"Sudahlah Darsih, masa kamu mau menangis terus," bujuk Marsudi menenangkan Darsih yang masih menangis.
"Kamu tidak maengerti perasaan wanita Marsud," bentak Darsih kesal.
"Ealah...itukan hanya film. Si Ikang Fawzimu itu tidak benar-benar mati, itu hanya akting Darsih...hanya akting," Marsudi menggerutu kesal, ditendangnya angin yang kebetulan lewat didepannya.
"Ah sudahlah, memang kamu tidak mengerti," Darsih mempercepat jalannya meninggalkan Marsudi yang bingung sendiri. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Perempuan itu memang susah dimengerti. Jangankan kamu yangbbau kencur, Parmin yang sudah bau tanah pun tidak bisa memahami mereka," Darso meledek teman kecilnya yang sedang bingung bukan main dengan sikap kekasihnya dan satu jitakan dari Parmin cukup membuat lelaki itu kesakitan.
"Sialan kau bilang aku bau tanah," protes Parmin bersungut kesal.
"Salah aku apa Mas. Masa dia marah karena aku bilang Ikang Fawzimu itu tidak mati sungguhan," gerutu Marsudi dengan muka masam. Darso dan Parmin terkekeh hingga membuat bahan yang sedang mereka bentangkan mencong kanan, mencong kiri.
"Hey Darso...kalau perempuanmu menangis, itu tandanya dia ingin meminta perhatian lebih bukan malah kau protes artis kesayangannya," Parmin angkat bicara.
"Dasar anak bau kencur," ledek Darso lagi.
"Ah sudahlah. Dasar orangtua bau tanah!" Marsudi geram dan meninggalkan kedua seniornya, tak lupa dia mendorong bahan yang siap di potong hingga berantakan. Baik Parmin maupun Darso kesal karena kelakuan Marsudi karena tindakan itu memaksa mereka harus menumpuk ulang bahan-bahan tersebut.
***