Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

PERCAYA

28 Maret 2023   17:51 Diperbarui: 27 Juni 2023   20:38 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ini anak perempuaaaan! Menang?" tanya dokter Widhodho.

"Menang!" jawab saya dengan lantang dan keras.

DOKTER

Sosok dokter yang terekam dalam ingatan ini adalah pria yang tidak pernah tersenyum. Tetapi, sejak kanak saya tahu sekali bahwa dokter sangat mengkhawatirkan saya.

Hari itu masih jelas di dalam ingatan saat berdua mama naik bajaj. Tiba-tiba, saat bajaj berjalan makin mendekat ke arah bangunan besar peninggalan Belanda, mama sambil menunjuk ke arah itu berkata,"Itu rumah sakit. Dokter Widhodho kerja di dalam sana. Nanti kapan-kapan waktu sakit, kita pergi berobat ke sana. Kita lihat tempat kerja dokter di rumah sakit."

Selama ini setiap anak-anak sakit selalu dibawa mama pergi berobat ke tempat praktek dokter anak - dokter Widhodho yang tidak jauh dari rumah kami. 

Saya yang tidak pernah pergi ke rumah sakit, jadi senang sekali mendengar mama mau mengajak ke sana.

"Dokter, nanti waktu sakit lagi kita boleh berobat ke rumah sakit?" tanya mama saat membawa saya datang berobat.

Reaksi dokter saat ditanya seperti itu hingga kini, masih teringat dengan jelas di pelupuk mata saya. Mama pun hingga kini masih mengingat dengan jelas jawaban dokter.

"Jangan pernah pergi ke sana! Di sini saja. Di sana tempatnya kotor, kumuh, dan jorok!" jawab dokter dengan ekspresi kesal, sedih dan marah. 

Ekspresi wajah dokter itu terlihat sangat menakutkan bagi saya dan otak saya yang masih kanak tidak bisa memahami kenapa rumah sakit bisa seperti itu.

Bangunan besar peninggalan Belanda yang terlihat kokoh dari luar, kenapa di dalam bisa seperti perkampungan yang penuh sampah di pinggir sungai yang berjarak 3 kampung dari rumah yang selalu dikatai mama sebagai tempat biang penyakit karena kumuh, kotor dan jorok. Kondisi perkampungan yang seperti itu dijadikan mama alasan untuk melarang keras semua anak pergi bermain sampai ke arah sana.

Dalam sekejap saya memiliki tekad yang kuat untuk tidak menjadi dokter karena aneh dan membingungkan. 

SENGAJA

"Dokter! Ini anak kenapa bodoh sekali?!" tanya mama kesal setelah mengambil rapot kelas 1 SD saya.

Dokter melihat sekilas rapot yang penuh tinta merah yang ditunjukkan mama. 

"Bagus. Dia naik kelas," kata dokter pendek. 

Mama kembali ribut dengan membandingkan saya dan anak yang lain. Saya hanya diam berdiri memperhatikan mereka.

"Yang penting itu anak ini naik kelas tanpa perlu kalian lakukan apapun! Tujuan bersekolah sudah dia capai." Dokter terus membela saya dan bersikeras tidak mau menuliskan resep untuk membuat otak pintar.

Dokter sudah mengenal saya dengan sangat baik sebelum saya mengenal diri sendiri. Dokter tahu hubungan saya dengan para kakak sangat buruk dan dokter juga tahu saya selalu bertindak sangat bertolak belakang dengan kakak. 

Di depan orang tua dan kakak pasti dokter membela saya. Tetapi, saat tidak ada mereka pasti saya ditegur. Cara dokter menegur saya seperti bapak ke anak. Selain itu, dokter tidak pernah merendahkan anak kecil sehingga saya berani untuk terbuka dan menyahut. 

"Ini kenapa ngomong nggak mau lihat mata dokter?" tanyanya dengan menatap sekilas ke arah mata saya.

"Dokteeer...," saya menguatkan diri menatap ke arah mata dokter dengan berlinangan air mata.

Dokter hanya diam dan bersabar mendengarkan saya yang sesengukkan bercerita.

BELAJAR MANDIRI

"Mama kamu itu sangat sibuk. Kamu harus bisa mengurus diri sendiri," kata dokter ke saya yang selalu berdiri di samping melihat dokter meracik obat. 

Setelah obat selesai ditumbuk halus, saya dibiarkan ikut membungkus kertas obat.

Mama begitu sampai di rumah pasti dengan kesal mengeluarkan semua bungkus obat dan memarahi saya. "Udah dibilang ga usah ikut dokter bungkus. Ini bungkusan kamu hanya bikin obat masuk angin!" 

Kejadian itu terus berulang hingga entah sejak usia berapa tiba-tiba, disuruh dokter meracik sendiri obat di rumah.

"Obat ini harus dipotong 4. Yang ini 2 dan ini 3. Nanti setelah dipotong kamu tumbuk yang halus. Kalau bingung cara potong, tanya mama," pesan dokter ke saya.

Suatu hari ada obat yang berbutir sangat kecil dan harus dipotong 4. Obat itu keras sekali sehingga membuat saya kesal dan terpikir untuk menumbuk semua lalu bagi 4. Tetapi, ketika sudah halus malah saya bingung untuk bagi.

Mama marah besar ketika dimintai tolong bagi. 

"Salah sendiri ga ikut perintah! Besok pergi sendiri ke dokter minta tolong timbangi!"

Keesokan hari, saya pergi sendiri dengan menenteng plastik berisi obat yang menjadi bubuk semua.

Sejak itu saya belajar untuk patuh pada perintah. 

Saya entah sejak usia berapa memiliki masalah di pernafasan. Hanya saya anak yang mewarisi penyakit asma dari mama. Tetapi, sepertinya masalah saya tidak hanya disebabkan asma. Penyakit itu membuat sering bolak-balik periksa sehingga tempat praktek dokter menjadi rumah kedua.

Suatu hari, saya ingat sekali merasa ada yang tidak beres di tubuh. Saya lupa mama sedang apa sehingga saya memutuskan pergi sendiri dengan memeluk erat dompet mama.

Karena, saya belum bisa baca dan tulis maka begitu sampai di sana saya langsung sodorkan dompet ke suster untuk ambil sendiri dan minta tulis di kertas kalau kurang supaya nanti waktu pulang kasih mama baca dan saya balik lagi anter.

Saat antri menunggu tiba-tiba ada ibu yang protes ke suster karena memperbolehkan saya datang sendiri. Melihat itu saya ketakutan bukan main dan tidak mengerti kenapa ibu itu marah tidak ada orang tua yang mengantar. Sedangkan di otak saya datang periksa ke dokter sendirian tidak ada beda dengan bersekolah. Tidak ada orang tua yang menemani belajar di kelas.

Saya hanya diam dan mulai mau menangis. Tapi, mendadak muncul dokter dan berkata,"anak itu biarkan saja. Dia anak kerabat saya." Saya segera disuruh masuk ke dalam ruang praktek.

Sampai di rumah, mama marah besar mendengar cerita saya. Saya pun dilarang untuk pergi sendiri lagi. Tetapi, larangan itu tidak saya patuhi.

TAHU RASA

Mama kembali marah besar setelah melihat nilai rapot kelas 2 SD. Saya dan rapot kembali dibawa ke dokter. Tetapi, kali ini papa juga diajak ikut pergi.

"Dokter!! Ini anak lihat bodoh sekali! Udah bodoh masih juga ngompol!" seru mama kesal.

Saya yang mendengar itu kaget bukan main karena ngompol dibawa-bawa. Dan, reaksi dokter saat itu masih jelas di pelupuk mata.

Kening dokter berkeryit tidak karuan. Dokter menatap saya tajam lalu mama.

"Biasanya anak seusia ini yang masih ngompol disebabkan masalah psikologis. Kamu salah bawa dia ke saya. Sebaiknya kamu cari psikolog untuk cek kejiwaan anak. Tetapi, waktu ke psikolog jangan anak ini sendiri yang diperiksa. Kalian orang tua juga harus ikut diperiksa," kata dokter.

Mama dan papa pun langsung diam membeku.

"Tetapi, sebelum ke psikolog saya mau dia tes bisa tahan kencing atau tidak selama 10, 15, 30 menit hingga 1 jam dalam 1 hingga 3 hari. Kalau bisa berarti tidak ada masalah," lanjut dokter.

Penyebab mengompol itu karena posisi ranjang di sudut yang membuat saya malas bangun. Saya sudah sering protes minta pindah tapi tidak dihiraukan. 

Keesokan hari, permintaan dokter membuat saya menderita. Padahal di depan mata ada toilet bersih dan kosong, tetapi tidak bisa saya masuki. Mama dengan ketat mengawasi saya. Hari ke-3, dokter mengatakan saya sehat dan menyuruh mama cari sendiri psikolog. Mama jelas tidak mengikuti saran itu.

Masalah pernafasan membuat saya kesulitan berteman karena tidak bisa bermain secepat dan lincah yang lain.

Dokter selalu mengingatkan saya untuk jaga diri. "Kamu boleh bermain kalau saat tahu rasa tahu harus gimana. Tetapi kalau saat tahu rasa tidak tahu harus gimana, tidak usah main."

Entah sejak usia berapa diajari dokter cara mengendalikan nafas saat sesak. Saya harus segera berhenti jalan atau lari begitu merasa ada yang salah di dalam tubuh dan lain sebagainya.

Saya masih ingat waktu liburan kenaikan kelas 3 SD, ada segerombolan anak laki bermain dengan sangat seru di tanah kosong yang tidak jauh dari tempat praktek dokter. Rumah tempat praktek dokter bisa terlihat dengan sangat jelas dari setiap sudut tanah kosong.

Saya setelah bangun tidur siang selalu seorang diri berdiri atau jongkok di pinggir menonton mereka. Suatu hari entah kenapa saya berteriak minta diajak main. Tanpa basa-basi langsung mereka menerima saya ikut bermain perang-perangan. 

Di luar dugaan ternyata saya bisa berlari sambil menyikut atau mendorong secepat mereka hingga permainan berakhir menjelang magrib. Setelah itu saya menjadi anggota tetap. 

Tetapi, di sisi lain muncul masalah tidak terduga. Kulit dagu, lutut, sikut dan lainnya sobek akibat terjatuh tersandung sendal sendiri dan lainnya.

"Ini pasti perih!"kata dokter ketika mau mengobati luka saya. "Perih itu apa?" tanya saya. Dokter menjawab,"tahan!" Kapas berisi obat luka langsung ditaruh ke atas kulit yang terbuka dan saya pun menjerit keras,"periiiiih!!"

Hari berikut, saya membuat dokter geleng-geleng kepala. 

"Ini anak perempuan main melebihi 2 anak laki saya!!" "Ini pasti habis main perang-perangan lagi di lapangan dengan anak laki semua!" "Kamu ini anak perempuan! Ini korengan sana-sini. Ini luka masih basah udah ditambah lagi! Ini bonyok!!"

Mengetahui kulit saya bisa bonyok seperti pisang langsung mata saya berkaca-kaca mau menangis karena terpikir nanti harus dibuang ke tempat sampah.

Dokter seperti biasa saat melihat itu akan berkata,"udah ga usah takut. Kamu ga apa-apa." Dokter selalu tahu waktu saya merasa takut dan mau menangis.

Suatu hari saat sedang seru bermain mendadak terdengar suara berteriak, "ada dokter datang!" Semua langsung berhenti dan berebut beri salam cium tangan dokter.

Dokter waktu didatangi saya berkata pelan,"kamu lihat badan kamu paling kecil sendiri." 

Hingga saat itu saya tidak menyadari perbedaan yang mencolok ini. Mendengar itu dalam sekejap merasa seperti anak ayam masuk kandang harimau. Mata pun langsung basah. 

