"Sudah jangan didengar, ini ambilah," seorang lelaki bertubuh kecil menghampiri Darsih yang masih tercekat karena kaget. "Butuh berapa banyak, besok biar kusisakan buatmu," lanjutnya lagi.
Darsih tidak menjawab, tangannya mengambil kain-kain perca berwarna-warni tersebut. Matanya sempat beradu tatap dengan pemuda baik hati tersebut. Posturnya tidak terlalu tinggi, hampir sama dengan tubuh Darsih.
"Hey Marsudi, mau sampai kapan kamu lama-lama diri disitu. Cepetan gelar lagi bahannya, biar dapat uang banyak hari ini kita" teriak Darsono membuat keduanya terhenyak kaget dan menyadari kalau bukan hanya mereka yang berada di ruangan tersebut.
Suara suitan dan ledekan beberapa tukang potong membuat pipi Darsih memerah karena malu. Dia segera meninggalkan pemuda baik hati yang ternyata bernama Marsudi tersebut.
Hari-hari berikutnya, Darsih tidak usah repot-repot lagi ke ruang potong. Perca-perca tersebut datang sendiri ke mejanya.
"Baik banget dia," ledek Ratmi pada sahabatnya.
Darsih diam. Dia tidak mau menanggapi godaan Ratmi. Tapi, seketika perca-perca tersebut membuatnya menjadi tidak fokus. Dia tersenyum sendiri ketika potongan-potongan kain tersebut berubah jadi wajah Marsudi. Kakinya berhenti, tangannya pun tidak bergerak. Pikirannya lebih memilih untuk mengingat perjumpaan pertama mereka di ruang potong.
"Kalau suka nanti biar kusalami sama dia," bisik Ratmi membuat Darsih terhenyak dari lamunannya dan wajah-wajah Marsudi berubah menjadi potongan-potogan kain berwarna-warni.
"Ngomong apa sih kamu!" Darsih tersipu malu sedangkan Ratmi cekikikan melihat rona merah di pipi temannya.
Mulut Darsih bisa saja berkata tidak, tetapi hati nyatanya tidak bisa berbohong. Bagaimana dia sering mencuri-curi pandang ketika Marsudi lewat tempatnya memotong benang hingga jarinya pun menjadi korban. Dia juga selalu bahagia ketika Ratmi menyampaikan salam dari pemuda itu yang dititipkan padanya berbarengan dengan datangnya sekantong kain perca.
"Buat kamu," tanpa melihat wajah pemuda itu Darsih memberikan kantong berisi kain perca-kain perca pemberian Darso yang sudah dijahitnya menjadi keset dan taplak meja. Itu adalah hasil jahitannya yang paling bagus.