"Aku mau kerja saja Rat. Nanti biar anak-anak kutitip mertua saja," desis Darsih kemudian.
Tak perlu lama mendapat pekerjaan untuk Darsih. Dia punya keterampilan menjahit dan itu sedang dibutuhkan sebuah pabrik di kota lain. Walau awalnya di tolak tapi kemudian mertua wanita itu mau dititipi anak-anak Darsih.
"Tiga saja, yang bayi ibu gak sanggup," persyaratan ibu mertua Darsih.
Dia sempat bingung mau dikemanakan bayi yang belum sempat diberikan nama hingga memasuki usia satu bulan itu. Beruntung, ada sepasang suami istri yang mau mengangkat bayi tersebut menjadi anaknya. Walau berat, akhirnya Darsih menyerahkan dengan ikhlas anak tersebut kepangkuan mereka.
Darsih berharap, dia tidak salah mengambil keputusan tersebut. Semua demi kebaikan anak bungsunya.
Kalau saja jaraknya atara rumah dan pabrik dekat, mungkin sampai saat ini tidak akan terputus hubungan anak dan ibu tersebut. Pabrik tersebut berada di lain kota, hingga Darsih memilih pulang seminggu sekali bahkan satu bulan sekali jika sedang banyak lemburan.
Jarang bertemu membuat anak-anak tidak dekat dengan Darsih. Apalagi mertuanya sering mendoktrin mereka dengan hal-hal yang dianggapnya benar tetapi menyudutkan Darsih.
Darsih dan Marsudi akhirnya bercerai, rumah yang mereka tempati dahulu sepakat untuk di kontrakan saja untuk membiayai keperluan buah hati mereka.
Hingga tiba ketiga anaknya tumbuh menjadi remaja, Darsih benar-benar dilupakan. Mereka lebih menghargai neneknya ketimbang ibu yang telah melahirkan ketiganya.
"Aku tidak ingin menyalahkan mereka, karena saat itu ketiganya masih sangat kecil dan belum mengerti masalah kedua orangtuanya," Darsih menyeka lagi airmatanya.
"Anak ibu yang nomor empat?" aku bertanya menyelidik.