“ Rinayanti,” katanya menjawab uluran tangan Adinda. “Kita jangan main boneka, naik sepeda saja. Saya bonceng. Kita keliling Menteng singgah di Metropole!”
“ Kata Mama dan Papa bahaya, banyak motor dan bus ugal-ugalan. Belum lagi metromini..”
“Bahaya? Metromini apa itu? Yang saya tahu ada crossboy, tetapi sudah banyak ditangkap militer,” Rinayanti terbahak. “Dinda, tidak banyak mobil di jalan. Kamu ini aneh?”
Saya bingung sendiri. Mahluk planet mana dia. Masa tidak tidak pernah lihat metromini selama di Jakarta? Kok dia dibilang aneh. Saya mengikuti Rinayanti keluar kamar loteng menuruni tangga. Astaga! Kok bisa ruangan tamu di rumah berubah. Tidak ada sofa. Yang ada kursi tamu dibuat dari kayu jati dan rotan. Foto di ruang tamu bukan Gus Dur atau Megawati, Hamzah Haz, tetapi Soekarno. Tak ada televisi tetapi radio Philip dan pemutar piringan hitam. Kalau bukan dia alien, saya yang diculik dan dibawa alien ke planet lain. Atau Papa dan Mama sedang mempermainkan saya?”
“Kok bapaknya, bukannya Megawati Soekarnoputri?”
Rinayanti tertawa. “Anaknya Bung Karno? Dia masih sekolah, masa dipajang fotonya.”
Di ruang tamu ada jam lonceng menunjukkan pukul satu siang. Saya mulai berkhayal tentang perjalanan waktu seperti dalam fiksi ilmiah.
“Ini bukan tahun 1950-an?”
“ Ah, kamu. Memangnya kamu datang dari tahun berapa?”
Saya mulai berharap bisa pingsan. Tetapi tidak. Begitu keluar rumah aneka tanaman bunga menyambut pandangan saya. Tidak mungkin dalam berapa jam bahkan sehari pun ada banyak tanaman bunga di hamparan rumput. Pohon yang ada juga tak pernah dilihatnya, tetapi bangunan rumah sama persis.
“Kamu nggak sekolah?” tanyanya.