Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Galeri 9: Rumah Tua

30 Mei 2016   19:37 Diperbarui: 30 Mei 2016   19:49 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah tua (kredit foto : d.wattpad.com/story_parts/196882024/images/142100700e7d9a7d.jpg)

Jakarta 2002

“Adinda!”

Suara teriakan Mama sekali lagi membuat saya teperanjat.

“ Mama dan Papa mau pergi. Kamu tinggal di rumah sama Bik Yayuk!”

Padahal saya baru saja berjinjit ke kamar loteng untuk melihat lagi rumah boneka saya dahulu. Saya anak tunggal semata wayang kata Mama. Flora dan Faunita, boneka kembar yang menemani saya sejak umur lima tahun ada di loteng itu. Sebetulnya Papa dan Mama keberatan terus menerus bermain dengan boneka buatan Belanda. Kata Papa boneka itu sudah ada di loteng sejak ibunya masih kanak-kanak. Saya yang membersihkan kedua boneka itu dan merawatnya, sejak menemukannya. Papa dan Mama takjub saya bisa merawat kedua boneka tua itu seperti baru, tetapi mereka juga khawatir usia saya sudah menginjak tiga belas tahun masih main boneka.

Bukan boneka dan rumahnya saja yang membuat saya betah. Tetapi barang-barang antik yang berada di ruangan berukuran 4 x 4 meter itu. Di antaranya sebuah lemari kayu jati buatan 1920-an yang rajin saya lap, saya plitur. Sekalipun lemari itu selalu dikunci dan Papa bilang lemari itu tidak ada isinya. Mama sebetulnya hendak menjual lemari itu, tetapi Papa melarangnya karena peninggalan keluarganya. Papa adalah generasi ketiga dan kini saya keempat.

Kami tinggal di rumah peninggalan Belanda di kawasan Menteng. Mama bilang kakek Papa membeli rumah itu. Tahun 1950 rumah ini punya seorang Belanda bernama Dolph. Rumah itu sendiri dibangun tahun 1920-an. Kemungkinan lemari jati itu usianya sama dengan rumah ini. Saya suka rumah ini walau Bik Yayuk pernah bercerita rumah tua ini punya hantu. Tetapi saya tidak pernah melihat satu pun hantu dan saya malah ingin tahu hantu itu seperti apa.

Menyebalkan kalau harus tinggal lama di rumah tua dengan sepuluh kamar ini. Berdua dengan Bik Yayuk tanpa teman sebaya. Sebetulnya saya diperbolehkan mengajak teman-teman sekelas atau se-SMP saya ke rumah. Tetapi pada musim libur Juli 2002 mereka lebih suka di luar kota bersama orangtua mereka. Uh..Uh..uh.. Papa dan Mama tidak bisa mengajak liburan karena justru banyak pekerjaan. Mama bekerja di sebuah hotel berbintang yang kebanjiran tamu. Papa seorang wartawan harian lebih sibuk lagi! Saya menggerutu pertikaian politik yang tidak saya mengerti bikin kerja wartawan bertambah.

Ikut Papa ke tempat kerja? Oh, tidak. Papa pernah mengizinkan saya meliput sebuah acara ringan di kawasan Diponegoro menjadi kawasan mengerikan ketika terjadi demo yang rusuh. Wajah Papa pucat menemukan saya di antara para demonstran yang bentrok dan polisi memaki Papa membiarkan anak di antara apa mereka sebut sebagai gerombolan liar. Ikut Mama? Juga pernah. Mana diizinkan lagi. Salah saya sih, rese! Tiba-tiba menghilang dari ruang Cooroprate Communication dan tahu-tahu lagi menganggu cowok-cowok bule. Mereka sih senang-senang saja, tetapi Mama sebagai PR Hotel tidak. Yang membuat Mama kapok, saya tahu-tahu sudah ada di atap hotel dan butuh sepuluh satpam untuk menurunkan saya. Takutkah saya? Tidak! Tetapi Mama yang takut.

Kalau saya main di luar? Oh..oh. Papa dan Mama tidak mengizinkan. Dunia luar itu bahaya kata mereka. Narkoba sudah dipakai anak kelas 5 SD. Hamil di luar nikah. Tawuran seperti di Jalan Diponegoro itu. Dunia mengerikan bagi anak ABG. Bedebah mana yang memberikan stigma pada kami. Diberikan istilah ABG, seolah kami adalah kawanan monster yang mengerikan, yang harus diawasi. Iya juga sih! Salah sebagian dari kami juga. Lagi-lagi suka rese! Suka jahil. Tapi kami butuh tempat bermain yang makin mengecil di Jakarta. Mall? Welleh! Belum apa-apa ada tulisan pelajar berseragam dilarang masuk. Play Station dan warnet bisa jadi jalan keluar. Tapi Papa dan Mama juga curiga pada tempat itu, seolah-olah lebih mengerikan dari hantu.

Toyota kijang mereka sudah lama berlalu. Papa dan Mama berangkat pagi sekali. Bik Yayuk mencuci pakaian keduanya yang bertumpuk. Apa yang saya lakukan? Ya bermain dengan Flora dan Faunita. Mereka berdua disimpan di peti besar di kamar loteng. Saya mengambil kunci di buffet yang saya tahu kunci kamar loteng. Tetapi hari ini kok ada kunci lain? Saya mengambil kedua kunci. Yang pertama untuk membuka pintu kamar loteng dan yang kedua?

Saya mengambil kedua boneka dan meletakannya di rumah boneka. Mereka saya berikan baju seperti puteri bangsawan Eropa abad 19.

“ Apa kabar?” sapa saya.

“ Baik!”

Ada yang menyahut. Saya menoleh. Saya tak percaya hantu. Lemari jati tua itu bergerak. Saya mulai agak takut, tapi penasaran. Lalu saya mengambil kunci kedua di saku celana pendek saya dan mencoba membukanya. Bisa! Memang kuncinya. Sebuah cahaya menyilaukan keluar dari lemari dan membuat saya terdorong. Sepertinya saya tak sadarkan diri.

***

Entah berapa lama, sepasang tangan menolong saya berdiri. Seorang anak perempuan sebaya saya dengan blus dan rok biru berdiri berhadapan dengan saya. Rambutnya dikepang dua. Postur tubuhnya lebih kecil dari saya, sekitar 155 cm, saya sendiri tingginya sekitar 160 cm. Model busana dan rambutnya tampak aneh.

“Apa kabar? Kamu saya temukan tertidur di kamar loteng? Sedang apa kamu di sini?” tanya perempuan itu. Tangannya lembut dan cekatan memplester kening saya rupanya lecet.

“ Kamu sendiri siapa? Kok ada di loteng rumah kami?”

Dia tertawa terbahak-bahak. Dia tidak keberatan atas pertanyaan balik.

“Kamu mungkin tetangganya Farida. Papa bilang dia akan memperkanalkan saya dengan anak perempuan tetangga anak sepupu Papa yang tinggal di Tanah Abang. Saya belum pernah bertemu?”

Saya bengong. Dia memandang saya. “Ah, nggak penting siapa kamu! Saya juga butuh teman bermain! Saya dari tadi sendirian! Papa dan Mama sedang pergi!”

Loh,kok sama? Saya merasa bermimpi atau saya bertemu…Hantu? Ah, kalau hantu kok tidak seram seperti cerita Bik Yayuk atau Mang Kokos, mantan penjaga rumah di sini.

“Kita senasib,” katanya. “Sejak pulang sekolah, saya hanya ditemani Bibik saya. Biasanya langsung kemari untuk main dengan Flora dan Fauni. Tapi saya dengar ada orang di loteng, lalu ada cahaya dan kamu tahu-tahu jatuh dari lemari?”