"Udah ga usah takut kamu ga apa-apa," kata dokter menenangkan saya. Lalu, menghimbau semua anak untuk saat bermain tetap menjaga adik perempuan ini.

Dokter tidak menyuruh saya untuk berhenti bermain karena tahu saya yang bulan lalu tidak mungkin bisa seperti ini. 

Sejak itu saya sering bolak-balik sendirian ke dokter untuk mengobati luka mengangga di kulit, bukan karena masalah pernafasan lagi. 

Suatu hari, kembali saya mendapat masalah diprotes ibu yang heran melihat saya datang sendirian berobat luka dan koreng akibat jatuh. 

"Anak manja sekali. Luka begitu harus diobati ke dokter. Bayar berapa itu?" sindirnya. 

Saya hanya diam mematung hingga tiba-tiba muncul dokter. 

"Bu, anak ini biarkan saja..." Saya tidak ingat kelanjutannya karena sibuk menangis. Ibu itu dibawa masuk dokter ke dalam.

Saya selama ini tidak membayar dokter karena waktu pertama datang dari bermain, dokter setelah selesai mengobati menyuruh cepat pulang dan tidak usah datang lagi kalau tidak ada masalah. Waktu saya bilang nanti balik lagi buat bayar, dokter tetap bilang tidak usah balik kalau tidak ada masalah. Hingga saat itu pun selalu berkata yang sama.

Sejak kejadian itu, dokter menaruh obat luka berserta kapas dan plester di tempat suster supaya saya dan anak yang terluka saat bermain bisa langsung mengobati diri sendiri.

PISAH

Saat kenaikan kelas 3 SD, kami sekeluarga harus pindah ke kota kecil berlainan pulau karena pekerjaan papa. Nilai rapot saya masih banyak tinta merah tetapi, mama tidak ada waktu untuk marah ke dokter seperti tahun lalu. 

Setahun di kota itu kembali papa harus bekerja di ibukota. Rumah kami pun jauh dari tempat praktek dokter.

MENOLONG MAKHLUK TAK BERDAYA

Mama sangat khawatir saya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah sehingga memasukkan saya ke tempat les.

Bagian terbaik dari kembali ke kota ini adalah punya teman les yang orang tua tidak mau anaknya keluar rumah sehingga teman satu grup diajak belajar ke rumahnya.

Jumlah satu grup hanya 5 orang. Seminggu 2x kami belajar ke rumahnya. Setiap les selalu disediakan banyak makanan untuk kami makan kapan saja. 

Bagian yang paling menarik dari rumahnya adalah anjing berbulu putih tebal seperti domba tanpa ekor dan kehilangan 1 kaki di depan.

Anjing itu dengan setia menemani kami belajar dengan tidur di samping majikan.

Masa lalu anjing itu sangat menarik karena 2 tahun lalu merupakan korban tabrak lari entah disengaja atau tidak. Bapak teman saya itu tentara. Suatu hari dalam perjalanan pulang ke rumah melihat ada anak anjing berlumuran darah berbaring di tengah jalan. Tanpa buang waktu, anjing itu diangkat lalu dibawa ke dokter hewan. 

Singkat cerita kaki harus dipotong supaya dia hidup. Ekor yang berlumuran darah diobati. Sepertinya ada yang sengaja memotong. 

Bapaknya pun memutuskan untuk pelihara. Anjing yang buruk rupa penuh kudis koreng dan pincang setelah dirawat dengan baik oleh mereka bisa tumbuh kekar dan berbulu tebal lembut. 

Cerita masa lalu anjing itu mengingatkan saya waktu kanak yang sering sakit dan tidak berdaya tetapi, selalu ditolong dokter Widhodho hingga saya tumbuh menjadi sehat, kuat dan bahagia.

BISA SENDIRI

Nilai rapot saya waktu SMP dan seterusnya tanpa perlu ikut les mudah sekali dihitung dari atas. Saya pun hampir tidak pernah sakit.

Saya jatuh sakit saat hari pertama masuk sekolah SD baru di kota ini karena tertular cacar teman sekelas yang baru sembuh beberapa minggu. Dokter dekat rumah hanya beri resep obat yang dicampur ke air saat mandi. Setelah itu saat kelas 2 SMP, tiba-tiba diajak mama ke dokter paru karena kakek terkena radang paru jadi mama khawatir saya dan orang serumah lainnya tertular. 

Kemudian, saat kelas 3 SMA mendadak pipi bengkak dan telinga sakit perih tak terkira. Papa langsung membawa saya ke dokter THT yang terkenal. Setelah berobat 2x ke dokter itu, penyakit makin bertambah dan mama marah besar ke papa sehingga teringat dokter Widhodho.

Saya pun segera dibawa berobat ke rumah dokter. 

Dokter kaget melihat kedatangan kami bertiga karena sejak pindah tidak pernah berkirim kabar. 

Saya pun dibuat kaget dokter ketika memegang pipi saya bisa ingat sekali pertumbuhan gigi saya. Ingatan dokter luar biasa tajam.

 "Ini karena gigi kamu tumbuh tidak sempurna  dan pecah di dalam," katanya. 

"Nggak percaya! Masa gara-gara gigi jadi begini!" Saya protes dan langsung dipelototi tajam oleh dokter.

"Hmmm... Udah bisa debat, ya!! Ini yang kayak gini yang bikin saya tidak mau jadi dokter orang dewasa. Orang dewasa kalau dikasih tahu ngeyel dan ngajak debat. Anak kecil kalo dikasih tahu paling diam atau nangis. Gak kayak orang dewasa, tukang debat. Saya paling tidak suka debat! Apalagi debat sama kamu yang saya tahu betul anak kemarin sore yang belum punya banyak pengalaman dan pengetahuan!" marah dokter.

"Tapi nggak mungkin gara-gara gigi jadi gini parah!!" balas saya.

"Ini nyahut lagi!! Awas kamu kalau bersuara lagi! Udah diam dan percaya saja sama saya!" balas dokter dengan kesal bukan main.

Mama dan papa hanya diam tersenyum. Sepertinya mereka senang saya dimarahi keras oleh dokter.

"Kamu turun! Ambil sendiri ini resep kamu, terus cepat pergi beli ke apotik di depan!" perintah dokter ke saya yang masih duduk di ranjang.

"Nanti sampai rumah segera minum. Harganya tidak seberapa tapi begitu sekali minum malam ini, kamu pasti langsung baikan. Percaya sama omongan saya," lanjutnya begitu saya mengambil kertas resep.

Sesampai di rumah segera saya minum sesuai anjuran dokter dan tidak lama kemudian saya merasa luar biasa membaik. Pipi yang bengkak langsung kempes.

Saat itu mendadak saya teringat masa kanak sampai kelas 3 SD. Saya yang waktu itu selalu percaya dan menurut perintah dokter dengan diam maupun menangis.

Waktu kuliah entah kenapa mulai sering terkena flu, batuk, dan pilek. Di kampus ada klinik gratis untuk mahasiswa. Saya memutuskan pergi ke sana tetapi, obat klinik meski bisa bikin sembuh ada yang salah menurut saya.

JAMAN BERUBAH

Saya daripada kembali ke klinik, memutuskan pergi ke rumah dokter saat sakit lagi. Menurut saya lebih baik mengadu ke dokter yang merupakan guru besar daripada dokter klinik. Hanya dengan mengatakan ada yang salah, dokter langsung tahu harus bagaimana.

Waktu buka pintu gerbang, suster langsung mengenali saya. Bagi mereka, saya ini masih anak kemarin sore yang datang sendirian dengan memeluk erat dompet mama.

"Kamu ke sini diantar siapa?" tanya suster. "Tidak ada. Saya naik bis sendirian dari kampus," jawab saya. 

Saya waktu itu waktu beli obat di apotik depan yang ada di jalan besar, memperhatikan keadaan sekeliling sehingga meski tidak pernah naik bis tahu patokan untuk turun lalu lanjut jalan kaki.

Saat mengantri diperiksa dokter, mendadak saya menyadari perubahan jaman yang sangat besar. 

Pasien anak dokter mayoritas batuk pilek tetapi bisa sibuk mengunyah cemilan kemasan yang dipegang mereka. 

Dahulu saat berusia sama seperti mereka tidak ada anak yang sibuk nguyah sambil menyedot masuk ingus dan batuk-batuk. Saya sendiri paling takut saat buka mulut nanti ada sisa makanan dan kelihatan dokter karena bisa dimarahi.

Sepertinya dokter sudah bosan menegur atau masih tetap menegur tetapi orang tua dan anak tidak mau mendengar.

"Ini yang sakit kamu?" tanya bapak muda di sebelah saya. "Iya," jawab saya. "Kamu ini anak kuliah?" tanyanya lagi dan kembali saya mengiyakan.

"Kamu lihat pasiennya anak kecil semua. Kamu gak malu?" tanyanya lagi. "Nggak sama sekali!"jawab saya tegas lalu menjelaskan alasan. Setelah selesai, saya segera berkata ke anak laki usia sekitar 5 tahun yang sibuk ngunyah. "Dik, boleh minta tidak? Kakak lapar?" tanya saya yang gemas melihat anak itu terus silih berganti makan dan lap ingus serta batuk bersin.

Ternyata bapak muda itu bapaknya dan menyuruh untuk kasih semua ke saya lalu memarahi anak karena dari tadi makan terus.

Dokter kaget melihat saya datang sendiri. Saya masih ingat pertanyaan dokter saat kita bertemu.

 "Kamu waktu Mei 98, tidak apa-apa?" 

Meski mendengar jawaban tidak apa-apa, tetapi untuk kedua kali dalam hidup saya melihat ekspresi luar biasa sedih di wajah dokter. 

Saya kembali terdiam karena bingung seperti dahulu saat kanak-kanak.

Kemudian, saya masih ingat jelas kejadian di hari yang menjadi hari terakhir saya berobat. 

"Dokter, ini menyenangkan! Saya dapat jelly,"seru saya riang begitu menutup pintu ruang praktek.  Setiap kali datang berobat pasti ada orang tua yang menyuruh anak untuk beri makanan ke saya. 

Dokter selesai memeriksa saya langsung menyuruh saya untuk duduk di depannya. Hal yang tidak biasa karena selama ini dokter membiarkan saya untuk duduk sendiri atau berdiri maupun jongkok. 

"Kamu tahun ini lulus kuliah. Setelah itu pasti dapat kerja di Jakarta. Nanti kamu waktu sakit gimana? Siapa yang rawat kamu...?" kata dokter lalu diam sebentar.

Mendengar itu, bola mata saya seperti mau meloncat keluar karena kaget dan bingung. 

"Saya sudah pensiun dan tidak praktek lagi di RS pemerintah. Tapi, masih di swasta. Kamu nanti waktu sakit bisa ke sana. Saya pasti mau terima kamu. Cuma saja kamu mungkin menemui kesulitan saat pendaftaran karena aneh orang dewasa cari dokter anak. Sekali atau dua kali tidak apa-apa tapi kalau keseringan nanti bisa dikira orang, kita ini ada apa-apa. Padahal, kita sama sekali tidak ada apa-apa," kata dokter dengan tertawa.

Saya hanya terus diam membeku mendengar.

"Kalau sampai itu terjadi kasihan kamu. Saya tidak apa-apa. Rumah ini yang paling pas untuk kamu tapi, untuk ke sini macet bukan main dan kita tidak tahu nanti kamu kerja di daerah mana. Kamu pasti nanti kesusahan cari waktu untuk ke sini. Belum lagi nanti ditambah ada masalah tak terduga dalam hidup yang terjadi. Kamu nanti kalau sakit bisa datang kapan saja ke sini. Gak usah ikut jadwal praktek, tapi sebelum datang telefon dahulu. Jangan sampai kamu datang ke sini gak ada saya. Saya kalau ada di rumah pasti terima kamu.

Saya ini semakin tua dan kamu tidak bisa terus mengandalkan saya. Kamu juga waktu sakit tidak bisa mengandalkan dokter manapun untuk sembuh. Dokter salah analisa itu hal yang wajar karena mereka tidak mengenal kamu sebaik saya. Saat sakit, orang yang paling bisa diandalkan di dunia ini untuk sembuh hanya diri kamu sendiri. Kamu ingat-ingat kembali semua yang kita lakukan selama ini lalu, cari tahu sendiri kenapa. Saya yakin kamu pasti bisa." kata dokter lalu, menulis resep dan menjelaskan yang ditulis. Hal yang sangat tidak biasa. 

Pertama kali dalam hidup, saya berusaha keras menahan air mata supaya tidak jatuh di depan dokter. Begitu menerima kertas resep, saya hanya bisa mengatakan terima kasih dengan lemah. Tidak riang seperti dulu.

Begitu besi pintu gerbang putih rumah ditutup, airmata langsung berjatuhan dengan deras. Baru kali itu pulang dengan perasaan berat tidak ringan dan riang gembira seperti kemarin.

Jaman sudah berubah. Saya bukan kanak-kanak lagi. Perkataan dokter Widhodho membuka mata dan pikiran saya lebar-lebar. Baru saya sadari bahwa tubuhnya membungkuk karena faktor usia bukan karena perbedaan tinggi badan kami. Rambutnya juga semakin memutih. Hingga kemarin, saya tidak pernah memperhatikan perubahan itu.

KESULITAN HIDUP

Pikiran saya  mendadak terbuka melebar kemana-mana. 

Saya setiap sekali setahun menemani mama kontrol alat KB dan pap smear ke dokter kandungan yang membantu kelahiran saya. Setiap bertemu dokter itu pasti saya bisa melihat perubahan dari diri dokter itu. 

Dokter itu pasti tidak menyangka bisa setiap tahun bertemu anak yang proses kelahiran baru pertama kali ditemuinya.

Mama karena lelah menunggu saya keluar dari rahim tak kuasa menahan kantuk hingga jatuh tertidur lelap di ruang bersalin. Papa yang menunggu di luar juga sama. 

Saat semua sedang tertidur lelap itu, saya keluar sendiri hingga membuat kaget dokter dan suster.

Mama segera ditepuk supaya bangun untuk menyusui saya. Dokter berkata baru pertama kali menemui persalinan seperti ini. Suster pun iri dengan mama yang melahirkan sambil tertidur lelap. 

Tahun berlalu dan akhirnya saya pun tahu ternyata alat KB gagal total menghalangi saya untuk lahir ke dunia.

Dokter itu kelak terkenal sebagai bapak bayi tabung Indonesia. 

Saya pun menyadari bahwa menikah adalah hal mudah yang bisa saya putuskan kapan dan di mana saja. Tetapi, mendapat orang seperti dokter yang dapat menemani saya merawat dan mendidik anak adalah hal yang sangat sulit.

Seburuk apapun keluarga yang dimiliki selama ada orang seperti dokter yang selalu memastikan agar anak yang ada di hadapannya bisa tumbuh menjadi manusia sehat, kuat dan bahagia; pasti akan ada kedamaian dalam hidup anak.

Dokter tidak lelah mengingati sebab akibat dan mengajari perbedaan sengaja dengan tidak sengaja sehingga bisa membedakan perbuatan benar dan salah. 

Keluhan anak kecil didengar dengan diam dan sabar sehingga tidak membuat anak rendah diri.

Sekarang lapangan atau tanah kosong untuk anak bermain hampir tidak ada. Bermain perang-perangan itu mengajarkan saya bahwa kawan yang hari ini ketika keesokan hari jadi lawan bisa lebih beringas daripada lawan yang terus jadi lawan. Lawan hari ini besok bisa menjadi kawan yang luar biasa menyenangkan. 

Membayangkan punya anak perempuan dan bebas bermain seperti saya dahulu membuat bulu kuduk merinding.

Membayangkan tuntutan pekerjaan yang membuat anak harus sering ikut pindah tempat tinggal, membuat kepala saya pusing.

Mama sangat beruntung mendapatkan dokter seperti itu. 

Di depan sana entah ada masalah hidup tak terduga seperti apa yang menanti saya dan dokter. 

Tidak sampai sebulan setelah hari itu, mama terkena kanker payudara dan hidup saya pun berubah dratis. Tetapi, karena sudah diperingati dokter maka saya bisa menjalani hari dengan ringan. 

Semua yang dokter katakan menjadi kenyataan. Saya pun kesulitan mengatur waktu untuk pergi berobat ke dokter Widhodho saat sakit. 

TETANGGA

"Kamu gak salah ingat?! Ini resep aneh!! Baru kali ini saya nulis resep begini aneh. Ini karena saya tahu sekali dokter Widhodho tidak pernah salah maka mau ikuti kamu," kata alm. tetangga ketika pertama kali didatangi saya untuk berobat.

Di luar dugaan mereka pernah bekerja di rumah sakit pemerintah yang sama dan almarhum kenal baik dokter Widhodho.

Almarhum kaget bukan main ketika saya datang untuk berobat karena mengira saya yang paling sehat di rumah. Kekagetan semakin menjadi saat tahu dokter Widhodho masih mau menerima saya dan memberi resep yang sangat aneh. 

"Coba dulu pakai itu, dok! Nanti kalau saya tidak sembuh baru pakai resep dokter dan saya cari waktu menemui dokter Widhodho di rumahnya untuk bilang ada yang salah dengan ingatan saya," pinta saya. 

Almarhum mengabulkan permintaan saya karena penasaran. Ternyata saya sembuh dengan sempurna dan almarhum membiarkan sampai tiga kali pakai resep itu kemudian perlahan menganti. Bila timbul masalah, saya boleh datang kapan saja ke rumah untuk tukar obat. Sejak itu saya menjadi pasiennya.

Tahun berlalu dan wajah beliau suatu hari terlihat sangat lesu. Tangannya mengenggam kalung rosario. Agama kami sama sehingga saya tahu beliau sedang menghadapi pergumulan yang besar. Meski begitu saya tidak berani bertanya karena saat tahu pun tidak bisa menolong. Dengan diam saya berdoa supaya selain Tuhan, kedua anak beliau yang juga dokter bisa membuatnya sehat seperti dahulu.

Tidak sampai setahun, beliau meninggal. Dokter yang hingga akhir hidup memikirkan kondisi kesehatan mama.

MERANA

"Dengar baik-baik! Rumah sakit yang kamu minta dirujuk itu bagi dokter-dokter merupakan rumah sakit yang sangat merana!" seru dokter muda ketika saya meminta untuk dirujuk ke rumah sakit pemerintah dekat rumah dokter.

Dokter itu mati-matian tidak mau merujuk ke sana dan saya pun mengalah membiarkan dia memilih.

Meski tahu kondisi rumah sakit itu tapi, alasan saya memilihnya karena dekat rumah dokter sehingga bila terjadi kesalahan analisa, saya bisa langsung pergi mengetuk pintu rumah dokter untuk minta pertolongan. 

Dokter dengan hanya melihat saja pasti bisa langsung tahu masalah yang saya alami.

Masa itu masa sebelum pelayanan BPJS Kesehatan semakin membaik. Semua rumah sakit pemerintah entah kenapa mendapat predikat merana hingga sangat merana di masyarakat yang berada di ibukota.

Dokter yang bekerja di rumah sakit seperti itu merupakan manusia yang sangat kuat seperti dokter Widhodho. Saya yakin di dalam sana ada dokter yang sangat teliti dan bertanggung jawab.

COVID-19

Meski sudah mengurung diri di rumah saat virus menganas di pertengahan tahun 2021, saya serta mama dan papa tertular kakak yang sakit seperti gejala tipes dan DBD setelah vaksin covid-19. Kakak tidak langsung tes covid-19 tetapi, kami bertiga yang seminggu kemudian mulai flu langsung tes dan positif covid-19. 

Meski disuruh dokter tapi, mama memilih dirawat di rumah daripada rumah sakit. Hampir seminggu dirawat, kondisi memburuk dan mendadak saya teringat pesan dokter ke mama saat saya masih orok. Setelah itu, saya dengan sendiri teringat kejadian demi kejadian saat dirawat dokter saat kanak-kanak. 

Ingatan yang mendadak muncul itu membuat saya juga mendadak mengkhawatirkan dokter.

Setelah hari terakhir saya berobat, saya tidak pernah ke rumah lagi. Tetapi, setiap tahun rutin mengirim kartu ucapan Idul Fitri dan dokter pasti selalu membalas mengirim kartu ucapan terima kasih sekalian mengabari dalam kondisi sehat. 

Hingga suatu hari saya menerima balasan kartu yang ditulis anak dokter mengabari kondisi dokter sangat buruk dan mohon bantuan doa supaya cepat sembuh.

Tahun berikut, saya memutuskan untuk membuang semua kartu yang dikirim dokter dan berhenti mengirim kartu lagi karena takut mendapat kabar dokter tiada. 

DOA

Mungkin usia balita saat pertama kali saya diajari berdoa untuk orang lain di sekolah minggu. Bu guru menyuruh mendaftar orang yang mau didoakan mulai dari urutan pertama.

Saya menyebut dokter lalu mama kemudian papa. Ibu guru yang mendengar itu memarahi saya karena doa saya salah. Orang tua harus yang pertama didoakan bukan yang lain.

Saya hanya diam seribu bahasa tetapi mengingat seumur hidup. Ibu guru seperti mama tidak memberikan saya kesempatan untuk menjelaskan. 

Bagi saya tanpa ada orang tua tapi ada dokter Widhodho pasti saya hidup. Karena, mama setiap ada masalah dengan saya pasti segera pergi cari dokter. Maka dokter harus yang pertama didoakan supaya tetap sehat. Mama tanpa ada dokter pasti kesulitan hidup.

Pengalaman itu kelak sangat mempengaruhi saya dalam mendidik anak segala usia dengan selalu memberi anak kesempatan untuk menjelaskan tanpa membuat rendah diri. 

Harapan saya semoga dengan cara seperti itu kelak saat saya berusia 50 tahun ke atas bisa bertemu dengan banyak anak muda yang bisa dipercaya, terbuka dan menyenangkan.

Sejak itu saya selalu mendoakan dokter supaya tetap sehat. Berjalan waktu saya menambah bahagia di dalam doa. 

Setahun setelah berhenti mengirim kartu ucapan Idul Fitri, saya pindah gereja yang berjarak sekitar 10 menit jalan kaki ke rumah dokter. Di sana saya memiliki teman yang tinggal di dekat rumah dokter dan mengabari dokter ternyata sehat.

Terkadang ingin sekali main ke rumah sepulang dari gereja, tetapi entah kenapa tanpa alasan yang jelas ada perasaan khawatir melihat dokter menangis sedih. Saat bertemu pasti membahas mama dan menceritakan kondisi mama pasti bisa membuat hati dokter kesal.  

Perasaan aneh itu ditambah tidak memiliki cerita yang cocok untuk diceritakan ke dokter selalu membatalkan niat saya untuk berkunjung. 

Kata teman gereja di pertengahan tahun 2020, dokter sudah sepuh sehingga tidak praktek lagi dan lebih banyak di dalam rumah. Saya pun berharap dokter yang tidak sering bertemu orang bisa terus baik-baik saja. Tetapi, berkaca pada kondisi diri sendiri mendadak putus harapan. 

Saya sungguh luar biasa mengkhawatirkan dokter daripada mama yang ada di depan mata saat terkena covid-19. Dan terpikir bila dokter sampai kena, saya mau sekalian merawat dokter juga di rumah.  Saya tidak peduli menjadi gemuk karena hanya bisa banyak makan dan memiliki lingkaran mata yang bonyok karena sangat minim tidur karena dokter sangat berarti bagi saya.

Doa pun menjadi berantakan. Entah kenapa merasa lebih perlu doa minta perlindungan daripada sehat dan bahagia. Saya pun berjanji pada diri sendiri untuk tidak melewatkan satu hari pun untuk pergi menemui dokter, setelah semua masalah di hidup bisa dikontrol.

Lagipula, saya sudah memiliki banyak cerita yang sangat cocok diceritakan dan ditambah dengan mengenang masa lalu yang sangat mengemaskan, saya yakin sekali saat bertemu pasti hanya ada tawa gembira di antara kita.

HAK

"Dek, bangun dek..." Terdengar suara perempuan memanggil saya bangun. Kemudian diikuti suara dokter memanggil nama saya menyuruh bangun.

Sewaktu membuka mata, dokter membelai kening saya dan berkata, "kamu pasti ngantuk sekali tetapi, ranjang ini hak kakakmu dan orang sakit yang lain bukan orang sehat seperti kamu. Ayo, bangun dan pindah tidur di kursi."

Dokter menyuruh saya untuk merapikan tempat tidur dan berpesan ke suster untuk membiarkan hasilnya yang nanti berantakan.

Saya tidak ingat kelas berapa waktu kakak tiba-tiba disuruh operasi usus buntu. Sepulang sekolah tiba-tiba diajak mama ke rumah sakit swasta tempat dokter bekerja.

Dalam kamar hanya ada ranjang tinggi yang kosong. Mama menyuruh saya ganti baju lalu cuci kaki dan tangan. Tak lama, saya dipesan untuk tunggu di kamar dan disuruh tidur di ranjang kalau saya ngatuk. Begitu mama pergi mengurus kakak, saya segera menarik kursi untuk naik ke atas ranjang dan tidur. 

Setelah suster dan dokter pergi, saya segera bangun dan membereskan tempat tidur. Tetapi, sesuai ucapan dokter hasilnya berantakan. 

Mama waktu menuju rumah sakit ada cerita kalau kakak tidak pernah mengeluh sakit perut. Semalam dia dibawa ke dokter untuk periksa batuk pilek. Tetapi, waktu dokter pegang perut langsung menyuruh besok operasi. Tadi waktu sampai rumah sakit mama kaget karena semua sudah diatur dokter dengan mengatakan ke pihak rumah sakit kalau kita keluarga. 

Saat terkena covid-19, saya sadar tidak punya hak untuk mengatur dokter karena bukan dokter apalagi keluarga.

PERCAYA

"Aduh nooooon! Kamu setiap ke sini kenapa ganti dokter terus!?" tanya dokter yang merupakan guru besar saat memeriksa rekam medis saya.

Waktu kecil, kata mama waktu dokter menyadari ada masalah di mata, saya segera dirujuk ke teman dokter. Dokter itu begitu tahu saya pasien siapa langsung berulang kali cek dengan merinci supaya tidak ada kesalahan saat melapor ke dokter. Akhirnya didapati kesimpulan yang sulit dijelaskan ulang oleh mama tetapi bisa saya mengerti setelah gonta-ganti dokter.

Puncaknya saat bertemu guru besar ini. Guru besar kembali cek ulang dan mendapat kesimpulan seperti teman dokter waktu itu.

Saya pun memutuskan tidak ganti dokter hingga suatu saat karena pekerjaan membuat saya telat 2 bulan dari jadwal kontrol.

"Non, nanti kamu jangan ke sini lagi. Saya rujuk kamu ke guru saya. Cuma beliau yang saya percaya untuk merawat kamu," kata guru besar lalu menulis catatan untuk guru kemudian memanggil suster untuk buatkan janji temu saya dengan guru.

Meski bingung tiba-tiba dipindah dokter tetapi, saya diam seribu bahasa.

"Meski dokter itu tidak mempunyai gelar seperti saya tetapi, beliau guru yang menjadikan saya seperti ini. Kamu kalau mau ganti dokter nanti minta saran beliau. Beliau sudah sepuh dan mungkin tidak lama lagi pensiun. Kamu harus ingati beliau untuk dicarii penganti," pesan guru besar.

Seminggu kemudian saat bertemu guru itu, beliau bingung kenapa saya disuruh pindah. Beliau setelah membaca catatan dari dokter yang mengirim, segera cek lalu menulis catatan dan berpesan ke saya untuk minggu depan tunjuki ke dokter itu.

Seminggu kemudian saya kembali lagi ke guru besar.

"Ini kenapa datang lagi, non!? Bukannya sudah saya suruh ke sana?" tanyanya bingung.

"Dokter diminta cek hasil yang waktu itu dokter minta diperiksa," jawab saya.

"Untuk apa!? Dia itu guru saya. Kenapa saya harus periksa hasil yang diperiksa guru. Sudah pasti benar! Mana saya lihat catatannya," pinta beliau.

"Ini benar semua, kok! Kamu pokoknya percaya beliau dan jangan cari saya lagi. Saya mau repot urusi kamu karena..."

Saya kembali hanya diam seribu bahasa meski bingung kenapa gara-gara telat kontrol jadi terjepit di antara murid dan guru. Selain saya ada berapa banyak yang seperti ini? Dokter ini sebenarnya mau ke mana? Guru besar pun meninggalkan banyak nasehat ke saya. 

Tidak sampai sebulan setelah itu tersiar kabar guru besar naik jabatan merawat seluruh manusia Indonesia. 

Sekarang dokter dan rumah sakit itu tinggal kenangan. 

Ternyata sungguh sulit bagi dokter untuk mempercayai dokter. Termasuk dokter Widhodho ketika saya dewasa kebingungan mencari penganti yang bisa dipercaya merawat saya. 

Di luar sana ada banyak orang baik tetapi, menemukan satu yang bisa dipercaya memang sungguh sulit.

Setelah belasan tahun menghindar, saya karena sakit perut nyasar ke dokter THT. Dokter itu dokter tentara dan baru selesai mengadakan penelitian penyakit pernafasan. Akhirnya, saya tahu kenapa dahulu sering bermasalah. 

PERTEMUAN KEMBALI

Setelah lewat setahun lebih sembuh dari covid-19, saat mengantar mama kontrol ke rumah sakit secara tidak sengaja di samping ada kursi roda menyenggol kursi saya.

Rupanya ada kakek yang sedang berusaha berdiri. Saya pun bergegas menolong. Sosok kakek itu seperti dokter saat kita terakhir kali bertemu waktu saya dan kedua orang tua mengantar keponakan berusia hampir 2 tahun berobat.

Keponakan saat melihat dokter langsung lari ketakutan dan ngumpet di bawah meja kerja dokter. Sosok serius dokter sesuai saya duga pasti membuat anak kecil takut. Keponakan selama diperiksa terus menangis kencang.

Begitu selesai diperiksa segera saya hibur. Meski lupa dengan perkataan sendiri tetapi, reaksi dokter yang memelototi saya dengan tersenyum membuat saya segera mengendong keponakan dan lari kabur keluar meninggalkan dokter dan kedua orang tua mengobrol.

Hari itu senang sekali bisa kembali ke tempat praktek dokter dengan membawa pasien yang memang anak. Sayang, keponakan hanya dititipkan di rumah sehingga kami menolak dibuatkan kartu tumbuh kembang seperti dulu. 

Kakek di kursi roda itu langsung mengingatkan saya untuk harus kembali menemui dokter. Beberapa hari kemudian saat tidur di malam hari tiba-tiba saya mendapat mimpi bertemu dokter.

Saya waktu itu kembali menemani mama kontrol ke rumah sakit. Saat sedang membantu mama duduk di kursi ruang tunggu mendadak saya menyadari ada sorot mata yang menatap saya. 

Sorot mata yang langsung saya kenali pemiliknya meski sedikit tertutup masker. Dokter setelah saya sapa juga langsung mengenali saya karena gerak-gerik saya tidak asing di mata dokter sehingga dilihati terus.

Kita pun menangis gembira. Wajah dokter setelah masker dilepas terlihat sangat berseri. Tetapi, suster yang menemani dokter terlihat sedih. Di poli itu ada dokter tulang dan paru. Dokter hari itu datang karena mau ada tindakan menyedot cairan di paru. Terkadang dokter juga ke dokter tulang karena sekarang dokter lumpuh sehingga harus duduk di kursi roda dan dibantu suster.

Saya memaksa ikut menemani hingga akhir dan mengajak makan siang bersama. Mama seperti biasa kena tegur dokter setelah menumpahkan unek-unek seputar saya. Wajah dokter terlihat sangat berseri tetapi, di belakang itu saya melihat bayangan saya sedang jongkok mencabut gulma yang tumbuh di atas tanah makam bertuliskan nama dokter. Di sekeliling makam itu tidak ada yang lain.

Meski merasa aneh tetapi, saya tidak berani bertanya karena khawatir membuat lenyap keserian di wajah. 

Dokter mengatakan sekarang hidup sendirian. Saya pun terpikir untuk mengajak dokter tinggal bersama kami karena di rumah ada mama dan papa yang bisa dijadikan teman ngobrol dan saya yang bisa ditegur sesuka hati kapan saja.

Setelah diskusi dengan mama, mama pun setuju mengajak dokter tinggal bareng dan nanti dibuatkan kamar tambahan kalau dokter juga mau. 

Keesokan hari saya pergi ke rumah dokter untuk menyampaikan hal ini. Saat bertemu dokter kembali saya mendapat bayangan berada di makam. Isi rumah yang terlihat hanya wajah dokter yang berseri dan bangku kayu yang diduduki dokter. Kemudian, wajah suster yang terlihat lebih cerah. 

Dokter bilang mau menerima tawaran itu kalau kaki masih bisa kuat berjalan seperti dulu. Sekarang dokter sudah sangat nyaman dengan hidup dokter yang seperti ini.

Meski bingung kembali saya tidak bertanya. Sebelum pulang saya berjanji untuk main lagi ke rumah.

KEBETULAN

Ada kalimat yang berbunyi tidak ada kebetulan di dunia ini karena semua sudah rencana Tuhan. Rencana Tuhan itu indah pada waktuNya.

Saya begitu bangun keesokan pagi mendapat kabar dokter sudah tiada. Setahun lebih yang lalu saat saya luar biasa mendadak teringat dan mengkhawatirkan dokter itu merupakan hari dokter tiada.

Nomor telefon rumah yang tersimpan di laci segera dipakai untuk menanyakan lokasi tempat dokter dimakamkan. Beruntung nomor telefon masih aktif sehingga bisa terhubung dengan pihak keluarga yang tidak pernah saya temui.

Semua yang dokter katakan dalam mimpi sesuai kenyataan yang saya tahu sekali saya tidak memiliki kemampuan mengarang hingga seperti itu. Bisa bertemu lagi meski dalam mimpi, membuat hati lega.

Ternyata dokter dimakamkan di satu wilayah dengan tempat tinggal saya.

ANUGERAH

Pada akhirnya saya bisa mengatakan syukur kepada Allah memiliki kakak yang tidak menyenangkan sehingga bisa memiliki pengalaman yang membahagiakan bersama dokter. Pengalaman yang saya tahu sekali tidak dimiliki mereka. 

Nasehat dokter melekat erat di diri saya. Sehingga saya selalu merasa ada dokter di sisi saya yang membantu untuk melewati masa sulit saat sakit.

Perkataan dokter untuk biarkan saja nanti juga tahu rasa sendiri menjadi pedoman saya dalam menjalankan hidup.

Dokter merupakan anugerah terbesar di dalam hidup saya yang disediakan Tuhan sebelum saya lahir.

Saya masih menyimpan dengan baik kartu tumbuh kembang bayi -anak milik saya, selain kenangan ingatan ini.

Profesor dokter Widhodho T Karjomanggolo, terima kasih untuk pelayanan selama ini. 

Jawa Barat, 22 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun