Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemberontakan Cinderela

21 Mei 2019   06:27 Diperbarui: 21 Mei 2019   06:52 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DURI LANDAK III

Aya memasuki kelas dengan wajah lesu. Suasana di kelas tampak heboh disertai beberapa jeritan histeris dari teman-teman perempuannya. Aya terlihat tidak peduli dan dengan gontai meletakan tas, kemudian duduk melamun di kursinya. Sementara itu Indi dan Nana asyik bergosip di hadapannya.

"Sumpeh looo... Pangeran Ivan keren abizz ! Doi baru saja pulang dari Inggris setelah selama 2 tahun ini belajar di sana !" kata Indi histeris.

"Tapi sayang banget yaaa ! Kenapa juga Pangeran Ivan tidak nerusin aja studynya di sana. Padahal sudah selama ini" keluh Nana.

"Eh, Neng. Makanya baca dong. Baca!" kata Indi mengibas-ngibaskan koran yang ada di tangannya kehadapan Nana. "Di koran dan di TV kan sudah dijelaskan, Pangeran Ivan kembali untuk membantu Tuanku Yang Mulia melaksanakan beberapa tugas negara" jelasnya.

"Ooo... gitu toh. Tapi kan seharusnya kerajaan bisa bersabar dulu. Sayang bangetkan" jawab Nana menyambar koran di tangan Indi dan menatap wajah Ivan yang terpampang di halaman depan koran itu, "2 tahun di negeri orang, Pangeranku bertambah tampan saja!" desahnya penuh kekaguman.

"Enak aja Pangeran lo ! Pangeran Ivan itu milik semua gadis yang masih single tau!" kata Indi sewot sambil merebut kembali koran itu.

Ketika itulah Aya yang sedang melamun, tanpa sengaja melihat foto Ivan. Ia tertegun sejenak menatap foto itu. Aya tiba-tiba berdiri dan menyambar koran di tangan Indi dengan wajah pucat. Penuh kosentrasi ia meneliti foto itu.

Indi menatap Aya dengan wajah sewot,

"Eh, Ay ! Hati-hati dong ! Kalau main sambar begitu, ntar foto calon suami gue bisa rusak !"

Aya masih tertegun menatap koran itu dan berkata dengan nada gemetar,

"Cowok ini... siapa?"

Nana dan Indi terlihat kaget,

"WHATZZ ?! LO NDAK TAHU DIA SIAPA !" tanya mereka serentak.

Aya menggelengkan kepalanya dengen ekpspresi bloon. Nana menggeleng tak percaya menatap Aya,

"Astagaa, Ay !Sumpah lo parah banget dah ! Makanya jangan cuma baca buku matematika. Otak lo habis disabot sama angka-angka. Masa sih lo nggak ngenalin Putra Mahkota negara kita yang tampan. Dia itu calon raja negara ini! Pangeran Ivan Prasetya Adinegara Suryadininggrat"

Wajah Aya berubah semakin menjadi pucat. Tangannya gemetar hebat dan tanpa sadar menjatuhkan koran itu ke lantai. Nana dengan sigap lansung menangkap koran itu.

"Pantes kemaren mereka semua menyebutnya Yang Mulia" Aya menepuk jidatnya dengan keras, "Aduh Ayaaa ! Lo kok bisa begooooo amat ! Mampus guee ! Alamat masuk bui ! ARRRRRGGH !!! " teriaknya tiba-tiba, mengagetkan semua teman-temannya, yang lansung menatap kearahnya dengan heran.

Aya lansung terlihat menyiksa dirinya. Ia menepuk-nepuk jidat dan menghantam-hantamkan kepalanya dengan pelan ke meja sembari menendang-nendang meja itu dengan ekspresi merana. Teman-temannya dibuat bingung melihat hal itu. Riska yang baru saja datang, menatap pemandangan itu dengan aneh.

"Lo kenapa, Ay ? Ayan? Ato obat lo habis ?" tanyanya.

Aya menatap Riska dengan wajah pucat. Tiba-tiba ia lansung memeluk Riska.

"Aduh Risss ! Mati akuu ! Sahabatmu ini jadi buronan polisi ! Huaaaaaa!!" kata Aya menangis sesegukan.

Riska jadi bingung dibuatnya.

@@@

Riska menyerahkan sebungkus tisu pada Aya yang menangis di taman sekolah.

"Sudah, Ay.  Kamu tenang dulu"

"Hiks... gimana aku bisa tenang, Ris? Hiks... hiks.. kalau aku tahu dia itu pangeran negara ini...hiks... mana berani coba aku mukulin dia.. hiks... hiks! Aku ndak bakalan cari mati, Ris. Hiks... huaaa" jelas Aya sambil terisak.

Riska menggeleng pasrah menatap Aya. Perlahan ia mengusap-usap punggung temannya itu,

"Iyaa. Aku tahu....aku tahu" bujuknya.

"Hiks... saat ini polisi pasti sedang mencariku. Dalam hitungan detik, aku mungkin saja akan ditangkap. Aku mesti gimana, Ris? Aku takut dianggap teroris. Bagaimana kalau mereka tiba-tiba memasang foto ku dimana-mana termasuk di rumahnya Pak RT di daerahku. Bisa-bisa ayah tahu dan jadi sedih. Huaaa..." tangis Aya lagi.

Riska terlihat kebingungan mendengar ketakutan Aya. Dia tidak yakin istana akan berbuat seperti itu, hanya untuk menangkap sahabatnya ini.

"Yah aku juga ndak tahu, Ay". Tiba-tiba wajah Riska berubah kesal dan ia lansung memukul pundak Aya dengan gemas, " Lo juga sih ! Main pukul seenaknya ! Lo pikir Pangeran Ivan itu bedug apa ! Seharusnya sebelum lo mukul seseorang, kenalan dulu kek, tukar kartu nama kek ! Jangan main hajar sembarangan. Kayak preman aja lo" tegur Riska jengkel.

"Premankan juga manusia, Ris. Punya hati dan punya rasa. Siapa suruh pangeran sombong itu ngatain Shiro oon." jawab Aya cemberut sambil mengelus pundaknya yang tadi di pukul Riska.

