Ibu merasa begitu pilu oleh semua ini, dan Ani juga adik-adiknya hanya terdiam menerimanya. Mereka semua tahu bahwa kakaknya merupakan seorang tersangka, dan di kesehariannya mereka sudah mendapatkan cacian dan pengasingan. Mereka sudah tidak mampu lagi bersimpati pada sang kakak, terlupakan segala memori indah yang membekas.
Hanya sang Ibu yang menangisi nasib anaknya, seorang anaknya yang sempurna bagi dirinya, yang dijatuhi berbagai musibah, sebuah nasib yang naas. Betapa tak beruntungnya kau nak, pikir ibu. Semoga Tuhan berikan surga untukmu, walau dunia mengharapkan neraka bagimu. Tuhan tahu yang terbaik, sedangkan manusia tidak. Ibu terus meyakinkan dirinya, terus begitu.
***
Dan suatu hari semuanya sudah lupa.
Keluarga Afrizal kini telah pindah jauh dari tempat asalnya.
Ani telah menjadi TKI di Arab sana. Syahrul dan adik-adiknya bersekolah dari penghasilan Ani. Ibu masih melanjutkan usaha laundrynya yang cukup untuk makan sehari-hari.
Mereka sudah melewati berbagai rintangan dalam hidup, dan kini dengan ikhlas menjalani hidup mereka.
Lalu di ruang tamu yang kosong di kediaman keluarga Afrizal yang baru, TV masih menyala, tidak ada yang menonton.
Terlihat wajah sang anak, sang korban, kini telah dewasa untuk berpikir rasional. Dia menangis, dia meminta maaf, jika tidak dia akan merasa tersiksa seumur hidupnya. Seorang dokter juga meminta maaf, dia mengakui visum palsunya, lalai karena ia tidak mengetahui duduk perkaranya. Karenanya, izinnya telah dicabut.
Tapi Afrizal telah lama mati. Pengakuan mereka tidak berarti, ataupun mendapati tanggapan yang sensasional sebagaimana seorang anak yang disodomi beberapa tahun lalu.
Dan telah lama keluarga Afrizal merelakan kepergian pemimpin keluarga sementara mereka.