Tak ada yang dimakan, tak ada yang bisa dijadikan pengganjal perut hari ini. Anak-anak sempat menangi semua menangis karena lapar, air susu pun tak ada yang keluar walau setetes.
Mas Aji yang baik sudah pergi meninggalkan kota ini, dia tidak tahan dengan tudingan Marsudi. Bapak mertuanya pun belum pulang dari pasar, biasanya lelaki tua itu yang memberi mereka makan ala kadarnya.
"Bapak...Ibu..."rintihnya pelan. Mengapa Tuhan tidak ambil nyawanya saat mereka mengambil keduanya.
"Ya Allah Darsih!" Ratmi berhambur melihat keadaan sahabatnya yang semrawut. "Ko kamu jadi kaya gini Darsih," tangisnya pecah sambil memeluk tubuh kurus itu.
"Kamu harus kuat Darsih, demi anak-anakmu. Kalau kamu sakit, gimana nasib mereka," Ratmi menasehati dengan sabar sambil menyisiri rambut Darsih yang sudah lengket karena lama tidak dikeramas.
Ratmi tetap memberi semangat pada sahabatnya walau dia yakin kalau dirinya pun tidak akan kuat jika berada pada posisi Darsih.
"Aku bingung Rat," suara Darsih bergetar,"Marsud sudah tidak peduli lagi pada kami. Tidak ada uang, kalau aku bekerja lagi juga bagaimana anak-anak," lanjutnya lagi.
Ratmi memeluk bahu Darsih. "Andainya aku tidak punya anak dan punya rumah sendiri Dar, tak apalah anak-anakmu aku yang menjaga,"
Darsih menelan ludah. Tapi faktanya, kehidupan Ratmi pun tidak lebih baik darinya. Tinggal mengontrak dengan gaji suami yang pas-pasan. Tapi dia beruntung karena suaminya setia dan tidak kawin lagi.
"Anak-anakku?" Darsih seperti baru tersadar dari mimpi.
"Mereka semua sudah tidur, tapi kusuapi pakai telor ceplok. Darma paling doyan makan ya ternyata," tutur Ratmi diiringi tawa kecil, Darsih tersenyum walau tak lama.