Karena tidak tahan dengan keusilan pamannya akhirnya dia memutuskan ikut kerja di sebuah pabrik. Sekolah tak dilanjut, hanya sampai SD kelas empat. Terbebas dari rumah itu keadaan sedikit membaik, setidaknya dia bisa merasakan indahnya dunia luar. Bergaul dengan teman sebaya hingga akirnya bertemu dengan seseorang yang menawarkan cinta.
Marsudi, nama lelaki itu!
***
Ternyata, meninggalkan rumah bibinya adalah keputusan tepat, walaupun sempat terlontar makian dari mulut wanita itu ketika dia pergi.
"Bibi tidak mengijinkan aku pergi bukan karena dia menyayangiku tapi tidak akan ada lagi yang membantu pekerjaan rumah. Anak bibi tiga, semuanya masih kecil. Ditambah lagi dia harus bekerja bersama suaminya diladang," tutur Darsih pelan.
Darsih yang keluar dari rumah bibinya menjadi gadis yang mandiri. Dengan berbekal nekat dia berangkat ke kota lain mengikuti jejak temannya yang sudah bekerja di pabrik konveksi. Usianya masih terhitung belia saat itu, empat belas tahun.
Awalnya dia hanya bertugas membuang benang dari sisa jahitan para penjahit. Borongan, upahnya pun tak seberapa tetapi cukuplah untuk mengisi perutnya yang kecil.
"Jangan cuma buang benang, sini kuajari menjahit," Ratmi sahabatnya yang membawa dia sampai kemari menawarkan jasa.
Darsih tentu saja tidak menolak tawaran tersebut, dia senang sekali mendapat privat menjahit dengan gratis. Di luar sana, katanya kursus menjahit itu biaya banyak, yang paling terkenal itu Juliana Jaya. Dia sering melihat selebarannya yang tertempel di pohon-pohon atau tiang listrik pinggir jalan.
Setiap istirahat Darsih menggunakan waktunya untuk belajar. Biasanya bahan-bahan sisa dia minta dari tukang potong untuk kemudian dijahit sesuka hati untuk melancarkan gerakan tangannya.
"Jangan ambil kain-kain itu!" bentak seorang laki-laki berbadan tegap. Darsono namanya, dia tukang potong senior di pabrik ini. Desus yang terdengar, lelaki itu adalah karyawan kesayangan pemilik garmen.