Jatuh dari lemari? Saya bertambah bingung. Tetapi itu menjelaskan mengapa saya terluka.

“Kamu sekolah di mana?”

“Saya di SMP Santa Ursula, kelas satu. Kamu sekolah di mana?”

“SMP 216, Salemba,” jawab saya.

“ Masa ada SMP 216 Salemba, sebelah mana? Tidak pernah dengar!” tanyanya.

Saya merasa aneh. Masa warga Menteng tidak tahu SMP 216. Mungkin saja, dia dari luar kota.

“ Kamu menamakan boneka ini Flora dan Fauni? Saya menemukannya sudah bernama itu,” saya terus bertanya.

“ Dua boneka itu punya noni yang pernah tinggal di rumah ini. Zaman sebelum perang!” kata gadis itu membuat Adinda makin merasa aneh.”Dari dulu namanya memang Flora dan Fauni!”

“ Saya Adinda!” Saya mengulurkan tangan.

“ Rinayanti,” katanya menjawab uluran tangan Adinda. “Kita jangan main boneka, naik sepeda saja. Saya bonceng. Kita keliling Menteng singgah di Metropole!”

“ Kata Mama dan Papa bahaya, banyak motor dan bus ugal-ugalan. Belum lagi metromini..”

“Bahaya? Metromini apa itu? Yang saya tahu ada crossboy, tetapi sudah banyak ditangkap militer,” Rinayanti terbahak. “Dinda, tidak banyak mobil di jalan. Kamu ini aneh?”

Saya bingung sendiri. Mahluk planet mana dia. Masa tidak tidak pernah lihat metromini selama di Jakarta? Kok dia dibilang aneh. Saya mengikuti Rinayanti keluar kamar loteng menuruni tangga. Astaga! Kok bisa ruangan tamu di rumah berubah. Tidak ada sofa. Yang ada kursi tamu dibuat dari kayu jati dan rotan. Foto di ruang tamu bukan Gus Dur atau Megawati, Hamzah Haz, tetapi Soekarno. Tak ada televisi tetapi radio Philip dan pemutar piringan hitam. Kalau bukan dia alien, saya yang diculik dan dibawa alien ke planet lain. Atau Papa dan Mama sedang mempermainkan saya?”

“Kok bapaknya, bukannya Megawati Soekarnoputri?”

Rinayanti tertawa. “Anaknya Bung Karno? Dia masih sekolah, masa dipajang fotonya.”

Di ruang tamu ada jam lonceng menunjukkan pukul satu siang. Saya mulai berkhayal tentang perjalanan waktu seperti dalam fiksi ilmiah.

“Ini bukan tahun 1950-an?”

“ Ah, kamu. Memangnya kamu datang dari tahun berapa?”

Saya mulai berharap bisa pingsan. Tetapi tidak. Begitu keluar rumah aneka tanaman bunga menyambut pandangan saya. Tidak mungkin dalam berapa jam bahkan sehari pun ada banyak tanaman bunga di hamparan rumput. Pohon yang ada juga tak pernah dilihatnya, tetapi bangunan rumah sama persis.

“Kamu nggak sekolah?” tanyanya.

“ Kan libur?”

“ Bolos kali! Hari ini Selasa tahu” Rinayanti senyum.”Enak ya sekolah negeri bisa bolos. Kalau di Santa Ursula telat sudah suruh menghadap Muder!1”

Kepala saya makin dipenuhi tanda tanya. Komplotan mana nih yang bikin rekayasa? Mungkin orangtua dan teman-teman ingin bikin surprise menjelang ulang tahun saya ke 14 Agustus mendatang. Mereka semua tahu saya mendapatkan nilai nyaris sempurna untuk mata pelajaran sejarah. Tetapi Rinayanti mengucapkan tidak seperti akting. Itu artinya Rina benar-benar baru pulang dari sekolah.

“Yuuk, bonceng!” tahu-tahu Rina sudah menaiki sepedanya. Ada lampu di depannya. Tidak seperti sepeda yang dikenalnya.

