Darsih menghela napas. "Aku tidak ingin mengingat peristiwa itu lagi, wanita itu dan kehidupan setelah itu," ucapnya berjalan pelan menuju kamarnya.
Aku terdiam. Mungkin, itu adalah kisah dari hidupnya yang sangat menyakitkan. Tapi, itulah yang kuperlukan, setidaknya untuk membersihkan nama Darsih di depan mata ketiga putranya.
***
Diluar masih gerimis, gigil ketika angin yang masuk melalui kisi-kisi jendela dan pintu menyapa kulit. Wangi aroma mie rebus dari dapur cukup menghangatkan. Tapi sayang, tidak bisa menggugah selera makanku yang sedang turun.
Sudah hampir satu jam aku berada di depan laptop, tanpa ada yang  bisa aku ketik satu kata pun. Semuanya seperti hilang begitu saja. Otakku terasa kosong, yang tertinggal hanyalah bayangan-bayangan yang diceritakan Darsih tadi siang.
Marsudi mematikan mesin motornya ketika sampai di halaman rumah. Setengah berlari laki-laki itu masuk dengan menendang pintu ruang tamu, mengagetkan Darsih dan ketiga anaknya yang sedang makan siang.
"Dasar kau wanita sundel!" laki-laki itu langsung menjambak rambut Darsih dan menariknya ke kamar.
Tanpa memberikan kesempatan istrinya bertanya tangan kekar itu menghujani pipi Darsih dengan tamparan. Suara tangis ketiga anaknya yang berada di ruang tengah pecah bersamaan dengan airmata yang merembes dari pelupuk mata wanita itu.
"Ya ampuun ada apa ini. Ko pada nangis semua?" terdengar suara mertuanya di ruang tengah tempat anak-anak berada. Mungkin tangisan ketiga bocah tersebut sampai hingga ke rumah mereka yang hanya berjarak beberapa meter saja.
Marsudi menghentikan tamparannya. Lelaki itu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan rumah. Darsih terduduk di pojok tempat tidur, menunduk dengan airmata yang terus meleleh.
"Ini ada apa toh. Ribut kok di depan anak, sampe mereka ketakutan begitu," ibu mertuanya marah.