Riska tampak kaget,

"Pangeran Ivan bilang begitu?"

"Yahh... nggak begitu-begitu juga sih" Aya menatap Riska sambil tersenyum dengan tampang bersalah, "Hanya persis sediiikiiiitt"

"Yeee.. itu sama saja bohong !" kata Riska jengkel.

Wajah Aya tampak manyun,

"Lo kan tahu sendiri, Ris, gimana perasaanku bila ada orang yang menghina keluargaku. Aku tidak akan membiarkan mereka lolos tanpa merasakan tinjuku."

"Oke... oke... aku mengerti. Tapi sekarang jadi beginikan masalahnya!" kata Riska jengkel. " Masalah lo tentang uang sekolah saja belom selesai. Sekarang pake lo tambahin lagi ama masalah besar kayak begini! Astaga, Aayy" seru Riska putus asa.

Aya menundukan kepalanya dengan wajah lesu. Apa yang dikatakan oleh Riska ada benarnya. Wajahnya terlihat bertambah sedih.

Riska menatap sahabatnya itu dengan ekspresi bersalah. Ia merasa sedikit keterlaluan.

"Maafin aku ya, Ay. Aku ndak bermaksud membuatmu bertambah sedih." katanya.

Aya menggelengkan kepalanya sambil berusaha tersenyum,

"Tidak pa pa kok, Ris. Lo benar kok. Aku yang salah" Aya terlihat menerawang, "Masalah uang sekolah, kehilangan pekerjaan dan sekarang aku malah menambahnya dengan memukuli Putra Mahkota. Mungkin sebaiknya aku menyerahkan diri pada polisi. Dengan demikian aku bisa menyelesaikan semua masalah dalam sekali tepukan. Bukankah kalau aku di penjara aku tidak perlu memikirkan apa-apa" katanya menatap Riska dengan senyum pilu.

Riska menghela nafas sedih mendengar ucapan Aya,

"Lo jangan pesimis gitu, Ay. Semuanya belum terbukti. Kita tunggu dan lihat saja dulu. Siapa tahu Pangeran Ivan tidak mempermasalahkan hal ini dan menganggapnya hal kecil. Yang jelas, apa yang kan terjadi maka terjadilah ! Lo masih akan tetap memiliki aku sebagai temen baik lo" ujar Riska mencoba menenangkan Aya.

Aya tersenyum sedih mendengar ucapan Riska.

@@@

Ketika Aya dan Riska kembali memasuki kelas, Rahman, Ketua Kelas 2-- A, mendekati mereka.

"Eh, Ay. Kamu dipanggil ama Buk Intan tuh." kata Rahman.

"Ada apa emangnya, Man?" tanya Aya bingung.

Rahman mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu dan mendekati temannya yang sedang asyik bermain game di Hp.

"Ada apa ya, Ris?" tanya Aya cemas.

"Don't know juga, Ay. Coba kamu pergi dulu gih. Ibu Intan kan bendahara sekolah, mungkin ada hubungannya dengan uang sekolahmu" jawab Riska.

Aya meremas-remas kedua tangannya dengan wajah pucat,

"Itu yang aku takutkan, Ris"

"Ya udah. Pergi dulu sana. Cari tahu dulu. Jangan berfikiran yang tidak-tidak" kata Riska mencoba menenangkan Aya.

Aya mengangguk lemah. Sambil menundukan kepalanya, ia melangkah keluar dengan gontai. Riska menatap kepergiannya dengan wajah prihatin.

Tak lama kemudian, Aya kembali masuk ke kelasnya dengan wajah gembira. Dia lansung mendekati Riska dan menarik Riska berdiri sambil berteriak bahagia.

"Ris ! Aku dapat beasiswa penuh ! Sekolah memberikan ku beasiswa penuh !" teriaknya mengajak Riska melompat dan berputar.

Riska tanpa sadar mengikuti gerakan Aya dengan eskpresi tak kalah gembiranya.

"Serius lo, Ay ? Ahhh...selamat ya!! "

Aya dan Riska melompat dan berputar kegirangan. Teman-teman sekelas mereka ikut bersorak gembira.

"Selamat ya, Ay !" seru salah seorang temannya.

Aya berhenti melompat dan menjawabnya dengan wajah berbinar,

"Thanks ya"

Riska lalu menarik tangan Aya duduk dengan antusias.

"Gilaaa, Ay ! Ini artinya lo bisa ngelanjutin sekolah lo di sini tanpa perlu mengkhawatirkan biaya alias gratis."

Aya meletakan tangannnya di dada dengan ekspresi tidak percaya,

"Bener, Ris. Mimpi apaaaa aku semalam. Jantungku hampir berhenti berdetak mendengar berita ini. Aku serasa terbang ke langit! Aku senaaaang sekali." kata Aya memeluk Riska sambil menahan tangis.

Riska menepuk-nepuk pelan pundak sahabatnya itu.

"Selamat ya, Neng" Riska melepaskan pelukannya dan menatap Aya, "Lo pantas kok mendapatkan ini" katanya lagi.

Aya tersenyum dan mengangguk penuh semangat.

Tiba-tiba Pak Ismeth, guru bahasa Inggris mereka yang keturunan Inggris, masuk. Murid-murid bergegas menuju bangku masing-masing.

"Good morning class!"sapa Pak Ismeth

"Good morning, Mr. Ismeth" jawab murid-murid.

"Before we start our lesson, please collect your home work. Rahman!" panggilnya.

"Yes, Mr. Ismeth?" jawab Rahman seraya berdiri.

"Would you like to help me please?"

"With my pleasure, Mr. Ismeth" jawab Rahman.

Rahman lalu mulai mengumpulkan pr teman-temannya. Murid-murid tampak sedikit berisik karena sibuk mengeluarkan buku mereka.

Riska lalu berbisik pada Aya,

"Eh, Ay. Aku masih penasaran nih"

"Penasaran kenapa, Ris?"

"Untuk mendapatkan beasiswa penuh, kamu kan mesti mendapat rekomendasi dan harus ada yang menjadi sponsor atau penjaminnya."

"Bener. Trus..."

"Lalu yang rekomendasiin dan jadi penjamin lo siapa? Pak Kepsek?" tanya Riska.

"Mulanya aku pikir juga begitu, Ris. Tapi tadi sewaktu Bu Intan sedang ngasih tahu aku mengenai masalah ini, tiba-tiba Bu Intan ada telpon. Sewaktu Bu Intan sedang bicara di telpon, aku menemukan form rekomendasi beasiswa ada di mejanya. Karena penasaran aku melihatnya."

"Trus... lo tahu siapa yang menanda tangani form itu?" tanya Riska penasaran.

"Ya jelas dong"

"Siapa yang tanda tangan?" tanya Riska benar-benar penasaran.

"Aku tidak begitu jelas, Ris. Tapi kalau tidak salah namanya itu... Erick Wijaya Adinegara." kata Aya terlihat mengingat-ingat.

"Erick Wijaya ? Siapa tuh ? Perasaan nggak ada deh, guru sini yang namanya Erick Wijaya." tanya Riska heran.

Nana yang duduk di hadapan mereka, ternyata selama ini mencuri dengar pembicaraan mereka. Ia lansung membalikan badannya dan menatap Riska dengan wajah tak percaya.

"Lo ndak kenal ama yang namanya Erick Wijaya ?! Astaga, Neng. Lo emangnya berasal dari planet manaa ? Helloooo... bumi memanggil ! Masa sih Erick Wijaya saja kalian tidak tahu. Emang klop deh kalian jadi sahabat ! Sama kupernya"

Riska memberikan Nana tatapan sewot,

"Brisik aja lo, Na ! Kalo lo tahu siapa itu Erick Wijaya, kasih tahu dong! Jangan asal nyindir"

Nana menghela nafas seperti pasrah menerima kekuperan Riska,

"Denger ya anak-anak manizzz ! Erick Wijaya itu adalah senior kita dari kelas 3 IPA A. Dia kan peringkat pertama di daftar cowok terfavorit tahun ini di sekolah kita." jelas Nana.

Aya dan Riska menatap Nana dengan wajah tak percaya,

"Senior ?!"

Ketika itulah terdengar ketukan Pak Ismeth di papan tulis meminta murid-muridnya untuk tenang.

"Okay class ! Because there is something important that I should do this morning, I will leave you for 1 hour with a task. Please open your book at page 23. Do that task and I will collect that after I am back. Remember, I go just for a while, so be quite and don't go anywhere." kata Pak Ismeth memberi peringatan.

Setelah itu Pak Ismeth keluar dari kelas dan murid-murid mulai mengerjakan tugas itu.

Riska lansung mencolek pundak Nana,

"Nana, lo tahu kenapa senior Erick bisa ngasih rekomendasi pada murid sekolah ini. Dia kan juga seorang murid ?" tanya Riska.

Nana tampak berfikir,

"Bener juga ya.  Dia kan cuma seorang murid. Atas dasar apa dia memberikan rekomendasi ?" Nana menatap Aya dengan ekspresi meremehkan, "Lagian anak sekuper lo, masa sih dia bisa kenal ?" tanya Nana tak percaya dan kembali mengerjakan tugas.

Riska terlihat jengkel mendengarkan jawaban Nana. Sementara Aya terlihat berfikir dengan seksama. Tiba-tiba Aya berdiri.

"Lo mau kemana, Ay ?" tanya Riska heran.

"Aku mau ke kelas 3 IPA A. Aku sudah tidak bisa menahan rasa penasaranku. Apa alasannya hingga mau menjadi penjaminku ? Padahal kami tidak saling kenal." jelas Aya.

"Ini kan jam masuk. Sabar dulu." tegur Riska.

"Tapi tadi aku lihat, anak kelas 3 IPA A sedang tidak masuk kok" jawab Aya.

"Sekarang kan jam kesenian. Hari ini mereka ada kegiatan menggambar pemandangan yang ada di sekolah. Makanya mereka semua berada di luar." sela Nana.

"Kok lo bisa tahu sih, Na?" tanya Riska heran.

"Mau gimana lagi, gebetan gue ada di sana." jawab  Nana.

"Emangnya gebetan lo siapa, Na?" tanya Riska penasaran.

"Senior Erick " jawab Nana genit sambil kembali mengerjakan tugasnya.

Riska hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ulah temannya itu. Sementara Aya tersenyum kecil.

"Ya udah. Aku keluar sebentar ya, Ris."

Riska mengangguk,

"Ingat, hati-hati dikerjain senior !" kata Riska.

"Beres " jawab Aya. Ia lalu mendekati Rahman untuk meminta izin keluar.

@@@

Aya mendekati kelas 3 IPA A dengan hati-hati. Di depan kelas ada seorang murid laki dengan lagak sok serius, sedang mengamati sebuah pohon. Sepertinya dia ingin menggambar pohon itu.

"Selamat pagi, Senior Jaja yang tampan dan baik hati" sapa Aya dengan hati-hati.

Murid yang ternyata bernama Jaja itu menghentikan kegiatannya dan membusungkan dada dengan gaya sombong,

"Oohh pagi. Ape ade yang bisa aye bantu?" tanyanya dengan lagak orang penting.

"Maaf, Senior. Saya mencari Senior Erick. Apa Senior Erick ada ?" tanya Aya.

"Ooooo Erick. Dia kagak ade di kelas. Barusan aje die cabut. Coba lo cari di gedung hantu entu tuh" jawab Jaja menunjuk gedung tingkat dua yang terbengkalai.

 "Terima kasih banyak Senior Jaja yang yang tampan dan baik hati" kata Aya pamit pergi.

Pemuda itu mengangguk dengan gaya angkuh. Aya membalikan badannya sambil berusaha menahan tawa melihat ulah seniornya itu.

@@@

Gedung hantu adalah bangunan dua lantai yang selama ini terbengkalai. Sekarang dijadikan gudang penyimpanan barang bekas dan bahan bangunan. Pihak sekolah sudah lama ingin segera merenovasi gedung ini. Namun belum terlaksana. Kenapa para siswa menyebut gedung ini gedung hantu? Kabarnya bukan karena gedung ini ada hantunya, namun hanya karena nama itu terdengar seram dan keren.