Dengan rasa heran bercampur ingin tahu saya membonceng sepeda onthel itu. Seingat saya sepeda itu memang ada di garasi. Kata Papa peninggalan keluarganya dulu. Sepeda itu penuh debu. Tapi kini mengkilat dan tampak baru. Kami menelusuri jalanan yang setahu saya ramai. Tetapi kok tampak sepi dan lebih asri.

“Rumah ditinggal?” tanya saya kahwatir.

“ Ada bibik di dalam. Kakak-kakak saya juga nanti pulang,” kata Rina. “Kamu belum makan, kan? Saya juga. Mau nyobain makan bakmi di Gang Kelinci? Enak? Anak-anak Santa Ursula suka makan di sana.”

Bakmi Gang Kelinci? Saya pernah mencobanya sekali. Itu dibawakan Papa. Rasanya enak sekali. Perjalanan ke Pasarbaru tidak melalui banyak gedung bertingkat. Bahkan tak ada gedung BBD yang harusnya ada di Ujung Jalan Imam Bonjol. Menteng planet manakah saya? Tidak ada pos polisi di Taman Surapati. Masa bangunan-bangunan itu musti menghilang hanya untuk mempermainkan seorang Adinda . Rina membawa Dinda melalui Jalan Teuku Umar hingga mereka tiba di warung bakmi yang dimaksud. Sebuah warung bakmi tidak terlalu besar, tetapi ramai.

Rina makan dengan lahap. Di rumah makan itu banyak remaja sebaya mereka. Saya semakin merasa di planet asing melihat ibu muda berkebaya dan laki-laki berpeci makan disana. Sebuah surat kabar tergeletak. Surat kabar masih hitam putih dengan layout berbeda yang pernah dilihatnya. Suluh Indonesia 2 Maret 1959: Ho Chi Minh dapat gelar doctor kehormatan dari Universitas Padjadjaran. ITB diresmikan Bung Karno. Rasanya Adinda mau pingsan? Apa yang bisa diperbuat di tahun 1959? Empat bulan sebelum dekrit menurut pelajaran sejarah.

“Kamu lapar sekali Dinda? Licin mangkok kamu. Mau nambah? Atau mau es campur?”

Dinda menggeleng. Rasa ingin tahunya besar. Matanya terbelalak melihat Rina mengeluarkan satu lembar Rp5 dari tasnya. Wah, setahunya semangkuk bakmi di sini di atas Rp10.000.

Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Rina mengajaknya melintasi bagian depan sekolahnya, Gereja Kathedral dan tak ada Masjid Istiqlal. Saya tidak ingin Rina melihat saya seperti orang desa baru lihat Jakarta: plangah plongoh! Rina mengajak saya ke tempat apa yang ia sebut sebagai Bioskop Menteng Metropole. Mereka melalui Jalan Cikini. Rina menunjuk sekolah anak-anak Presiden. Akhirnya mereka tiba di bioskop itu. Setahu Adinda namanya Megaria. Ada bioskop di situ. Tapi bukan 21. Tak ada Toko Milenia di seberangnya. Tak ada jalan layang kereta api. Bahkan ada kendaraan yang mirip gerbong kereta sepanjang perjalananan. Kata Rina itu trem. Bus pun namanya DAMRI.

Quantum Leap! Saya ingat serial itu . Saya ingin beteriak: Mimpi! Tetapi kok Bakmi yang dikunyah terasa asli. Oh, Mygod, Saya benar-benar terdampar ke tahun 1959.

“ Mau pulang? Mau keliling lagi? Mau nonton? Kamu suka film siapa? Tapi pertunjukkannya baru nanti malam,” ujar Rina sambil menghentikan sepedanya di depan Metropole.

“ Terakhir saya menonton Ada Apa dengan Cinta?” Uupsh! Saya kelepasan bicara.

“ Kamu suka nonton film cinta, ha..ha..ha..ha. Kamu suka film mempertanyakan cinta? Ha..ha..ha. Memang kamu lagi jatuh cinta? Saya suka film music, rock n roll yang dibintangi Bill Hailley, nonton sama teman-teman. Juga Tiga Dara..”

Gubraak!

“ Sejak kapan tinggal di Menteng?” Saya ingin tahu kalau memang dia terdampar pada tahun 1959 ketika rumah ditempati keluarga Rinayanti. Mungkin Papa anak salah satu dari kakak Rina atau Rina sendiri. Karena Papa pernah bilang generasi kedua.

“Papa saya namanya Rustam. Papa beli rumah di Menteng pada 1950, ketika umur saya lima tahun. Papa pegawai negeri. Ibu kerja di sebuah toko di Pasar Senen. Saya anak bungsu, kakak saya sembilan. Papa dan Mama kamu?”

“Syafrie Afid dan Eva Hadju. Papa wartawan dan Mama kerja di hotel?”

“Wartawan mana? Mama kamu kerja di Hotel Des Indie yang di Harmoni itu? Nama Papa kamu bagus Syafrie Afid.”

Indonesia Raya dot.com…” Maksud saya media online. Tetapi Rina menangkapnya lain.”Yang punya Bapak Muchtar Lubis itu? Hebat, ya tetangga Tante Farida.

Mereka berkeliling Menteng. Adinda melihat batas kampung di kawasan yang dikenalnya sebagai kuningan.

“ Kamu ingin lihat sapi di sana?” kata Rina.

“ Sudah pulang saja. Kita belum Salat kan?”

“ Oh, iya,” kata Rina.

Dia memacu sepedanya kembali ke Jalan Kendal. Di rumah sudah ada seorang kakak perempuan Rina. Kakaknya mungkin berusia 18 atau 19 tahun. Sang Kakak mungkin baru pulang bekerja atau sekolah. Dia hanya menoleh,namun kemudian masuk lagi. Saya khawatir kakaknya mengomentari pakaiannya yang mungkin aneh bagi orang 1959, celana pendek dan kaos oblong. Potongan rambutnya pendek. Tetapi dia tidak komentar.

“Dari mana Rina?”

“ Dari Pasarbaru Uni! Sama teman.”

Dia tak bertanya lagi. Rina mengajak saya ke dalam. Kakaknya masuk ke kamarnya. Rinayanti dan saya masuk ke kamarnya. Setahu dia kamar itu tidak terpakai. Jadi kamar tamu, yang jarang jadi pilihan. Rina menyediakan mukenah dan sejadah. Kami salat bergantian. Kemudian Rina mengajak saya ke ruang keluarga memutar gramophone.

“Mau dengar lagu Frank Sinatra? Connie Francis atau Elvis Presley?”

Saya mengangguk-angguk pura-pura mengerti. Dia mengamati piringan hitam yang pernah Saya lihat dalam kardus yang dipindahkan ayahnya.

“Bisa dansa? Saya juga baru belajar Dinda?”

Lalu dia memilih album Elvis Preslley, Be Bob A Lula mengalun. Rina memperlihatkan gerakan rock n roll. Saya mencoba mengikuti.

“ Anak-anak Ursula suka Elvis,” cetus Rina sambil memperlihatkan gerakan energik.

Mau tak mau saya mengikuti. Not Bad! Rina bertepuk tangan.

Lalu kami mengobrol soal sekolah masing-masing. Rina ceritanya di sekolahnya suka ada pemutaran film tiap Jum’at. Dia juga pernah ikut 17 Agustusan di Istana Merdeka dan dapat minuman limun. Saya hanya cerita soal Soekarno sekadarnya dan dari cerita Papa dan Mamanya, soal guru di sekolahnya yang paling ia suka guru sejarah dan yang ia paling sebal guru olahraga.

Tahu-tahu saya mengantuk, mungkin karena lelah. Rina tahu dan mengantarkannya ke kamarnya. Rina juga mengantuk dan mereka tidur bersama. “Ya, kita tidur siang dahulu. Mungkin nanti malam Mama kamu menjemput.”

***

“Dinda! Ngapain kamu tidur di kamar nenek!” sapa Mamanya.

Dinda mengusap matanya. Tidak ada Rina di sebelah Mamanya.

“Kamar nenek?”

Saya menoleh ke samping, astaga saya tidur di tempat tidur yang spreinya sudah lama tak diganti dan berdebu. Perasaan saya spreinya wangi dan masih baru.

“ Iya, Ibu dari Papa kamu tidur di sini waktu dia sekolah, sebelum pindah ke Bandung ikut kakaknya!”

Kok, Papa tidak pernah cerita soal nenek!”

Mama tidak menjawab.

“ Lalu nenek di mana?”

Mamanya tidak menjawab. Dia melihat kaos yang saya kenakan lembab. Seperti habis bermain seharian.

“Kamu main sama siapa? Kok tidak telepon Mama?”

“ Sama Rina, Rinayanti?”

“ Anak SMP 216 juga?”

“ Bukan anak SMP Santa Ursula!”

Wajah Mama mulai serius. “Sudah kamu mandi dan makan. Sudah mahgrib tahu. Sebentar lagi Papa kamu pulang!”

Sebelum ke kamar mandi, Mama menelepon Papa.”Ada aneh dengan Dinda?”

Papa Dinda datang pas makan malam. Tidak seperti biasanya. “Kamu mimpi buruk ya, Din?”

Nggak, Dinda nggak mimpi. Dinda jalan sama Rina.”

Tentunya saya tidak mau cerita pada tahun berapa saya berjalan bersama Rina. Saya mencoba menduga-duga jangan-jangan saya jalan dengan nenek ketika masih seumur saya. Sama-sama anak yang kesepian. Pertanyaannya ada apa dengan Papa tidak mau menemui ibunya sendiri dan mengenalkan cucunya?

Esoknya Papanya kembali bekerja. Mamanya juga bekerja. Saya kembali tinggal dengan Bik Yayuk. Saya naik ke loteng sehabis sarapan dan membuka lemari tua itu. Uppsh! Sebuah album foto jatuh dari lemari itu. Album itu memuat puluhan foto hitam putih dan dia mengenali gadis berkepang dua itu dan kakaknya. Di lemari itu ada belasan album piringan hitam. Tiba-tiba dia tidak tertarik lagi pada Flora dan Fauni. Dia sudah punya teman namanya Rina.

“Kamu suka dengan Connie Francis?” Rina sudah di belakangnya memegang album Connie Francis. Suasana lotengnya sudah berbeda, seperti ketika Rina membangunkannya.

“Ayo ke bawah! Kita dansa!”

Piringan hitam itu diputar. Rina kembali mengajarkan seorang Dinda berdansa. Lagunya cukup enak, walau memang jadul. Sepertinya untuk menyanyikannya, Conie Francis mungkin bergaya genit.

Stupid Cupid you're a real mean guy
 I'd like to clip your wings so you can't fly
 I'm in love and it's a crying shame
 And I know that you're the one to blame
 Hey hey, set me free
 Stupid Cupid stop picking on me

“Bung Karno tidak suka anak sekolah dansa rock n roll. Dia lebih suka kita menari Serampang Dua Belas!” cetus Rina.

Saya tak mengomentarinya. Masa saya cerita masa berikutnya musik Barat makin menjadi-jadi. Musik rock juga semakin maju. Kalau Rina memang nenek saya, ingin tahu apa memang pernah di Bandung.

“Sudah pernah ke Bandung?”

“ Iya. Saudara papa punya rumah di Kampung Ujungberung. Tetapi kalau di sana keluar malam hati-hati, suka ada gerombolan. Di Bandungnya ada saudara saya juga di Jalan Mawar. Bandung sejuk dan dingin. Kalau ke sana kami suka ke Maribaya atau Karangsetra.”

