Pasir Kaliki, Bandung 19 Maret 1957
"Widy!  Ratuku, kereta kencana sudah siap!" seru Syafri di halaman rumah.  Dia sudah siap melarikan motor gandeng  berwarna biru langit di depan rumah orangtua Syafri di Pasir Kaliki.
Widy sudah mengenakan celana parasut terkejut bukan main dengan kemaja kotak-kotak. Â Dia tidak menyangka bahwa ke cikampek dengan kendaraan itu. Begitu juga Daus keluar, bersama Letnan Zainal. Keduanya menginp di rumah orangtua Syafri.
"Gilo Wahang! Dari mana Wahang dapek itu Rikuo Type 97?" Â tanya Daus. "Itu kendaraan militer Jepang? Warnonya itu biru cerah, selero wahang?"
"Hambo punyo, tetapi jarang dipakai, kecuali jalan jauh. Belinya mencicil dari orang Jepang waktu kuliah sambil nulis lepas. Â Pemiliknya memang orang Jepang, Mister Takeshi Simura kasihan sama aku suka berjala jauh. Â Dia pemilik bengkel di kawasan Pasabaru.
Lalu waktu aku ke Bandung, aku minta dia jagain sampai aku ambil. Tapi waktu di Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan kemarin, Takeshi mengantarkan motor itu ke kantor karena dia mau pulang ke Japang. Belum lunas sih...tetapi Takeshi menganggapnya lunas sebagai hadiah pernikahanku dengan kamu! Karena sempat datang!
Widy tergelak. "Aku kira Kang Jaka, ngasih tugas apa serius benar! Tidak tahunya kasih tahu ada motor gandeng!"
"Informasi juga. Tetapi itu surat dari Takeshi."
Syafri memberikan helem pada Widy dan dia juga. Â Zainal dan Daus mengelilingi Rikuo Tipe 97. "Masih kuat ya?"
"Sudah diservis di bengkel dengan onderdil baru. Â Kini bensin full tank plus satu jerigen bensin," jelas Syafri.