Aya bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan Erick di sini, pagi-pagi begini? Apa dia bermaksud untuk menggambarkan keadaan gedung yang merupakan salah satu ikon sekolah ini dan tempat favorit bagi para siswa untuk menyendiri ?

Tanpa sengaja Aya menendang sebuah kaleng. Kaleng itu lansung menggelinding menuruni tangga dengan berisik. Aya terlihat kaget. Sementara itu, Erick yang ternyata sedang tidur di kursi panjang yang ada di lantai dua, lansung terbangun. Spontan ia duduk dan memandang ke arah tangga dengan waspada. Ketika itulah ia melihat Aya yang menaiki tangga itu dengan hati-hati.

"Siapa kau ? Berani sekali datang ke tempat ini ? Apa kau tidak tahu kalau ini adalah wilayah kekuasaanku" tanya Erick garang.

Aya menatap Erick dengan pandangan menunduk takut-takut.

Erick menatap lengan baju Aya, tempat tanda kelas berada. Dia melihat 2 balok merah di lengan Aya. Erick tersenyum jahil,

"Oooo... anak kelas dua rupanya. Dimana sopan santunmu !" tegur Erick pura-pura galak. "Apa kau tidak tahu, mengganggu tidur senior hukumannya sangat berat. Mau cari mati ?!"

Aya semakin menundukan kepalanya dengan gemetar. Di sekolah ini berlaku peraturan tak tertulis bahwa "SENIOR ITU BERKUASA !" dan setiap murid yang ada di sekolah ini, terutama para junior, harus selalu mengingat dengan baik sumpah janji junior yang isinya :

Senior tidak pernah salah

Kalau senior salah, kembali ke pasal satu.

Kalau ada yang melanggar, maka alamat dia dikerjai oleh para senior. Memang tidak melibatkan kekerasan, namun selalu saja ada ide-ide jahil para senior untuk mengerjai junior-juniornya.

'Maaf, Senior. Saya tidak bermaksud mengganggu tidur Senior.Tapi saya sedang mencari Senior Erick." jelas Aya takut.

"Untuk apa mencarinya ?" tanya Erick heran.

Aya perlahan mengangkat kepalanya menatap Erick,

"Ngg... saya mau mengucapkan terima kasih, Senior"

"Mengucapkan terima kasih ? Untuk apa?"

"Sebelumnya, apa Senior adalah Senior Erick ?" tanya Aya ragu.

"Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa ?" tanya Erick galak.

Aya kembali menunduk takut,

"Kalau iya, saya ingin mengucapkan terima kasih. Tapi kalau tidak, saya memohon maaf karena telah mengganggu tidur Senior" jawabnya.

Erick terlihat mengusap belakang lehernya karena bingung.

"Kau dari tadi selalu saja bilang terima kasih. Terima kasih untuk apa sih ?" tanyanya kebingungan.

"Apa Senior adalah Senior Erick ?" tanya Aya lagi.

Erick menghela nafas pasrah,

"Yaa aku Erick. Dan seingatku, ketika pagi ini aku bangun dari tidurku, namaku belum berubah. Puaas ?!"

 Mendengar hal ini, Aya tersenyum lebar seketika. Dia berlari ke arah Erick dengan gembira. Erick terlihat kaget.

"Eits..tunggu dulu ! Ada apa ini ?!" tanya Erick bingung.

Namun Aya sudah memegang tangan Erick dan menjabatnya dengan penuh semangat.

"Terima kasih, Senior ! Saya sangat berterima kasih ! Kebaikan Senior karena telah membantu saya dalam mendapatkan beasiswa penuh, tidak akan saya lupakan. Terima kasih, Senior !"

Erick menatap Aya dengan ekspresi campuran rasa takut dan bingung.

"Eh... iya. Saya mengerti. Sekarang bisakah tolong tangan saya dikembalikan ?" pinta Erick.

"Baik, Senior !" jawab Aya masih dengan senyum lebar.

Aya lalu melepaskan tangan Erick dengan hati-hati. Erick memutar-mutar tangannya yang tadi digenggam Aya dan mengamati Aya dari atas sampai ke bawah.

"Jadi kau yang namanya Ayamari Azayaka ?" tanya Erick.

Aya lansung berdiri dengan sikap sempurna dan menjawab pertanyaan Erick dengan suara yang sangat lantang,

"Benar, Senior !"

"Ehh...kau tidak perlu menjawab dengan suara selantang itu' pinta Erick, kaget.

Aya yang masih berdiri dengan sikap sempurna lalu menjawab pertanyaan Erick setengah berbisik,

"Baik, Senior "

"Juga tidak perlu sepelan itu." kata Erick bingung.

"Baik, Senior " jawab Aya dengan nada suara biasa.

ErIck hanya bisa menghela nafas pasrah sambil geleng-geleng kepala.

Aya menatap Erick dengan ekspresi ragu,

"Kalau boleh saya bertanya, kenapa Senior mau membantu saya ? Kita kan tidak saling kenal ?"

Erick bersandar santai menatap Aya,

"Siapa yang tidak kenal dengan Ayamari Azayaka ! Juara lomba matematika antar SMU !" kata Erick meniru ucapan Riska.

 "Hah ?" Aya terlihat bingung.

Tiba-tiba Aya teringat pembicaraannya dengan Riska kemarin di gedung ini.

"Kemaren Senior mendengarkan pembicaraan kami ya ?" tanya Aya.

"Dengan tangis sekeras itu, aku rasa orang tuli pun akan sanggup mendengarnya" jawab Erick santai.

Erick lalu menyambar teh kotak yang ada di sampingnya.

"Lalu apa alasan Senior menolong saya ?" tanya Aya penasaran.

Erick terpaku sesaat, sebelum kemudian menatap Aya tajam,

"Untuk apa kau menanyakan hal itu? Bukankah yang penting kau tidak di DO dari sekolah." Erick tersenyum mengejek, "Kau mengganggu tidurku hanya karena masalah ini?" katanya seraya memalingkan wajahnya menatap ke arah taman yang ada di bawah dan menikmati minumannya.

Aya memperhatikan Erick dengan wajah lesu,

"Maaf, Senior. Saya hanya ingin tahu. Walau bagaimanapun, terima kasih atas pertolongan, Senior " Aya berhenti sesaat untuk mengamati reaksi Erick. Namun Erick terlihat tak peduli.

"Kalau begitu saya pamit dulu, Senior. Maaf kalau sudah membuat Senior terganggu. Silahkan kembali melanjutkan istirahatnya " kata Aya sambil membalikan badannya hendak pergi.

"Kita senasib." kata Erick tiba-tiba.

Aya kembali berpaling,  menatap Erick dengan wajah bingung,

"Maaf?"

"Aku bilang, aku menolongmu karena kita senasib." jawab Erick tak peduli seraya kembali berbaring dan menutup matanya.

Aya semakin bertambah bingung. Namun ia akhirnya kembali membalikan badan dan berjalan menuju tangga sambil bergumam bingung,

"Senasib? Apa maksudnya?"

"Hei...kau!" panggil Erick tiba-tiba.

Aya kembali berbalik menatap Erick, yang masih berbaring sambil menutup mata.

"Ada apa, Senior?"

"Apa benar kalau kau itu jago matematika?" tanya Erick

Aya terlihat bingung,

"Tidak begitu jago sih, Senior. Hanya saja saya menyukai matematika" jelasnya.

Erick tersenyum kecil,

"Apa kau pernah mengerjakan soal-soal matematika kelas tiga? Atau itu terlalu sulit bagimu" tanya Erick.

Aya terdiam sesaat. Dia terlihat berfikir,

"Semua soal matematika sebenarnya tidak ada yang sulit bila kita mengerti cara mengerjakannya." jawab Aya.

Senyum Erick semakin lebar,

"Kalau begitu, lain kali bisakah menolongku mengerjakan PR?" tanya Erick.

Aya tampak kebingungan. Namun akhirnya ia hanya bisa mengangguk,

"Baik, Senior"

"Bagus kalau begitu! Sekarang... pergilah" usir Erick seraya membalikan badannya ke arah tembok.

Aya benar-benar kebingungan dengan sikap Erick.

"Baik, Senior. Selamat beristirahat. Permisii" kata Aya yang kemudian berlalu dengan wajah penuh tanda tanya.

Erick menyimak langkah kaki Aya menuruni tangga. Perlahan ia membuka matanya dan duduk. Erick menatap ke arah tangga dengan ekspresi melamun.

@@@

Aya memasuki kelas dengan wajah yang masih terlihat bingung. Dia kemudian duduk dan lansung dikerumuni oleh Riska, Nana dan Indi.

"Gimana, Ay? Ketemu?" tanya Riska.

Aya mengangguk lesu.

"Trus gimana? Senior Erick bilang apa?" tanya Nana

"Ayo dong Aya...ceritaaa!"pinta Indi menggoyang-goyangkan tangan Aya.

Aya menatap teman-temannya bergantian,

" Yaaa... gitu deh" jawabnya.

"Maksudnya apa sih, Ayyy? Jangan bikin kami tambah penasaran dengan pernyataan yang nggak jelas deh." kata Riska sewot.

Aya menatap Nana,

"Eh, Na. Lo bilang Senior Erick merupakan pemuncak dalam daftar cowok terfavorit tahun ini. Lo serius?" tanya Aya.

"Ya iya dong, Ay! Buat apa gue bohong coba. Masa sih lo nggak pernah liat daftar cowok terfavorit yang selalu ditempel dengan manis di mading sekolah kita. Sebagai salah seorang PPDCF..."

"Apaan tuh, Na?" potong Riska bingung

"PPDCF itu singkatan dari Panitia Penyusun Daftar Cowok Favorit." jawab Nana dengan wajah bangga.

Aya dan Riska saling pandang sambil tersenyum kecil.

"Jadi gue paling tahu urutan yang diterima semua cowok di sekolah ini. Dari urutan pertama sampai terakhir, alias cowok yang tidak bakalan dilirik sama sekali oleh cewek!"terang Nana.

"Jadi tahun lalu juga Senior Erick yang memegang gelar itu?" tanya Aya penasaran.

"Embeerr! Tahun lalu, Senior Erick mendapatkan nilai yang hampir sama dengan Senior Bambang. Namun akhirnya dia mengalahkan Senior Bambang dengan telak." jelas Indi.

"Lo kok tahu, In? Apa lo juga termasuk dalam organisasi yang disebut PPDCF itu?" tanya Riska penuh ejekan.

"Ya iya dong, Riisss! Selama lo mengaku sebagai cewek normal, lo pasti akan merasakan kebanggaan luar biasa bila berhasil bergabung dengan PPDCF" jelas Indi sombong.

"Maksud lo, cewek normal itu adalah cewek-cewek yang kurang kerjaan kan?" tanya Riska dengan ekspresi sepolos mungkin.

Nana dan Indi tampak sewot.

"Sudah, In. Ndak ada gunanya ngejelasin hal seperti ini pada cewek nggak normal seperti Riska." kata Nana.

Riska terlihat sewot. Namun Aya menahannya dan kembali menatap Nana.

"Kalau Senior Bambang, gue bisa ngerti kenapa dimasukan ke dalam daftar nggak penting milik kalian itu. Tapi Senior Erick, masa sih dia merupakan idaman para gadis sekolah ini? Harus gue akui kalau wajahnya ganteng, tapi sifatnyaaa..." Aya tidak meneruskan ucapannya.

"Kalian mau tahu kenapa Senior Erick mendapat tempat pertama di hati para gadis sekolah ini?" pancing Indi.

Aya dan Riska menganggukan kepala mereka serentak.

Nana dan Indi saling bertatapan dengan wajah penuh binar kekaguman,

"Bandelnya itu looohhh...bikin nggak tahaaan!" seru mereka histeris sambil tersenyum penuh kekaguman.

Aya terlihat bingung,

'"Maksud kalian apa sih?"

"Astagaaa...kalian ini! Apa ndak pernah ngikutin perkembangan dunia?! Eh, Neng, siapa Presiden Amerika sekarang aja, jangan-jangan kalian pada nggak tahu!"  keluh Nana dengan wajah seperti tidak percaya.

"Makanya gaul dong! Seperti yang dikatakan Prof.Snape dalam pelajaran Bahasa Indonesia, jangan jadi katak dalam tempurung. Lo kataknya..."kata Indi menunjuk Aya. "... dan lo tempurungnya." katanya lagi menunjuk Riska.

Nana dan Indi tertawa girang. Sementara Aya dan Riska hanya bisa saling berpandangan sambil geleng-geleng kepala.

Riska menghela nafas dengan keras,

"Baiklah. Anggap saja kami ini adalah katak dalam tempurung. Tapi bisakah kalian jelaskan alasan kenapa Senior Erick bisa mendapat tempat pertama dalam daftar nggak penting kalian tersebut, monyet-monyet Ragunaaan." balas Riska.

Wajah Nana dan Indi lansung berubah manyun, sementara Aya dan Riska lansung melakukan gerakan hi five.

Nana lalu duduk dibangkunya dan menatap mereka berdua dengan wajah antusias,

"Eh...kalian ingat nggak, peristiwa tahun lalu ketika semua murid sekolah ini dijemur ama Pak Disiplin di lapangan?" tanyanya.

Aya terlihat bingung,

"Peristiwa yang mana sih? Kayaknya kalau udah menyangkut Pak Disiplin, semua murid sering sekali mendapatkan hukuman berjemur di lapangan."

Riska menganggukan kepalanya tanda setuju.

"Masa nggak ingat sih peristiwa besar yang ujung-ujungnya menghasilkan peraturan 'setiap siswa yang kedapatan buang sampah tidak pada tempatnya' akan didenda! Itu loh, peristiwa ketika Pak Disiplin kecebur ke dalam kolam sekolah, gara-gara kepleset kulit pisang!" jelas Indi.

Aya dan Riska seketika itu juga membayangkan peristiwa itu dalam benak mereka (Pak Disiplin yang sedang berjalan dan tiba-tiba terpleset kulit pisang dan berakhir di kolam sekolah)         

"Ooo...iya! Peristiwa yang itu! Ya ingat lah, Buuk! Pak Disiplin kan waktu itu ngumpulin kita semua dan mengancam untuk menjemur kita semua di lapangan sampai ada yang ngakui perbuatan tercelanya, membuang kulit pisang sembarangan" seru Rista antusias.

"Bingo ! 100 buat lo." jawab Nana.

"Lalu apa hubungannya dengan Senior Erick?" tanya Aya bingung.

"Denger dulu ceritanya" kata Indi penuh semangat.

Aya hanya bisa menganggukan kepalanya.

"Kalian pasti juga ingat kalau waktu itu Pak Disiplin juga mengancam akan memberikan nilai merah pada mata pelajarannya, bila tidak ada yang mau mengaku. Kata Pak Disiplin, yang dia inginkan hanya kejujuran. Dan siapapun yang melakukan itu harus berani berkata jujur, kalau tidak dia telah merugikan teman-temannya " lanjut Indi.

Rista tampak mangut-mangut, "Iya. Lo bener. Waktu itu aku sampe ngutuk-ngutuk agar yang melakukan hal itu kepalanya lansung botak. Pak Disiplin kan ngajar agama! Alamat di DO kita semua kalau nilai agama kita sampe merah!"

"Tapi kalau tidak salah, saat itu lansung ada yang ngaku kan?" tanya Aya.

"Bener! 100 lagi buat lo. Sekarang coba tebak, siapa yang mengakui hal tersebut?" tanya Nana tersenyum rahasia.

"Bukan Senior Erick kan?!" jawab Aya dan Riska serentak.

Indi terlihat menerawang kagum,

"Senior Erick bagaikan The White Knight, lansung maju ke depan podium dan berkata kalau dialah yang melakukan hal tersebut. Dia rela menerima hukuman demi menyelamatkan kita semua!"

"Loh, emangnya bukannya dia yang buang sampah sembarangan? Ya jelas dia mesti bertanggung jawab dong!" kata Riska.

"Jadi kalian belom tahu yaa cerita sebenarnya!" seru Nana kaget. "Ckckckc...kasihan sekali kalian berdua"

"Memangnya bukan Senior Erick yang bertanggung jawab, Na?" tanya Aya heran.

"Nona-nona maniiss, menurut saksi mata dan juga semua sumber yang tajam dan terpercaya serta nggak basa basi, bukan Senior Erick yang melakukan hal itu. Namun Senior Dhika. Temen sekelasnya" jelas Nana.

"Trus kenapa senior Erick yang ngaku?" tanya Aya.

"Kabarnya, waktu itu Senior Dhika sudah gemetar ketakutan. Sampai asmanya kambuh. Dia ketakutan sampai sesak nafas. Pak Disiplin kan terkenal dengan keketatannya dalam menjalankan aturan. Senior Dhika takut nilai agamanya bakal bermasalah." jelas Nana.

"Loh, Senior Erick emangnya ndak takut kalau nilai agamanya bermasalah?" tanya Riska.

"Ya elah, Neng! Lo semua kan tahu Pak Disiplin itu hanya galak di mulut tapi baik hatinya. Senior Erick hanya dihukum ngangkutin bata dari gedung hantu ke tempat pembangunan pos satpam sekolah" jelas Nana.

"Jadi Senior Erick mengaku karena kasihan sama Senior Dhika?" tanya Aya penasaran.

"Betul! Karena senior Erick nggak tega melihat temennya seperti itu. Dia lansung memutuskan untuk mengakui kesalahan yang bukan miliknya. Lagi pula, kabarnya Senior Erick bilang kalau dia bosan mendengarkan ceramah Pak Disiplin yang bertele-tele dan nggak selese-selese!" lanjut Indi.

"Masih ada satu alasan lagi nih yang membuat dia mengakui hal itu" kata Nana antusias.

"Apa?" tanya Aya dan Riska serentak.

"Senior Erick juga sedang nggak kepengen masuk kelas. Menurut teman-temannya, Senior Erick memang sedang mencari alasan agar bisa bolos ulangan kimia!" jelas Nana sambil tertawa kagum.

"Jadiii... dia lebih memilih dihukum atas sesuatu yang tidak dilakukannya hanya karena ogah ikut ulangan kimia?" tanya Aya tak percaya.

"Iyaaa! Keren kan diaaa!" seru Nana dan Indi serentak.

Mendengar seruan kagum Nana dan Indi, beberapa murid lain yang asyik mengerjakan tugas, menatap mereka berdua merasa terganggu.

"Huss! Tenang sedikit! Dari pada ngerumpi, kerjakan tugas kalian! Ntar lagi Pak Ismeth balik!" tegur Rahman pada Nana dan Indi.

Nana dan Indi hanya bisa manyun dan kembali ke kursi masing-masing untuk mengerjakan tugas mereka.

Aya dan Riska tersenyum kecil melihat hal itu.

"Sepertinya Senior Erick itu...gilaa!" kata Riska membuka lagi bukunya.

Aya mengangguk-angguk tanda setuju. Tapi mau tidak mau ia salut pada rasa kesetiakawanan Erick.

@@@

Ivan sedang menyimak penjelasan guru yang sedang memberinya pelajaran politik. Pak Harun duduk tak jauh darinya dan tampak mengawasi hal tersebut sambil sesekali membuat catatan.

"...jadi Yang Mulia. Keadaan yang diperlihatkan pada abad pertengahan tadi berakhir dengan timbulnya Renaisans dan reformasi, yang membawa pembaharuan. Terutama dalam bidang budaya. Pada saat itu, masyarakat Eropa tidak mau lagi mengikatkan diri pada tradisi dan gereja. Reformasi yang ada juga di pengaruhi oleh penyebaran agama Islam melalui universitas-universitas mereka yang ada di Andalusia. Hal inilah yang di sebut sebagai mercu suar penembus kegelapan Eropa pada abad pertengahan.." jelas gurunya.

"Apa Perang Salib yang saat itu terjadi juga ikut mengambil bagian dalam perubahan ini?" tanya Ivan.

"Betul, Yang Mulia Pangeran. Pada saat itu Perang Salib secara tidak lansung telah membuka mata bangsa Eropa terhadap perkembangan negara-negara di  dunia." jawab gurunya.

"Selain reformasi di bidang agama dan pembaharuan terhadap nilai tradisi yang dianut Eropa, masa renaisans pasti juga memiliki pengaruh buruk kan ?! Contohnya saja mengenai masalah moral. Jika masyarakat sudah tidak lagi berpegang pada tradisi dan agama yang mereka anut, maka bukankah ini juga akan membuat perkembangan moral masyarakat yang selama ini terikat dalam nilai-nilai yang sudah ditetapkan akan menjadi bermasalah?" kata Ivan.

Gurunya bertepuk tangan gembira,

"Yang Mulia Putra Mahkota memang hebat dalam menganalisa. Saya baru saja ingin menanyakan pendapat anda mengenai hal ini." sambut gurunya sambil tersenyum. "Apa yang Yang Mulia Pangeran ucapkan benar sekali. Pada masa itu masalah moral terkesan tidak dipedulikan. Pengkhianatan antar teman, serta nafsu ingin berkuasa merajalela. Saat itu banyak timbul kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan. Apalagi kecurigaan itu muncul antar sahabat. Sampai-sampai dikisahkan, pada penobatan seseorang yang terkemuka semua tamu yang datang membawa minuman mereka sendiri karena mereka takut diracuni" jelas gurunya.

Tiba-tiba pintu ruang belajar itu diketuk dan dibuka. Pak Harun, Ivan dan gurunya menatap ke arah pintu. Di sana tampak Erick melongokan kepalanya.

"Ups...maaf, Yang Mulia Pangeran! Saya tidak bermaksud menggangu anda." kata Erick kaget, dengan ekspresi meminta maaf.

Erick bersiap hendak kembali menutup pintu.

"Masuk saja, Rick. Tidak apa-apa" panggil Ivan.

"Anda yakin, Yang Mulia?" tanya Erick ragu.

Ivan menganggukan kepalanya sambil tersenyum. Erick kemudian masuk dan menutup pintu. Ia lalu duduk di kursi yang berada di seberang meja Ivan.

"Maafkan saya, Profesor. Tapi bisakah kita beristirahat sebentar?" pinta Ivan.

"Baik, Yang Mulia Pangeran. Saya akan berkunjung lagi nanti" sahut gurunya mengangguk dengan hormat.

Guru tersebut membereskan bukunya. Kemudian dia menunduk hormat pada Ivan,

"Saya mohon diri, Yang Mulia" katanya.

Ivan membalas salamnya dengan anggukan hormat.

"Pak Harun"

"Saya, Yang Mulia" jawab Harun.

"Tolong antarkan Prof. Jusuf Siregar." pinta Ivan.

 "Baik, Yang Mulia Pangeran" jawab Harun.

Pak Harun lalu berdiri dan mempersilahkan Professor Jusuf untuk mengikutinya,

"Silahkan, Professor" katanya dengan nada hormat.

Prof. Jusuf mengikuti Pak Harun keluar. Ia memberikan anggukan hormat pada Erick. Erick membalas anggukannya.

Setelah Pak Harun menutup pintu, Erick lansung berdiri dan mengamati papan tulis,

"Sedang belajar apa, Bro? "

"Politik Pemikiran Barat." jawab Ivan membereskan buku-buku yang ada di meja. "Sebelum kau datang dan menggangguku, aku sedang menikmati petualangan yang sangat seru di abad pertengahan." kata Ivan lagi tersenyum pada Erick.

Erick membalikan badan dan menatap Ivan dengan senyum lebar,

"Wah...maafkan saya, Yang Mulia Putra Mahkota. Saya tidak bermaksud untuk mengganggu keasyikan Yang Mulia mengembara diantara putri-putri cantik abad pertengahan" ejeknya.

