Malam bergelung dalam pelukan sepi. Angin bergerak lembut menyapa dedaunan yang bergelayut mesra diantara ranting-ranting pohon. Tak lama suara alam mulai bermunculan dari segala penjuru mata angin seiring dengan makin pekatnya dunia tanpa cahaya purnama lima belas. Jangkrik mengerik, anak tikus mencicit pedih kehilangan induknya. Daun-daun bambu bergemerisik saling bersentuhan satu sama lain. Embusan udara tipis menyelusup mencari kehangatan dari celah-celah jendela yang tak bisa ditutup secara sempurna.
Ini adalah malam ke lima Rhe tinggal di tempat ini. Tempat dimana ia berharap dapat melepas semua beban yang selama ini membelenggunya. Meninggalkan orang yang sangat ia kasihi demi orang lainnya. Belajar untuk melupakan semua angan yang pernah menenuhi pikirannya.
Rhe memandangi lampu pijar yang bersinar redup di atas kepalanya. Sinarnya yang suram mengingatkannya akan sebuah peristiwa yang terjadi padanya beberapa waktu lalu. Di bawah lampu pijar yang dilindungi sebuah kap bergaya vintage itu lah, awal dari segala peristiwa yang kini membawanya ke tempat ini.
***
Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu. Alisnya yang melengkung bak bulan sabit terangkat ketika ia menatap seluruh penjuru ruangan. Kerutan di sekitar matanya yang menggambarkan goresan masa yang telah ia lalui tak mengurangi wajah ayu yang masih menetap disana.
Wanita itu segera menduduki kursi kosong di samping pot berisi lidah mertua yang tumbuh menjulang melampaui tinggi meja. Tangannya mengayun ke udara. Seorang perempuan muda bersenjatakan notes dan pulpen menghampirinya.
***
Rhe menatap beberapa orang yang tengah sibuk mempersiapkan alat musiknya. Semestinya hari ini adalah jadwal Ronald dan bandnya, seperti halnya yang tertera di layar laptopnya. Namun tempat itu kini di isi oleh teman-teman Jessie. Rhe mendesah, seharusnya ini tak terjadi, tapi begitulah Meyda. Rasa sayang terhadap adik perempuan satu-satunya itu dapat mengalahkan profesionalitas bisnisnya.
***
"Kak Rhe, maaf menganggu. Itu... tante itu... "
Rhe tersenyum kepada Dewi, salah seorang pramusaji kedai kopi milik Meyda dimana ia bekerja sekarang.
"Ada apa Wi, muka kamu aneh gitu sih."
"Aduh gimana ya ngomongnya." Dewi bergumam.
"Mau ngomong apa pake susah segala." Rhe lagi lagi tersenyum menatap gadis yang tengah membawa nampan berisi satu cangkir hot espresso itu.
"Tapi kak Rhe jangan marah ya."
"Ngomong aja belum kok sudah nuduh mau marah. Ada-ada aja kamu ini."
"Tante yang pesan ini ingin kak Rhe yang bawa pesanannya kesana."
"Oh ya? Ya sudah gak masalah, sini." Rhe mengulurkan tangannya, walau ada rasa heran yang menyelubungi pikirannya.
"Tapi kak Rhe kan... Nanti pak Meyda marah lagi."
"Enggak, sini." Rhe membawa nampan itu, menuju ke meja yang di tunjuk Dewi.
"Permisi, satu cangkir hot espresso, selamat menikmati."
"Duduk." Wanita beralis bulan sabit itu berkata dengan ketus.
Rhe mengerutkan dahinya.
"Saya?"
"Iya! Siapa lagi. Di sini tidak ada orang yang berdiri selain kamu. Duduk!" perintah wanita itu dingin.
Dengan ragu, Rhe menarik kursi dihadapan wanita itu dan mendudukinya dengan perlahan.
"Kamu yang namanya Rhe?"
Rhe mengangguk pelan.
"Saya gak suka kamu dekat-dekat dengan anak saya."
Deg, Jantung Rhe seakan berhenti berdetak.
"Anak yang bodoh. Lima tahun di tinggalkan tidak membuatnya jera." Wanita itu bergumam. Rhe mengerutkan keningnya.
"Kamu tahu. Saya jauh-jauh datang ke sini, bukan untuk disuguhi drama yang tidak layak untuk dinikmati." Wanita bermata tajam itu membelai pohon lidah mertua yang berdiri kaku.
"Kamu itu siapa? Pikir baik-baik. Kamu itu tidak selevel dengan putra saya. Sampai kapan pun saya tidak akan merestui hubungan kamu dengan putra saya. Camkan itu!"
Putranya?Â
"Lihat lampu itu, sepertinya debu telah menggerogoti keindahannya. Jangan sampai kamu menjadi debu bagi putra saya." Wanita itu menunjuk kap lampu pijar yang tergantung di atas mereka lalu pergi meninggalkan Rhe yang bungkam seribu bahasa.
***
Rhe mengusap layar ponselnya yang selama ini tidak diaktifkan. Ada rindu yang memenuhi rongga dadanya sementara setumpuk pertanyaan menghujani pikirannya. Bila tak salah ingat hari ini adalah Jadwal kepulangan Nara, setelah satu bulan terakhir mengikuti kelas memasak di Singapura. Berbagai pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Apakah orang yang dikasihinya itu akan segera sadar bila ia tak lagi ada di sekitarnya? Apakah ia akan mencarinya? Apakah ia akan mengetahui keberadaannya di sini?
Meyda, semua hal bergantung padanya. Hanya Meyda lah yang tahu Rhe sekarang ada dimana dan mengapa. Karena Meyda lah yang memberinya saran untuk menyingkir sementara waktu demi kebaikannya. Ya, kebaikannya karena hal buruk satu persatu mulai mengunjunginya.
Malam itu begitu dingin, jalanan masih basah. Awan telah berhenti menangis. Rhe berjingkat di atas genangan air yang ia lalui. Nara baru saja menelpon, Rhe tidak pernah berkata sedikit pun tentang pertemuan yang ganjil dengan Ibu dari pria yang ia sayangi itu. Sebelum pergi Nara berkata bahwa sepulang dari pelatihannya, ia akan memperkenalkan Rhe dengan orang tuanya yang tinggal di kota lain. Namun rupanya rencana itu telah di dahului yang membuat dada Rhe terasa sesak. Pertemuan pertama yang ia kira akan menyenangkan malah berbalik menjadi menyakitkan.
Langkah Rhe terhenti di depan Cafe kecil milik Nara. Beberapa pengunjung masih betah berada di sana. Rhe tersenyum. Tempat mungil itu selalu memancarkan aura kehangatan. Semenjak Nara pergi, Rhe belum sempat mengunjungi Dida, Leo, Arman, Seiko, dan Marga di dalam sana. Rhe menengok jam di tangannya dan segera mendorong pintu kaca itu. Alih-alih terbuka, pintu itu tertutup kembali karena ada seseorang yang tiba-tiba meraih lengannya, membekap mulutnya dan menyeretnya menuju lorong kosong nan sepi tak jauh dari sana.
"Aku peringatkan kamu!"
Sebuah suara serak keluar dari balik bandana yang menyelubungi setengah bagian wajah orang itu dan membuat Rhe merasa sangat terancam.
Tangan kanan orang asing yang mengenakan pelindung dari kulit itu mencengkram kedua belah pipi Rhe dengan kuat.
"Bila kamu tidak menjauhi Nara, hidup kamu tidak akan pernah sama lagi!"
Orang berperawakan tinggi besar itu mendorong Rhe dengan kasar, yang membuat tubuhnya oleng lalu membentur tembok. Rhe gemetar, kakinya mendadak sulit untuk di langkahkan. Rhe merasa lemas.
***
Alih-alih mendapatkan ketenangan di rumah pakdenya, Rhe malah dibayangi dengan banyak hal yang menganggu pikirannya. Suasana desa yang sepi jauh dari keramaian tidak membuatnya merasa lebih baik.Â
Meyda baru saja pulang, ini adalah kali kedua Meyda mendatanginya di tempat ini. Bosnya itu membawakan banyak sekali barang, dari makanan, buku, CD musik, majalah, sampai novel Rhe yang baru saja terbit. Tumpukan barang-barang yang menggunung itu membuat mulut Rhe menganga.
"Kemarin mbak Dian sendiri yang datang ke kedai. Selamat ya, aku senang kedai kopi ku di jadikan setting cerita novel kamu."
"Aku yang harus berterima kasih ke kamu Mey karena telah memperbolehkan ku menulis diantara waktu kerjaku."
Meyda mengangguk dan tersenyum.
"Rhe, aku tak ingin kamu kekurangan apapun di sini. Oleh karena itu aku membawakan banyak barang yang mungkin kamu butuhkan. Bila kamu merasa telah siap untuk kembali dan menghadapi semuanya. Telpon aku ya, aku sendiri yang akan menjemput kamu." Meyda menyerahkan sebuah ponsel high end lengkap dengan kartunya.
"Ponsel ku masih berfungsi, kamu gak usah repot repot gini Mey."
"Saatnya mengawali sesuatu yang baru. Kamu gak butuh ponsel lama kamu itu. Itu hanya akan mengingatkan kamu pada hal-hal buruk." Meyda mengulurkan kembali ponsel yang ada di tangannya. Bagai kerbau di cocok hidung, Rhe menerimanya.
"Satu hal Rhe, restu orang tua adalah segalanya. Janganlah menyakiti diri kamu sendiri demi cinta yang egois."
***
Gadis berkulit sawo matang itu mengusap goresan luka di lengannya yang telah mengering. Malam ia mendapatkan luka itu adalah malam dimana ia akhirnya memutuskan sebuah hal besar dalam hidupnya.
Baru saja Nara menelepon dan meminta Rhe untuk mengurusi pembukuan yang terbengkalai. Meyda menawarkan diri untuk mengantar namun Rhe menolak dengan halus.
Tak lama berselang, ponselnya berdering. Sebuah nomor tak di kenal muncul di sana. Rhe langsung mengangkat nya tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Halo." terdengar suara serak itu.
Jantung Rhe seperti berhenti berdetak.
"Kamu keras kepala juga ya, masih saja berhubungan dengan Nara."
Rhe diam mendengarkan.
"Kamu mau tahu akibatnya apa?"
"Siapa ini?"
"Itu tidak penting, satu pesan untuk kamu, mulai detik ini berhati-hati lah." ancam suara itu.
Rhe risau, mengapa orang itu tahu dia masih berhubungan dengan Nara. Apakah ia menyadap ponselnya? Tapi bagaimana caranya? Benda itu selalu ada bersamanya. Sekeras itu kah usaha orang tua Nara untuk memisahkan mereka berdua? Sebenci itukah orangtua Nara kepadanya? Ada cerita apa di balik ini semua?
Tepat pukul 8 malam, segala urusan Rhe di cafe selesai. Ia pun bergegas pulang.
Namun, tepat di jalan depan tempat kosnya, sebuah sepeda motor yang entah datang dari mana, menyerempetnya tanpa ampun. Rhe terseret lalu terjerembab. Kepala nya membentur trotoar yang keras, dan dunianya pun gelap seketika.
***
Wajah Meyda adalah wajah yang ia lihat pertama kali. Rhe tahu ia kini berada di rumah sakit, sekujur tubuhnya terasa sakit dan perih.
"Apa yang terjadi Rhe?"
"Aku gak tahu Mey, semuanya terjadi begitu cepat."
Saat itulah Rhe menceritakan semua yang di alami nya akhir-akhir ini.
"Aku mengkhawatirkan kamu Rhe. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi ke depannya, bisa jadi akan lebih buruk."
"Kadang aku tidak mengerti dengan orang tua yang masih di sibukan dengan level dan hal-hal gak penting lain nya." lanjut Meyda sambil merapikan selimut Rhe.
"Rhe, jangan biarkan masalah ini berlarut-larut. Bertahan atau pergi. Kamu harus memilih salah satunya."
"Aku tidak meminta mu untuk lari dari masalah. Namun untuk saat ini pergi adalah jalan terbaik. Nara tidak ada di sini, aku tidak bisa melindungi kamu setiap saat. Minimal dengan pergi ke tempat yang jauh dari sini untuk beberapa saat sampai Nara kembali dapat memulihkan semua ketidaknyamanan ini." lanjut Meyda panjang lebar.
Dan disinilah ia sekarang, berteman pemadangan indah pegunungan dengan suara air pancuran yang bergemericik merdu. Tanpa dering telpon, internet yang lambat, janji dengan klien, jadwal yang padat, hiruk-pikuk kedai kopi, dan yang pasti tanpa Nara.
Ah, Nara, pria yang selalu di panggilnya dengan kakak itu adalah hal terindah dalam hidupnya. Namun keindahan itu rupanya harus dibayar dengan mahal.
***
Rhe gamang, apa yang harus ia lakukan? Meninggalkan Nara tanpa pesan. Ataukah ia harus menemuinya untuk terakhir kali?
