Putranya?Â
"Lihat lampu itu, sepertinya debu telah menggerogoti keindahannya. Jangan sampai kamu menjadi debu bagi putra saya." Wanita itu menunjuk kap lampu pijar yang tergantung di atas mereka lalu pergi meninggalkan Rhe yang bungkam seribu bahasa.
***
Rhe mengusap layar ponselnya yang selama ini tidak diaktifkan. Ada rindu yang memenuhi rongga dadanya sementara setumpuk pertanyaan menghujani pikirannya. Bila tak salah ingat hari ini adalah Jadwal kepulangan Nara, setelah satu bulan terakhir mengikuti kelas memasak di Singapura. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Apakah orang yang dikasihinya itu akan segera sadar bila ia tak lagi ada di sekitarnya? Apakah ia akan mencarinya? Apakah ia akan mengetahui keberadaannya di sini?
Meyda, semua hal bergantung padanya. Hanya Meyda lah yang tahu Rhe sekarang ada dimana dan mengapa. Karena Meyda lah yang memberinya saran untuk menyingkir sementara waktu demi kebaikannya. Ya, kebaikannya karena hal buruk satu persatu mulai mengunjunginya.
Malam itu begitu dingin, jalanan masih basah. Awan telah berhenti menangis. Rhe berjingkat di atas genangan air yang ia lalui. Nara baru saja menelpon, Rhe tidak pernah berkata sedikit pun tentang pertemuan yang ganjil dengan Ibu dari pria yang ia sayangi itu. Sebelum pergi Nara berkata bahwa sepulang dari pelatihannya, ia akan memperkenalkan Rhe dengan orang tuanya yang tinggal di kota lain. Namun rupanya rencana itu telah di dahului yang membuat dada Rhe terasa sesak. Pertemuan pertama yang ia kira akan menyenangkan malah berbalik menjadi menyakitkan.
Langkah Rhe terhenti di depan Cafe kecil milik Nara. Beberapa pengunjung masih betah berada di sana. Rhe tersenyum. Tempat mungil itu selalu memancarkan aura kehangatan. Semenjak Nara pergi, Rhe belum sempat mengunjungi Dida, Leo, Arman, Seiko, dan Marga di dalam sana. Rhe menengok jam di tangannya dan segera mendorong pintu kaca itu. Alih-alih terbuka, pintu itu tertutup kembali karena ada seseorang yang tiba-tiba meraih lengannya, membekap mulutnya dan menyeretnya menuju lorong kosong nan sepi tak jauh dari sana.
"Aku peringatkan kamu!"
Sebuah suara serak keluar dari balik bandana yang menyelubungi setengah bagian wajah orang itu dan membuat Rhe merasa sangat terancam.
Tangan kanan orang asing yang mengenakan pelindung dari kulit itu mencengkram kedua belah pipi Rhe dengan kuat.
"Bila kamu tidak menjauhi Nara, hidup kamu tidak akan pernah sama lagi!"