Hari sudah menunjukkan pukul lima sore. Ayah dan ibunya Rina belum pulang juga. Tetapi beberapa kakak sudah pulang dan membiarkan kami berdansa. Seorang kakak perempuannya sempat memperhatikan kami.

“Kamu dansa dengan siapa Rina?”

“ Uni ingin tahu saja!” jawab Rina seenaknya.

Kakaknya berlalu, sepertinya dia sudah kebal terhadap kelakukan Rina. Tetapi aneh juga ini kedua kalinya. Rina tidak mengenalkan saya dengan kakak-kakaknya. Rina mengajak saya ke kamarnya membantunya belajar Aljabar. Materinya ada yang pernah saya pelajari. Dia meminjamkan handuk dan mandi. Lalu saya menunggu di kamar hingga dia selesai mandi. Pas Azan mahgrib kami salat bersama. Kali ini saya menjadi imam.

“Dinda, kamu salat sampai tertidur yaa!” Suara Mama membangunkan saya. Ya, ampun saya terlelap di atas sejadah. Di belakang ada sejadah lain.

“Untuk apa sejadah dan mukenah nenek kamu pakai? Loh, untuk apa sejadah di belakangnya?’ Mama merasa ada yang aneh pada putri semata wayangnya. Dia juga memungut sehelai handuk di atas kursi dekat tempat tidur nenek.

“Kok bisa ada di sini ya? Kamu mengeluarkan dari lemari nenek?”

Saya tak menjawab. Mama memungut hal lain di lantai kamar. Sebuah album dan berapa lembar foto tercecer. “Kamu habis bongkar lemari nenek dan dari loteng ya? Ya, ampun kamu belajar aljabar tahun 1959 punya nenek kamu!”

Tetapi Mama tidak bertanya lagi. Dia tampak berbicara dengan Bik Yayuk. Saya menguping.

“Iya, Neng Dinda seharian ini menari sendirian pakai musik piringan hitam itu!”

“Kamar mandi ada yang mandi, setelah Dinda keluar!”

Mati saya.

“Ala, Bibik nakut-nakutin saja! Masih percaya hantu. Biasa kok anak-anak punya teman khayal. Papanya juga cerita dulu ibunya juga pernah teman khayal cewek sebaya..Tetapi lambat laun hilang, karena sering ditinggal sendiri! Mulai sekarang kalau Dinda keluar kamar mandi, kamu periksa Bik, apa sudah dimatikan kerannya atau belum!”

Oh, My God! Pertama saya terdampar pada 1959. Kini saya dituduh berdansa dengan hantu atau sosok nenek waktu umur 13 tahun yang datang ke masa saya.Tak seorang pun melihat saya di tahun 1959 dan tak seorang pun di tahun sekarang yang bisa melihat Rina atau nenek, karena kami tetap milik ruang dan waktu masing-masing. Hebat, ya khayalan anak umur 13 tahun yang sering nonton film fantasi fiksi ilmiah dan buku sejarah.

Kemudian Papa datang. Kami makan malam bersama.

“Kata Mama kamu mau bertemu nenek?”

Saya mengangguk.

Saya melihat Mama melihat Papa. Seperti ada sesuatu mereka sembunyikan.

“Sudah saatnya Eva. Etek menelepon kantor bahwa Mama ingin ketemu kita.Sudah tak ada masalah. Terutama dia ingin bertemu cucunya!”

“Jadi Papa dan Mama mau libur bersama Dinda walau tinggal beberapa hari lagi!”

“Rabu, Kamis, Jum’at, pulang Sabtu. Minggu istirahat dan Senin bisa segar di sekolah dan tidak cemberut lagi!” kata Mamanya.

“Mama atau Papa yang marah sama Nenek? Atau Nenek yang marahan sama Papa dan Mama?”

