Darsih tetap diam, bingung harus menjawab apa. Dia pu. Tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Ada yang salahkah dengan dirinya hingga Marsudi semarah itu?
Marsudi tidak pulang ke rumah, entah dimana laki-laki itu berada. Darsih coba menelpon ke pabrik dengan meminjam telpon milik kecamatan.
"Bapak sedang sibuk," itu jawaban yang dia dapatkan dari staff yang mengangkat telpon.
Hingga hari keempat setelah keributan tanpa sebab itu, Marsudi pulang dengan keadaan kusut. Dia terlihat sangat letih. Darsih membiarkan lelaki itu tidur dengan masih memakai seragam lengkap dengan sepatu. Ketika di lihatnya laki-laki itu sudah terlelap dengan sabar dia membukakan sepatu suaminya.
Hidungnya sengaja di dekat kan pada bibir Marsud. Lelaki itu mabuk. Dulu, dia sudah berjanji untuk meninggalkan minuman keras. Pasti ada sesuatu yang sedang mengacaukan pikirannya.
Malamnya, Marsudi lebih memilih tidur di luar ketimbang di kamar. Empat hari mereka berpisah, tak rindukah dia dengan Darsih? Biasanya lelaki itu selalu bilang, Â berpisah satu hari seperti setahun baginya.
Rumah yang biasanya ceria itu menjadi beku, seperti ada salju yang menutupinya. Marsud lebih sering berada di pabrik ketimbang di rumah. Meleleh airmata Darsih setiap anak-anaknya bertanya, kemana Bapak? Atau ketika si kecil Agus merengek ingin bertemu dengan Bapak. Ah itu semua menyakitkan, lebih menyakitkan lagi ketika sebulan kemudian dua orang paruh baya datang ke rumah mertuanya. Meminta pertanggungjawaban karena anak gadis mereka hamil. Marsud pelakunya.
Namanya Ratna, usia wanita itu baru tujuh belas tahun. Dia anak dari salah satu penjual di kantin pabrik.
"Semuanya gara-gara kamu Darsih," tuduhan itu dilontarkan ibu mertuanya ketika Darsih coba membagi kesedihan yang dia rasakan.
Darsih terdiam. Yah salahkan saja semuanya padaku, jeritnya dalam hati. Ingin mempunyai anak perempuan itu terlalu dibuat-buat Marsud ketika Darsih meminta alasan mengapa ingin menikah lagi. Pertengakaran satu bulan lalu sengaja di buat lelaki itu sebagai alasan untuk menjelekkan Darsih di depan ibunya.
Selalu saja ada yang di komplen Marsud. Masakan kurang garam lah, baju setrikanya kurang rapih lah sampai rumput di depan rumah kering pun semuanya salah Darsih.  Laki-laki itu berhasil, mempengaruhi ibu dan orang sekitarnya hingga Darsih dianggap tidak becus sebagai istri, dia dianggap gagal. Padahal kalau  memang Darsih tidak becus mengurus rumah tangga mereka, mengapa harus menunggu bertahun-tahun untuk protes. Lelaki memang selalu ada alasan untuk menghujat istrinya padahal sesungguhnya dia hanya mencari lubang yang lebih sempit.