keterbatasan Sumber Daya: Desa Kapung. Kurangnya dana untuk menyelenggarakan
acara, kurangnya fasilitas pendukung seperti tempat ibadah, dan minimnya dukungan
dari pemerintah menjadi hambatan dalam mempertahankan tradisi tersebut.
4. Globalisasi dan Pengaruh Luar: Pengaruh budaya asing melalui media massa dan arus
globalisasi dapat menggeser nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat Desa Kapung. Budaya populer yang masuk dari luar bisa menggantikan
minat dan perhatian terhadap tradisi lokal, termasuk Tradisi Nyadran.
5. Kurangnya Kesadaran Masyarakat: Kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya
lokal mungkin masih rendah di kalangan masyarakat Desa Kapung. Kurangnya
pemahaman tentang nilai-nilai budaya dan dampak positifnya bagi kehidupan
masyarakat bisa membuat mereka tidak peduli terhadap pelestarian Tradisi Nyadran.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat,
tokoh adat, dan lembaga non-pemerintah. Langkah-langkah konkret seperti penyuluhan,
pelatihan, pengembangan program pendidikan budaya, pembentukan komunitas pelestari
budaya, serta penguatan regulasi dan kebijakan perlindungan budaya lokal dapat dilakukan
untuk menjaga Tradisi Nyadran tetap hidup dan berkelanjutan.
Upaya Pelestarian Tradisi Nyadran Di Desa Kapung, Tanggungharjo
Upaya untuk melestarikan Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan,
Jawa Tengah, memerlukan kerjasama dan keterlibatan dari berbagai pihak, baik masyarakat
setempat, pemerintah, maupun lembaga terkait. Berikut adalah beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk menjaga keberlangsungan tradisi tersebut:
a. Penyuluhan dan Pendidikan Budaya: Mengadakan kegiatan penyuluhan dan
pendidikan budaya kepada masyarakat, terutama generasi muda, tentang makna, nilai-
nilai, dan pentingnya Tradisi Nyadran. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar,
workshop, atau pelatihan yang melibatkan tokoh-tokoh adat dan budayawan.
b. Pengembangan Program Pendidikan: Membuat program pendidikan formal dan non-
formal di sekolah-sekolah yang memasukkan materi tentang Tradisi Nyadran dalam
kurikulum. Dengan demikian, generasi muda dapat belajar dan memahami tradisi
tersebut sejak dini.
c. Kegiatan Budaya Rutin: Menyelenggarakan kegiatan budaya rutin, seperti
pertunjukan seni tradisional, pameran budaya, dan festival tradisi, yang memasukkan
Tradisi Nyadran sebagai bagian dari acara tersebut. Hal ini dapat meningkatkan
apresiasi dan minat masyarakat terhadap tradisi lokal.d. Pengadaan Dana dan Sarana Prasarana: Menggalang dana dari berbagai sumber, baik
pemerintah, swasta, maupun donatur, untuk mendukung penyelenggaraan Tradisi
Nyadran. Dana tersebut dapat digunakan untuk membangun atau memperbaiki sarana
prasarana yang diperlukan, seperti tempat ibadah atau panggung pertunjukan.
e. Konservasi dan Penelitian: Melakukan konservasi terhadap benda-benda bersejarah
dan artefak budaya yang terkait dengan Tradisi Nyadran, serta melakukan penelitian
terkait asal-usul, perkembangan, dan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
tersebut.
f. Pemberdayaan Masyarakat: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga
dan mengembangkan Tradisi Nyadran dengan memberikan ruang bagi inisiatif dan
kreativitas mereka. Melibatkan komunitas lokal dalam proses pengambilan keputusan
dan pelaksanaan kegiatan dapat meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab
terhadap tradisi tersebut.
g. Penggunaan Media Sosial: Memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk
mempromosikan, membagikan informasi, dan membangun jejaring terkait Tradisi
Nyadran. Dengan cara ini, pesan tentang pentingnya pelestarian tradisi dapat
disampaikan kepada khalayak yang lebih luas.
h. Penguatan Regulasi dan Kebijakan: Mendorong pemerintah setempat untuk
mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang mendukung pelestarian Tradisi Nyadran,
seperti memberikan perlindungan hukum terhadap warisan budaya dan
mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pelestarian budaya.
Dengan melakukan upaya-upaya tersebut secara terpadu dan berkelanjutan, diharapkan
Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, dapat tetap
menjadi bagian budaya masyarakat setempat.KESIMPULAN
Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, mengeksplorasi
kekayaan budaya dan nilai-nilai lokal diwariskan ke generasi muda. Dalam
menyelenggarakan Nyadran, warga Desa Kapung menggabungkan unsur-unsur agama,
budaya, dan sosial secara harmonis, menciptakan sebuah ritual yang menggambarkan
identitas kolektif dan kohesi sosial dalam masyarakat mereka.
Salah satu aspek penting dari tradisi Nyadran adalah penghormatan terhadap leluhur. Melalui
ritual ini, masyarakat Desa Kapung memperkuat ikatan emosional dan spiritual dengan nenek
moyang mereka, mengakui peran penting yang dimainkan oleh leluhur dalam membentuk
identitas dan keberlangsungan hidup komunitas. Penghormatan terhadap leluhur juga
tercermin dalam upacara adat, di mana pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai turun-
temurun.
Tradisi Nyadran juga mencerminkan nilai-nilai solidaritas dan gotong royong dalam
masyarakat Desa Kapung. Kolaborasi antar warga, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan
ritual, menunjukkan kesatuan dan kekompakan dalam menjaga dan merayakan warisan
budaya mereka. Kebersamaan ini menciptakan suasana harmonis di antara masyarakat,
memperkuat rasa saling percaya dan kepedulian satu sama lain.
Selanjutnya, Nyadran juga menjadi wadah untuk memperkuat hubungan antargenerasi.
Melalui partisipasi aktif dalam ritual ini, generasi muda belajar menghargai dan mewarisi
nilai-nilai tradisional yang telah mengakar kuat dalam budaya mereka. Sementara itu, para
sesepuh berperan sebagai pembimbing, mengajarkan kebijaksanaan dan kearifan yang mereka
kumpulkan selama bertahun-tahun kepada generasi penerus.
Dalam konteks yang lebih luas, tradisi Nyadran di Desa Kapung merupakan bagian integral
dari kekayaan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan dipromosikan. Melalui
pemahaman dan apresiasi terhadap tradisi lokal seperti Nyadran, kita dapat memperkuat
identitas budaya bangsa, serta memperkuat rasa kebersamaan dan persatuan di tengah
perubahan zaman yang terus berlangsung.
Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah, tidak hanya
merupakan warisan berharga dari masa lalu, tetapi juga sebuah sumber kearifan lokal yang
terus hidup dan berkembang dalam menjawab tantangan zaman modern. Dengan
mempertahankan dan merayakan tradisi ini, masyarakat Desa Kapung mengukuhkan identitas
mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keanekaragaman budaya Indonesia.
SARAN
Meskipun tradisi Nyadran Makam telah berlangsung selama bertahun-tahun, ada beberapa
saran yang dapat diberikan untuk memperkaya dan melestarikan tradisi ini. Pertama, lebih
banyak mengundang partisipasi generasi muda dalam pelaksanaan tradisi ini. Hal ini dapat
dilakukan melalui penyelenggaraan kegiatan yang menarik dan relevan bagi mereka, seperti
lomba seni tradisional atau workshop tentang sejarah dan filosofi Nyadran Makam.Kedua, menggali lebih dalam tentang makna dan simbolisme di balik setiap elemen dalam
tradisi ini. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, tradisi Nyadran Makam dapat menjadi
sarana edukasi yang kuat dalam menjaga dan memperkaya warisan budaya kita.
Terakhir, menggabungkan aspek modern dalam pelaksanaan tradisi ini dapat menjadi cara
yang menarik untuk menarik minat generasi muda. Misalnya, mengadakan pameran fotografi
atau kontes media sosial yang menggambarkan keindahan dan nilai-nilai dari tradisi Nyadran
Makam.
Dengan mengikuti saran-saran ini, tradisi Nyadran Makam dapat terus berkembang dan tetap
relevan di tengah perubahan zaman, sementara tetap mempertahankan harkat dan martabatnya
sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya kita
DAFTAR PUSTAKA
Wijaya A. A, Syaiffudin, & Dhita, A. N. (2021) Nilai-nilai Kearifan Lokal rumah Adat Jurnal
Pendidikan Sejarah, 10(1). https://doi.org/10.36706/JC.V10I1.11488.
Santosa, A., & Sujaelanto. (2020). Upacara Nyadran di Desa Srebegan Kecamatan Ceper
Kabupaten Klaten Sebagai Wujud Pelaksanaan Pitra Yadnya Dalam Ajaran Hindu.
Jawa Dwipa: Jurnal Penelitian dan Penjaminan Mutu, 1(2). Diambil dari
https://ejournal.sthd-jateng.ac.id/JawaDwipa/index.php/jawadwipa/article/view/29
Wajdi, M. B. N. (2017). Nyadran, Bentuk Akulturasi Islam Dengan Budaya Jawa. Jurnal
Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan, dan Teknologi, 16(2).
https://doi.org/https://ejournal.staimnglawak.ac.id/index.php/lentera/article/view/280
Sudibyo, A. (2019). "Tantangan Pelestarian Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo,
Grobogan, Jawa Tengah." Jurnal Kebudayaan, 7(2), 89-102.
Prasetyo, B. (2020). "Dinamika Pelestarian Tradisi Nyadran di Era Globalisasi: Studi Kasus
Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah." Jurnal Antropologi Budaya,
8(1), 45-5.
Suprapto, D. (2020). "Upaya Pelestarian Tradisi Nyadran di Desa Kapung, Tanggungharjo,
Grobogan, Jawa Tengah: Studi Kasus Partisipasi Masyarakat Lokal." Jurnal
Kebudayaan Lokal, 8(2), 45-58.
Wibowo, E. (2021). "Strategi Pelestarian Tradisi Nyadran di Era Modernisasi: Tantangan dan
Peluang di Desa Kapung, Tanggungharjo, Grobogan, Jawa Tengah." Jurnal
Antropologi Budaya, 9(1), 112-125.
Hendra, S. (2024). Ini Tujuan Nyadran Sebelum Datang Bulan Ramadhan, Jangan Sampai
Salah. Di akses pada tanggal 26 April 2024
https://www.suaramerdeka.com/religi/amp/0411908840/ini-tujuan-nyadran-sebelum-d
atang-bulan-ramadhan-jangan-sampai-salah#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=1714
1344900417&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com
Puspasari, S. (2023). Tradisi Nyadran: Sejarah, Makna, dan Ragam Kegiatan. Di akses pada
tanggal 26 April 2024
https://yogyakarta.kompas.com/read/2023/03/07/231517278/tradisi-nyadran-sejarah-m
akna-dan-ragam-kegiatan?page=all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H