Dipotong kuku-kuku itu hingga keujung-ujungnya.
Disetrum Afrizal.
Sudah 12 jam.
Pandangan Afrizal mulai buyar. Perutnya kembung oleh air. Perutnya belum terisi apa-apa, pun yang sudah terisi terbuang dalam muntah.
Ia belum juga mengaku, namun kini ia begitu ragu untuk mempertahankannya. Melihat kini ruhnya sudah begitu tidak lekat dengan raga, ia merasa begitu sayang jika ia mati pada saat ini.
Pikiran Afrizal lebih-lebih memikirkan nasib keluarganya setelah rasa sakit mulai mati rasa: Koko, Adi, dan Syahrul masih SD, terutama Syahrul yang sebentar lagi akan menginjak bangku SMP. Dia butuh baju, buku, dan uang gedung. Ani pastilah takkan tega untuk melanjutkan kuliah, ia pasti akan bekerja, entah membantu ibu, menjadi TKI atau menjadi istri seseorang untuk meringankan beban ibu. Dan Ibu, duh, ibuku sayang, kalau sampai aku ditangkap bagaimana nasib bisnis ibu? Ah, ah, jika aku mati, siapa yang mampu menjaga mereka? Tapi juga jika aku mengaku, aku akan dipenjara, dan sama saja hasilnya.
Apa ini yang dikatakan apes? Naas? Apa ini yang disebut bagai buah simalakama?
Polisi sudah selesai istirahat.
Wajah mereka masih garang.
Salah satu dari mereka membawa kertas dan pulpen.
"Kalo lu ngaku, gw janji proses pengadilan lu lancar, dan cuman dipenjara yah, paling lima tahun lah."