Pria besar dengan tato di tangannya merasa begitu kesal, urat nadinya keluar dari kepalanya.
"Beruntung kali polisi bawa kau ke sini, biar aku beri kau pelajaran, setan! Aku barangkali penjahat, tapi aku punya anak, tahu penyodomi anak kecil macam kau ini harus dibikin babak belur!! Mati sekalian!!!"
Afrizal menyeret badannya. Entah apa yang ia coba lakukan, menggunakan kuku-kukunya yang memerah meraih celah ubin, semata-mata menjauhkannya dari pria yang mencoba mengeksekusinya, ia tahu itu adalah usaha yang percuma.
Telah ia harap bahwa tuhan memberikannya kesempatan untuk keluar dari rasa sakit, keluar dari ancam kematian, keluar dari penjara dalam waktu yang masih mampu ditolerir. Tapi, rasa sakit itu masih ada, kematian itu masih dekat, dan nyatanya 15 tahun adalah keputusan yang pasti akan menyambarnya, sebut pengacara lembaga bantuan hukum yang enggan untuk membelanya.
Pria besar itu, melihat Afrizal masih berusaha kabur, menarik bajunya dan menyeretnya ke arah tembok. Ia lihat wajah Afrizal, matanya kosong, dan pria itu tidak melihat ada penyesalan, takut, sakit, dan lainnya. Tapi hanya kosong, mata yang sudah kehilangan harap dan rasa.
Maka kaki pria besar itu segera menyepak kepala Afrizal yang sudah lunglai, seakan dalam usaha untuk membuatnya sadar, agar rasa sesal, rasa sakit, rasa takut muncul. Tapi pria besar itu tidak melihat apa-apa, seakan pria itu sudah mati.
Disitu polisi yang merasa kekerasan ini sudah cukup diluar batas segera masuk, memisahkan pria besar dari Afrizal yang terkapar kaku di lantai berisi darah yang mengalir dari mulut Afrizal.
Tak lama ia merasai noda merah dalam pandangannya.
Tak lama ia sadar bahwa dirinya tidak mampu menegakkan badannya.
Tak lama ia merasa sesak.
Tak lama ia merasa mati rasa terhadap sakit yang barusan ia rasakan di sekujur tubuhnya.