Papa dan Mama berpandangan. “Panjang ceritanya Dinda!” kata Papa. “Nenek memang marah sama Papa karena kami kawin lari. Keluarga papa tidak setuju karena Mama kamu sudah orang Gorontalo punya adat beda dan yatim piatu waktu kuliah di Swiss. Tidak jelas siapa keluarganya. Mama kamu mandiri karena lama di luar negeri jadi dipandang liberal. Nah, waktu Papa tugas di Swiss bertemu Mama. Jatuh cinta. Menikahnya tidak ribet, cukup seorang kakak ayahnya menjadi wali. Saksi muslim di sana.”

“Saya lahir di Swiss?”

“Iya. Tetapi kamu hanya sampai umur setahun di sana. Lalu kami pulang dan tinggal dari kontrakan ke kontrakan. Lama-lama keluarga kami luluh. Karena rumah di Menteng tidak ada yang urus, diminta Papa yang urus. Keluarga tidak mau menjual sampai semua mau bertemu. Mama sebetulnya sudah mau bertemu kami dan kamu Dinda, tetapi kakak -kakaknya tidak setuju karena takut Mama ingat teman khayalannya, waktu seusia kamu di sini! ”

“Papa anak tunggal?”

Papa mengangguk. “Katanya nama Papa diberikan oleh teman khayalnya. Sayang dia tidak kasih tahu nama teman khayalnya siapa? Ada yang bilang hantu rumah tua ini..”

My God! Jangan-jangan….Saya mulai merinding. “Nama nenek..Rinayanti,kan?”

“Kamu baca nama di buku pelajaran Aljabar itu, kan?” tanya Mama.

“Eh, iya?” Saya tidak ingin dikorek informasinya. Yang penting besok kami ke Bandung.

****

Rumah di Ujungberung itu hanya rumah yang hanya seperlima rumah kami di Menteng. Tetapi halaman cukup luas dengan bunga-bunga. Ketika mobil kami masuk seorang perempuan tua betubuh mungil menunggu kami di beranda bersama seorang perempuan tua juga, hanya tubuhnya lebih tinggi. Saya jadi teringat perempuan lain yang saya lihat pada 1959. Papa dan Mama langsung menemui mereka dan mencium tangan nenek. Saya melihat nenek memeluk mereka satu demi satu.

Pelan-pelan saya turun dari mobil membawa Flora dan Fauni. Sebetulnya Papa dan Mama melarang, tetapi saya berkeras. Perempuan tua itu menitikan airmata melihat saya membawa dua boneka itu.

“Dinda! Bonekanya masih bagus, ” katanya memeluk saya seperti sudah pernah bertemu. Dia berbisik.”Sudah bisa dansa belum?”

“ Nenek ke Jakarta, makan Bakmi Gang Kelinci lagi?” kata saya agak keras.

“ Boleh, tetapi jangan sendirian ya, malu atuh dilaporin tetangga! Ngomong sendirian di warung bakmi,” celetuk kakaknya.

Nenek memincingkan mata pada saya. “Ah, di Bandung ada banyak bakmi yang enak. Ayo masuk dulu!”

Papa, Mama dan kakak nenek memasuki rumah. Saya berjalan bersama Nenek bernyanyi bersama.

Stupid Cupid you're a real mean guy
 I'd like to clip your wings so you can't fly
 I'm in love and it's a crying shame
 And I know that you're the one to blame
 Hey hey, set me free
 Stupid Cupid stop picking on me

Saya dengar Mama berkata pada papa. “Mereka nyanyi kok kompak bangetya! Sepertinya mereka lama kenal!”

Sunter, Jakarta Utara, 26 Agustus 2005.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1. Sebutan Mer (suster) dan Muder (kepala sekolah) di Santa Ursula pada 1950-an.

Kredit foto:

Ilustrasi rumah tua : d.wattpad.com/story_parts/196882024/images/142100700e7d9a7d.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun