Ekspresi wajah dokter itu terlihat sangat menakutkan bagi saya dan otak saya yang masih kanak tidak bisa memahami kenapa rumah sakit bisa seperti itu.
Bangunan besar peninggalan Belanda yang terlihat kokoh dari luar, kenapa di dalam bisa seperti perkampungan yang penuh sampah di pinggir sungai yang berjarak 3 kampung dari rumah yang selalu dikatai mama sebagai tempat biang penyakit karena kumuh, kotor dan jorok. Kondisi perkampungan yang seperti itu dijadikan mama alasan untuk melarang keras semua anak pergi bermain sampai ke arah sana.
Dalam sekejap saya memiliki tekad yang kuat untuk tidak menjadi dokter karena aneh dan membingungkan.Â
SENGAJA
"Dokter! Ini anak kenapa bodoh sekali?!" tanya mama kesal setelah mengambil rapot kelas 1 SD saya.
Dokter melihat sekilas rapot yang penuh tinta merah yang ditunjukkan mama.Â
"Bagus. Dia naik kelas," kata dokter pendek.Â
Mama kembali ribut dengan membandingkan saya dan anak yang lain. Saya hanya diam berdiri memperhatikan mereka.
"Yang penting itu anak ini naik kelas tanpa perlu kalian lakukan apapun! Tujuan bersekolah sudah dia capai." Dokter terus membela saya dan bersikeras tidak mau menuliskan resep untuk membuat otak pintar.
Dokter sudah mengenal saya dengan sangat baik sebelum saya mengenal diri sendiri. Dokter tahu hubungan saya dengan para kakak sangat buruk dan dokter juga tahu saya selalu bertindak sangat bertolak belakang dengan kakak.Â
Di depan orang tua dan kakak pasti dokter membela saya. Tetapi, saat tidak ada mereka pasti saya ditegur. Cara dokter menegur saya seperti bapak ke anak. Selain itu, dokter tidak pernah merendahkan anak kecil sehingga saya berani untuk terbuka dan menyahut.Â