Rhe menggeleng. Tidak, ia tidak bisa menemui Nara hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia tak akan sanggup menghadapi tatapan pria yang telah menjadi kekasihnya selama satu tahun terakhir itu.Â
Rhe tahu Nara. Ia pasti akan meyakinkannya untuk berjuang menghadapi semuanya. Rhe tidak bisa, ia terlalu lelah. Pengalaman masa lalunya telah membuktikan, bahwa restu orang tua adalah segalanya. Walau terasa sakit, ia harus menetapkan hati bahwa keputusan yang ia ambil adalah yang terbaik baginya dan bagi Nara.
Waktu berjalan lambat di tempat yang indah ini. Rhe melirik novelnya yang tergeletak di atas meja bertaplak kain batik. Tiba-tiba ia teringat kepada mbak Dian. Ia belum mengucapkan terimakasih kepadanya atas semua yang telah wanita itu lakukan untuknya. Rhe menyalakan ponsel pemberian Meyda. Ditekan nya nomor telepon dimana mbak Dian berkantor.
"Rhe? Kamu dimana sayang? Aku mencari kamu kemana-mana. Kata pak Meyda, kamu sedang titirah ke negeri antah-berantah, benar begitu?"
"Gak antah-berantah juga kali mbak. Sedang cari inspirasi." Rhe tertawa walau dalam hatinya getir.
"Oh iya, kebetulan sekali kamu telpon, memang jodoh ya kita. Besok ke Kantor ya, ada yang harus kamu tanda tangani dan kita bicarakan. Penting, gak ada tapi ya."
"Hmm tapi..."
"Eits, tadi aku bilang apa, gak ada tapi."
Setelah berargumentasi kesana kemari, akhirnya Rhe mengiyakan juga. Mbak Dian memang pantang di tolak. Ada rasa sesal di hati Rhe, bila tahu akhirnya begini, ia tak akan menelpon wanita itu.
Seperti biasa, mbak Dian sedang berada di ruangannya yang nyaman. Tanpa ragu Rhe mengetuk pintu.
"Masuk sayang." teriak mbak Dian semringah.
Namun kali ini mbak Dian tak sendiri, dari ujung matanya Rhe melihat ada seseorang yang tengah duduk santai di sofa yang terletak di sudut ruangan.
"Dicariin fans." Mbak Dian tersenyum lalu meninggalkan ruangan. Rhe menoleh dan kaku di tempat.
"Kakak?"
Wajah Nara terlihat kusut. Ia segera menghampiri Rhe.
"Satu minggu ini perasaan ku tak keruan. Aku telpon, ponsel kamu tidak aktif. Semua yang aku hubungi tidak tahu keberadaan kamu. Saat aku pulang, kamu tidak terlihat di mana pun. Meyda hanya bilang bahwa kamu sedang ada urusan keluarga. Mbak Dian bilang kamu sedang titirah, mana yang benar?"
"Aku..."
"Rhe, dari awal kita sudah sepakat bahwa kita harus saling berbagi dalam segala hal. Kamu masih ingat kan?"
Rhe mengangguk.
"Lantas mengapa kamu jadi ilang-ilangan gini? Pergi tak tahu rimbanya."
"Aku mencemaskan kamu. Aku tidak akan memaafkan diri ku sendiri bila terjadi sesuatu dengan kamu."
"Maafkan aku. Kakak jangan marah-marah seperti ini. Aku memang salah. Tapi untuk saat ini aku belum bisa menceritakan semuanya. Aku perlu waktu."
Nara tersenyum.
"Maaf kan aku juga ya, aku gak bisa selalu ada di samping kamu. Aku akan tunggu cerita kamu karena kita mempunyai banyak waktu. Tapi untuk saat ini waktu kita terbatas, yuk." Nara menarik tangan Rhe dan menggengam erat jemarinya.
"Kita mau kemana?"
"Ada kejutan buat kamu."
Genggaman tangan Nara selalu membuat Rhe nyaman. Entah mengapa, semua persoalan yang tengah membelit hatinya tiba-tiba menguap begitu saja bila ada Nara di sampingnya.
"Nah, itu mereka?"
"Siapa?"
"Orang tua ku."
Rhe terkejut, mendadak sontak ia menghentikan langkahnya, badannya gemetar, hatinya seakan terpelintir.
"Kamu kenapa? Yuk, waktu kita gak banyak. Mereka harus segera ke bandara."
"Aku.. aku... belum siap kak."
Nara tertawa.
"Memangnya kamu mau ikut ujian apa? harus siap-siap segala."
"Rhe, mereka ingin bertemu kamu. Sudah lama mama minta aku membawa kamu ke rumah tapi aku belum bisa karena kita sama-sama sibuk."
Kami sudah bertemu.
"Ayolah." Nara menarik tangan Rhe yang masih ada dalam genggamannya.
Bila saja mungkin, Rhe ingin pergi dari sana. Namun itu semua tak mungkin, karena Mama Nara yang tadinya duduk membelakangi mereka kini telah membalikan badannya dan memergoki Rhe yang tengah berdiri tak berdaya.
"Rhenata? Mama senang sekali bisa berjumpa dengan kamu, Nak. Sayang sekali kami tidak bisa lama-lama di sini. Karena Papa masih banyak urusan."
Wanita itu langsung memeluk, mencium pipi kanan dan kiri Rhe dengan lembut. Bagaikan terkena totok raga, Rhe berdiri kaku. Lalu ia mulai mencari, namun ia tak menemukan alis bulan sabit di wajah wanita yang kini menatapnya tanpa jeda itu.
***
Tubuh Rhe remuk-redam karena lelah namun itu semua terobati oleh pertemuan yang menyenangkan dengan kedua orang tua Nara. Giliran kepalanya yang kini terasa berat karena masih di penuhi teka-teki.
Langkah Rhe terhenti di depan pintu cafe, matanya tertuju pada dua orang wanita yang tengah menikmati makan malam sambil berbincang seru.
"Jessie?" Rhe mendesis.
"Ya, Jessie. Kenapa? Muka kamu kok kayak kena tampar orang gila gitu sih." Nara berkelakar.
"Beberapa bulan ke belakang Jessie memang sering kemari, setiap siang menjelang sore, entah mengapa. Padahal kurang nyaman apa kedai kopi kakaknya." Terang Nara ringan.
Rhe menggigit bibirnya.
Mungkin itu karena kamu, kak.
"Lantas siapa wanita itu?"
"Itu Mamanya. Lima tahun ke belakang Mama nya tinggal di Australia bersama seluruh keluarga kecuali Meyda. Rupanya sekarang Meyda dan mamanya sudah akur."
"Akur?"
"Yap."
"Karena apa?"
"Biasa. wanita. Mamanya gak suka kalau si Mey itu pacaran dengan perempuan yang menurut mamanya gak selevel dengan mereka."
"Loh kita kok jadi ngobrol di depan pintu, yuk masuk." ajak Nara.
"Kakak duluan deh aku mau ke mini market dulu."
Nara mengangguk. Namun Rhe tak beranjak dari tempatnya. Ia memperhatikan apa yang tak ingin ia perhatikan.
Begitu melihat Nara, Jessie langsung menghampirinya, menarik lengannya, dan membawanya ke meja dimana wanita beralis bulan sabit itu duduk.Â
Dari gesturnya Jessie memang terlihat menyukai Nara. Lalu pikiran Rhe berkelana, ia mulai menyusun kepingan puzzle satu demi satu sampai menjadi sebuah bentuk. Setelah ia merasa apa yang di lihatnya cukup, ia pun menjejakan kaki nya dengan mantap, menghampiri meja dimana Nara tengah di berondong pertanyaan tentang kelas memasaknya.
"Malam semua." Rhe menyapa ramah.
"Sudah belanjanya? Kok gak bawa tentengan?"
"Ada dalam tas, Kak." Rhe berbohong.
Mendadak Jessie bagai melihat hantu, wajahnya pucat pasi. Sedangkan Mamanya terlihat terkejut melihat Rhe.
"Loh, kamu kok ada di sini? Kamu adiknya Nara? Loh Jess?" Wanita beralis bulan sabit itu terlihat kebingungan.
Sebelum makin banyak pertanyaan yang akan muncul dari bibir Mamanya, Jessie lebih dulu menarik lengan Mamanya lalu tergesa pergi. Nara terlihat kebingungan dan menatap Rhe meminta penjelasan, Rhe menyerah.
***
Sore itu kedai kopi Meyda terlihat ramai. Rhe Melambai kepada Ronald yang tengah mengutak-atik gitar akustiknya sedangkan Meyda seperti biasa, duduk di kursi favoritnya, menikmati satu mug besar kopi spesialti Kintamani sambil memandangi lalu-lalang orang di luar kedai kopinya.Â
Tubuhnya yang tinggi besar terlihat memenuhi meja dan kursi mungil yang ia tempati. Sebuah helm hitam dan sarung tangan kulit tergeletak di meja yang berhias pot pohon kaktus itu.
Rhe menatap nanar sarung tangan kulit itu. Dengan hati-hati ia menarik kursi dan duduk di hadapan Meyda. Demi melihat Rhe, Meyda terperanjat. Tatapannya melayang ke seluruh penjuru ruangan, lalu ia pun menghembuskan nafasnya panjang.
"Aku kembalikan ini. Terima kasih." Rhe mendorong ponsel yang ia letakan di meja ke arah Meyda.
"Itu milik kamu Rhe, hadiah dari ku." Meyda mendorong ponsel itu ke arah Rhe.
Rhe melirik bandana yang melingkar di pergelangan tangan Meyda sambil mendorong ponsel itu kembali.
"Sudah cukup Mey, aku tak ingin kamu memberiku apa-apa lagi. Akhir-akhir ini kamu telah memberiku banyak sekali hadiah yang tak ku inginkan. Aku sangat menghargai semua peluh yang telah kamu keluarkan demi kebaikan ku."
"Aku memberi dengan tulus, Rhe."
Rhe menarik nafasnya berat dan menghembuskannya perlahan.
"Jessie sudah besar Mey, dia harus belajar mengatasi keinginannya tanpa bantuan kamu."
Kedua orang yang tengah terbelit persoalannya masing-masing itu saling bertatapan, lama, melebihi waktu yang biasa Meyda gunakan untuk membuat sebuah latte art di cangkir kopi pelanggannya.
"Ah, kamu sudah tahu." Nada suara Meyda terdengar muram.
"Maaf kan aku Rhe, Aku terpaksa. Aku... "
"Aku mengerti Mey, tapi Apakah harus dengan kekerasan?"
"Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Itu cara cepat yang bisa aku lakukan. Aku sangat mengenal mu. Aku tahu semua ketakutan-ketakutanmu. Aku tahu kelemahanmu. Aku menyayangi Jessie Rhe. Aku lakukan ini untuk membayar semua kehilangan yang Jessie rasakan atas aku selama ini. Aku tidak bisa menjadi kakak yang baik karena tidak pernah ada di sisinya."
"Walau berat tapi aku tak punya pilihan. Maafkan atas luka yang kamu dapat. Aku tidak bermaksud sampai sejauh itu. Jessie sangat menyukai Nara. Aku hanya ingin Jessie bahagia."
"Lantas demi kebahagiaan Jessie kamu mengorbankan aku? Pegawai rendahan kamu ini? Memperlakukan ku seenak perut kamu demi menutupi rasa bersalah kamu terhadap adik kamu? Apa bedanya kamu dengan Mama kamu yang telah memisahkan kamu dengan orang yang sangat kamu cintai lima tahun yang lalu itu Mey?" Rhe naik darah.
Meyda terperanjat mendengar apa yang baru saja Rhe katakan.
"Bukan begitu Rhe, Aku... "
Rhe memotong kalimat Meyda yang menggantung.
"Satu hal Mey, kalian sudah keterlaluan, memperalat Mama kalian sendiri demi satu tujuan yang mungkin beliau tidak ketahui?"
"Aku tidak tahu tentang hal itu. Itu Jessie. Aku baru tahu ketika dia bercerita padaku keesokan harinya." Sahut Meyda lemah.
Meyda menunduk dalam sambil memainkan mug kopinya.
"Lalu dengan terpaksa kamu ikut bermain di dalamnya, untuk membayar rasa bersalah kamu terhadap Jessie ?"
Meyda diam.
"Mey, aku sangat menghormati kamu sebagai atasan ku. Aku mencintai pekerjaan dan kedai kopi ini. Tapi aku tidak bisa berada di sini lagi. Aku harus pergi."
Meyda mengangguk.
"Aku tahu. Walaupun aku tak ingin kamu pergi."
"Semua pekerjaan telah aku bereskan. Terima kasih dan Selamat tinggal, Mey."
***
Nun jauh di sana, Jessie meraung dan membasahi pangkuan mamanya dengan air mata. Sementara sang Mama berbicara kepada putranya lewat saluran telpon.
"Sampaikan permintaan maaf Mama kepada Rhe dan Nara."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H