Ivan hanya tersenyum kecil dan menyimpan bukunya. Erick lalu mendekati Ivan dan duduk di tepi meja.

"Bukankah Tuanku Yang Mulia menyuruhmu untuk beristirahat dan jangan dulu menjejali otakmu dengan pelajaran?" tanyanya.

"Sejak kapan kewajibanku mengenal kata istirahat, Rick" Senyum di  wajah Ivan berganti ekspresi pahit, "Bahkan istirahatpun merupakan sebuah kewajiban bagiku, bukan keinginan."

Ivan kemudian menyambar sebuah bola tangan yang ada di meja. Ia tampak melamun sambil meremas-remas bola tangan itu. Erick menatapnya penuh pengertian.

"Sorry, Bo. Aku lupa"

Ivan terlihat tak peduli dan masih asyik dengan kegiatannya.

Erick menatap bola yang dimainkan oleh Ivan,

"Kau masih menyimpan bola itu.?"

Ivan menatap bola yang ada di tangannya dan tersenyum kecil,

"Ya. Aku tidak akan pernah membuangnya. Selama ini bola inilah yang menemaniku melewati hari-hariku." jawab Ivan.

"Kau tahukan betapa aku pernah membencimu karena bola itu.?" tanya Erick.

Ivan mengangguk dan menatap Erick,

"Ya...aku tahu."

"Waktu itu aku mengira, ayah akan memberikan bola itu padaku. Bola kesayangannya. Aku putranya sendiri. Tapi beliau malah memberikannya padamu." Erick tersenyum sedih, "Dan yang lebih menyakitkan, dia memberikannya di depan mataku. Aku betul-betul marah padamu. Aku berfikir kau sudah merebut ayahku."

Ivan perlahan berdiri dan duduk di sebelah Erick. Ia menatap bola itu dengan seksama,

"Aku tidak menyangka bola ini memberikan pengaruh yang besar padamu."

Erick menatap Ivan,

"Ketika aku protes pada ayah, ayah malah mengatakan kalau kau adalah orang yang paling membutuhkan bola itu." Erick tertawa kecil, "Mulanya aku tidak mengerti apa maksud ayah, namun sekarang aku bisa memahami pemikiran beliau."

"Maksudmu sekarang kau sudah mengerti alasan kenapa aku lebih membutuhkan bola ini?"

"Ya. Aku sudah mengerti."

"Aneh. Kenapa aku tidak mengerti sama sekali ya" keluh Ivan.

Erick lalu menepuk pundak Ivan,

"Tenang saja. Bila nanti kau sudah jauh lebih dewasa, aku akan menjelaskannya."

Ivan tertawa kecil dan menggerakan bahunya menyingkirkan tangan Erick,

"Hei, aku lebih tua dua bulan dibandingkan dirimu."

"Loh... bukannya kau sendiri yang bilang..." Erick lalu meniru gaya Ivan, ".. usia bukanlah penentu segala-galanya"

Ivan kembali tertawa dengan nada pasrah,

"Aku tidak pernah bisa menang kalau berdebat denganmu."

"Bukannya kau tidak pernah menang. Tapi kau selalu mengalah." jawab Erick. "Benar juga, kau selalu mengalah padaku. Kenapa ya?" tanya Erick penasaran.

Ivan tersenyum pada Erick,

"Aku akan menjawab pertanyaanmu, bila kau sudah jauh lebih dewasa." balas Ivan.

Erick tertawa lepas,

"Lihatkan! Siapa bilang kau tidak pernah menang berdebat denganku."

Ivan tertawa kecil mendengarnya sambil tetap asyik memainkan bola yang ada di tangannya.

Erick perlahan meninju lengan Ivan,

"Kau tahukan, Bro. Kau selalu bisa mengandalkanku."

Ivan mengusap lengannya sambil mengangguk,

"Ya. Aku tahu." Ia menatap Erick dengan ekspresi sayang, "Kau adalah teman terbaikku. Aku tidak akan bisa melakukan semua yang kulakukan saat ini tanpa dukunganmu." Ivan tampak menerawang, "Tapi itu tetap bukan alasan untuk menikahimu!"

Erick tampak kaget,

 "Apa?!" Ia tertawa tak percaya menatap Ivan, " Hei.. aku juga tidak tertarik untuk menikah denganmu!"

Ivan tersenyum kecil,

"Sayang sekali. Apa kau tidak tahu, bahwa berdasarkan survey terakhir di salah satu majalah remaja terkemuka di negara kita,  aku terpilih sebagai kandidat utama calon suami idaman para gadis?"

Erick mendengus tak percaya dengan apa yang didengarnya. Kedua pemuda itu berpandangan. Akhirnya mereka berdua sama-sama tertawa. Ketika itulah Pak Harun mengetuk pintu dan masuk.

"Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran. Tapi sudah saatnya Yang Mulia Pangeran menghadiri pertemuan bersama dengan Tuanku Yang Mulia dan Menteri Kebudayaan." kata Pak Harun menunduk hormat.

Ivan menghela nafas tak kentara.

"Baiklah, Pak Harun" jawabnya. Ivan kemudian menatap Erick, "Sorry, Bro. It's time for me to go"

Erick mengangguk,

"That's okay. Nanti malam aku akan mencarimu lagi."

Ivan lalu meletakan bola yang dipegangnya di atas meja dan merapikan jasnya.

"Jangan lupa. Sebelum pulang temui terlebih dahulu Puanku Yang Mulia. Beliau menanyakanmu."

Erick mengangguk,

"Beres. Lagi pula aku memang berniat untuk memberi salam pada beliau."

Ivan menepuk pundak Erick pelan,

"Sampai jumpa nanti malam."

Kemudian ia berjalan ke arah pintu yang dibukakan oleh Harun. Pak Harun mengangguk hormat pada Erick, kemudian menutup pintu. Erick menatap pintu setengah melamun. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada bola yang ada di meja Ivan. Ia meraih bola itu dan menatapnya dengan senyum penuh kerinduan,

"Ayah benar. Ivan memang lebih membutuhkan bola ini." katanya menggenggam bola itu dengan erat. Wajahnya terlihat pilu.

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun