Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Galeri 9: Rumah Tua

30 Mei 2016   19:37 Diperbarui: 30 Mei 2016   19:49 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papa dan Mama berpandangan. “Panjang ceritanya Dinda!” kata Papa. “Nenek memang marah sama Papa karena kami kawin lari. Keluarga papa tidak setuju karena Mama kamu sudah orang Gorontalo punya adat beda dan yatim piatu waktu kuliah di Swiss. Tidak jelas siapa keluarganya. Mama kamu mandiri karena lama di luar negeri jadi dipandang liberal. Nah, waktu Papa tugas di Swiss bertemu Mama. Jatuh cinta. Menikahnya tidak ribet, cukup seorang kakak ayahnya menjadi wali. Saksi muslim di sana.”

“Saya lahir di Swiss?”

“Iya. Tetapi kamu hanya sampai umur setahun di sana. Lalu kami pulang dan tinggal dari kontrakan ke kontrakan. Lama-lama keluarga kami luluh. Karena rumah di Menteng tidak ada yang urus, diminta Papa yang urus. Keluarga tidak mau menjual sampai semua mau bertemu. Mama sebetulnya sudah mau bertemu kami dan kamu Dinda, tetapi kakak -kakaknya tidak setuju karena takut Mama ingat teman khayalannya, waktu seusia kamu di sini! ”

“Papa anak tunggal?”

Papa mengangguk. “Katanya nama Papa diberikan oleh teman khayalnya. Sayang dia tidak kasih tahu nama teman khayalnya siapa? Ada yang bilang hantu rumah tua ini..”

My God! Jangan-jangan….Saya mulai merinding. “Nama nenek..Rinayanti,kan?”

“Kamu baca nama di buku pelajaran Aljabar itu, kan?” tanya Mama.

“Eh, iya?” Saya tidak ingin dikorek informasinya. Yang penting besok kami ke Bandung.

****

Rumah di Ujungberung itu hanya rumah yang hanya seperlima rumah kami di Menteng. Tetapi halaman cukup luas dengan bunga-bunga. Ketika mobil kami masuk seorang perempuan tua betubuh mungil menunggu kami di beranda bersama seorang perempuan tua juga, hanya tubuhnya lebih tinggi. Saya jadi teringat perempuan lain yang saya lihat pada 1959. Papa dan Mama langsung menemui mereka dan mencium tangan nenek. Saya melihat nenek memeluk mereka satu demi satu.

Pelan-pelan saya turun dari mobil membawa Flora dan Fauni. Sebetulnya Papa dan Mama melarang, tetapi saya berkeras. Perempuan tua itu menitikan airmata melihat saya membawa dua boneka itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun