Afrizal terdiam dengan badannya yang masih basah, dan darah yang menetes dari bibirnya yang pecah. Matanya terpicu oleh suara binatang yang berada di balik sang polisi.
"Kalo lu gak ngaku, yah lu mati anjing. Terus lu kira kalo lu mati terus lu gak bakal dikira sebagai pelaku? Nggak njing. Lu bakal tetep jadi penyodomi anak kecil."
Afrizal memegang pulpen dihadapannya.
"Nah gitu dong dari tadi, kalo gitu kan lu gak bakal bonyok tadi."
Pulpen itu menulis, terseok-seok tulisannya.
"Sekarang lu mau makan apa? Nasi goreng? Nanti gw pesenin."
Tersenyum polisi itu, sedangkan Afrizal menangis. Air matanya mengenai tinta yang menjadi pudar, dan ia terus menulis.
Sang polisi keluar berteriak, "Oy, minta materai 6000 dong! Nih pelaku pengen ngaku."
Dalam alam pikir Afrizal hanya ada rasa takut melihat apa yang dibawa polisi yang ada di hadapannya. Tikus, ember, dan lilin. Dia tidak mau lagi disiksa. Ia juga tidak mau mati.
Ia hanya ingin selamat.
Dan beberapa menit kemudian, Afrizal resmi menjadi tersangka.