Mohon tunggu...
ida widiastuti
ida widiastuti Mohon Tunggu... Pustakawan - sedang belajar menulis jejak

Ketika Mulut Berganti Pena, Ketika Bicara Berganti Tinta. Pergi di 2015 ....kembali di 2022. Hampir sewindu berkelana.. meski terkaget dengan tampilan kompasiana 4.0 . Kini aku pulang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelakiku: Janji Hatiku

4 Agustus 2022   12:51 Diperbarui: 4 Agustus 2022   13:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

November tanggal 15

Menjelang malam. Di saat matahari menetap dalam sunnahnya, membagi kehangatan untuk belahan bumi lain. Di saat terdengar sayup tadarus dari langgar. Alunannya seperti ritme indah yang menetes pelan,  merelung dalam hati. Terkadang membawa rasa gemuruh yang hebat.

“Fabiayyi alla irrabbikumma tukadziban...” lirih aku mengulang-ngulang ayat ini. Tangis yang menghangat di pipi. Rabbi...nikmat mana yang telah kudustakan darimu? ...

Aku. Lahir dari ibu penyayang. Engkau beri kesempatan pendidikan sampai kuliah, betapapun untuk itu Bapak harus menjual sawah warisan satu-satunya. Engkau beri hamba kesempurnaan fisik diantara sekian banyak mereka yang Engkau uji dengan keterbatasan. Engkau beri  hamba kesehatan, meskipun kadang rasa syukur itu sering terlupa. Dan Engkau Ya Rabb memberi hamba seorang suami diantara sekian banyak mereka yang menanti... di ke 23 tahun usiaku. Pelan ku usap aliran hangat di pipi itu, memejam pelan kuhembuskan nafas. Aku seorang perempuan kuat. Masih sayup dzikir itu... menjelang malam sebelum Isya.  Kulafalkan dzikir sore...ayat demi ayat...menghangat dalam kepasrahan, keberterimaan yang menenangkan.

Jam 8 malam tepat. Semakin dekat kepulangan suamiku. Kebereskan semua. Menata rumah dengan rapi, menyiapkan makanan dan baju tidurnya. Aku melihat sekeliling kamar tidur, memastikan semuanya rapi.

Di depan cermin aku berdiri. Melihat seorang perempuan muda yang kuyu. Mencoba tersenyum. Apakah aku cantik? Batinku. “bagaimana tadi di kantor A[1]?” di depan cermin itu pelan kuucapkan, memantaskan dengan sedikit senyum. Ah..masih terasa kaku.  Mungkin lebih baik diam. Rabb ini ikhtiarku untuk yang terbaik. Demi menghindar jawaban dingin yang terlontar darinya. Suatu saat sepulang kantor bergegas ku bawa tas “cape..A?” tanyaku lirih berupaya empati. “Ya Iyalah namanya juga kerja tentu cape” jawabnya datar. Di lain waktu kutanya” kok sampai malem A?” di jam 9 malam, 4 jam lewat dari jam pulang seharusnya. “ Banyak urusan!!”  jawabnya lurus dan datar. Kuingat sederet pertanyaan yang berakhir dengan jawaban datar atau paling tidak, didiamkannya tanpa respon. Wajahnya mengeras, dingin, tanpa senyum. Aku salah dan salah lagi batinku. Ah..suamiku sekeras itukah di luar sana? Sehingga senyumku, upayaku menghiburmu, semua persiapan yang kuusahakan bagimu seperti tiada artinya bagimu. Engkau seperti batu karang di lautan, gagah pemecah ombak yang dahsyat, tapi terkadang begitu asing bagiku. Seperti udara dingin yang menjanjikan kesejukan, tapi dinginmu menusuk sampai ke tulangku. Seperti matahari yang menjajikan kehangatan, tapi panasmu terlalu  terik bagiku. Engkau perlahan membawaku pada dunia yang asing, sendiri, dan sepi. Dan kita seperti dua asing yang terpaksa berjalan menyusuri hidup  dalam kesempurnaan. Sempurna menjadi sosok asing satu sama lain di waktu yang singkat. Di sebulan setelah engkau berjanji menjadi imam dalam hidupku. 

 

 

***

 

 “Udahlah ga usah ngebahas itu lagi..itu lagi...!” bentaknya sesaat seletah aku minta pendapatnya mengenai keinginanku untuk silaturahim dengan orang tuaku. Aku tertunduk tidak berkutik. Melihat punggungnya yang segera membelakangiku yang duduk terdiam.

 

“Tapi A, inilah kesempatan kita bicara. Kita hampir tidak punya waktu untuk berkomunikasi.  Selesai sholat shubuh AA tidur lagi. Jam 7 AA udah berangkat kerja, pulang jam 9 malam. Terkadang jam 11 malam AA baru tidur, tapi itupun setelah menonton TV dalam diam. Atau AA sibuk dengan HP yang selalu AA bilang wilayah pribadi  AA” Protesku. Tapi tentu saja semua kata-kakta itu kutelan dalam hati. Aku masih tertegun, semua tercekat dalam tenggorokanku. Jangan nangis batinku. Kamu perempuan kuat yang menyayangi suamimu. Tapi pada akhirnya mataku memanas, dan buliran itu menetes pelan. Tanpa dia tau. Ah..apakah aku benar-benar seorang perempuan yang kuat?...

 

Dan malam itu seperti beberapa malam lainnya kulewati dalam diam. Pelan setelah kuselimuti suamiku yang terlelap. Melihatnya dan pelan mengamatinya. Wajah itu sebenarnya teduh...tapi terkadang membuat takut. Pelan kurebahkan tubuhku disampingnya. Dengkurnya yang halus seperti irama di keheningan, memasukanku dalam pusaran sepi. Kenapa? Batinku. Bukankan kami pasangan yang baru menikah? Aku teringat dengan beberapa buku tentang pernikahan yang kubaca. Masa-masa awal pernikahan adalah masa – masa dimana banyak dirasakan manis. Orang banyak menyebutnya bulan madu. Di saat – saat penyesuaian dua asing bertemu, dua kebiasaan, dua sifat, dua karakter, dua keinginan, yah...dua kehidupan yang sebelumnya asing satu sama lain. Namun di saat itu menjadi indah karena semua perbedaan itu direkatkan dalam cinta yang luhur, suci, dan berkah. Sehingga akan  penuh getaran emosi yang manis, romantika yang berkesan untuk kehidupan selamanya.

 

Dulu aku pernah berangan memiliki pasangan yang memahamiku. Seseorang yang mau mengejarku ketika naluri kanak-kanaku muncul dalam marah, atau merajuk. Seseorang yang mau mengalah demi senyumku, seseorang yang setiap hari menyapaku dan menghujaniku dengan kata-kata mesra.

 

Sementara saat ini? Aku memiliki kehidupan yang jauh dari bayanganku. Tidak ada cerita romantis yang ku dapatkan. Semua cerita indah awal pernikahan seperti hilang hanya beberapa hari setelah pernikahan. Ah...seketika mataku memanas, aku membalikan badan. Buliran bening yang tidak bisa ku tahan, kutangkupkan tangan ke mulutku, tak ingin tangis ini diketahuinya.Duh Rabbi....

 

***

 

 

“ Mawaaarrr...” suara suamiku agak mengeras. Pasti ada sesuatu yang salah! Dari Dapur Aku bergegas  secepat mungkin menghampirinya. Tak ingin menambah kesal lagi dirinya.

 

“Ada apa A?” tanyaku.

 

“Bukankan sudah ku bilang. Jangan pernah memindahkan berkas-berkas kantornya AA. Biarkan saja karena kalau dipindah-pindah malah bingung nantinya. Dan satu lagi tas yang biasa AA  bawa jangan sampai dibuka-buka ya!” serunya

 

“Afwan, tadi karena terlihat berantakan sekali A!” aku tercekat tidak berani menatapnya.

 

“Yah sudah...nanti juga AA pulang malem lagi” tambahnya mengakhiri .

 

Aku perlahan kembali ke dapur. Sangat ingin sebenarnya bertanya, kenapa harus malam lagi, apa ada lembur kah? Apa lagi sesibuk itu di kantor kah? Tidakah dia berpikir tentang aku? Perasaanku? Keinginanku? Aku menelan semua pertanyaan itu.

 

Dan pagi itu setelah sarapan. Menjelang keberangkatan suamiku. Aku memberanikan diri.

 

”A, hari ini apa boleh mawar ke rumah ibu? Nanti malam ibu ketempatan pengajian di rumah, maunya bantu-bantu ibu ” mintaku lirih, pelan mengamati reaksi suamiku. Beberapa saat aku menunggu jawabnya. Melihatnya membenarkan posisi spion motor dan beberapa berkas bawaannya.

 

“ Kok nggak ngomong dari semalam?” tatap sumiku. Aku tercekat, bagamana bisa? Belum sempat membahasnya dia sudah membelakangiku. Aku terdiam.

 

“Yah sudah, tapi sore dah pulang yah!” lanjutnya. Aku mengangguk.

 

Tiba-tiba...tanpa terduga dia berdiri tepat di depanku. Dia menatapku dan membuatku kikuk.

 

“afwan ya!” suaranya lirih. Senyumnya manis.Indaaaah sekali. “Afwan ga bisa nemani, dan terima kasih untuk kesabaranmu selama ini yah! Aa pergi dulu” Dikecupnya keningku, Dipeluknya aku erat, begitu hangat, pipiku merona. Aah...semua lelah itu hilang dalam sekejap.

 

“Heh..kok ngelamaun” suara berat itu mengagetkanku. Bersamaan dengan hilangnya suamiku yang mendekapku. Seperti kilatan cahaya. Kehangatan itu pun menghilang dengan sekejap. Mataku mengedip. Terkaget.  Tersadar semua itu hanya...... imaji.   Kulihat suamiku mengulurkan tangannya, persis didepan  hidungku. Dia menggoyangkannya, pertanda aku harus segera menciumnya.

 

Aku segera mencium tangannya. “hati-hati ya A!” pelan dan kikuk kuucapkan. Dan tanpa menjawabnya suamiku segera menyetarter sepedanya. Kemudian bersegara pergi, melaju dengan pasti, meninggalkanku berdiri menatap punggungnya yang kemudian menghilang di dibelokan jalan itu.  Angin pagi di jam 7, halaman depan rumah yang basah, buliran bening sisa hujan di atas dedaunan itu, beberapa perlahan menetes tersentuh angin, beberapa bertahan menunggu giliran. Kepejamkan mata, perlahan kurasakan sentuhan lembut angin di pagi itu, sejuk menyentuhku, kubuka mataku perlahan, menengadah ke atas. Ku lihat langit biru yang indah, meluas, beberapa dihiasi awan beiring putih lembut. Di sebuah desa di kaki Gunung Cikuray. Semua menetap dalam sunnahnya, berpasrah dalam ketentuannya. Yaa Rabb...nikmatmu mana yang telah kudustakan darimu?

 

***

 

 

Rumah ibu hanya tiga perempat jam dari rumah dengan naik kendaraan umum. Dua kali naik angkutan kota. Jam 09.15 pagi, baru saja turun dari angkutan pertama. Suara nyaring mengagetkanku.

 

“Dek..Mawar ya?” aku menoleh mencari sumber suara. Seorang ibu muda cantik. Tapi sungguh aku lupa dimana pernah mengenalnya.

 

“Saya Sarah, Istri temennya Dek Marwan. Waktu manten, saya kan datang, lupa Ya!” serunya bergegas, memaksaku mengingat beberapa wajah yang memang baru ku kenal. Diantara sekian temannya suami hanya beberapa saja yang kukenal. Tidak sampai menghabiskan lima jari. Apalagi isterinya... . Dan wanita muda ini mulai kuingat karena logat jawanya yang khas.

 

“Oh yaa...Mbak Sarah!” seruku.

 

“Mau kemana Mbak?” tanyaku.

 

“Ah..biasa, ada beberapa keperluan ndek! Oh ya sekarang Dek Marwan kerja dimana? “ tanyanya. Aku sejenak bingung. Bukannya sekantor sama suaminya. Kok masih nanya.

 

“Oalah..ndek..mbak waktu denger kabar dari suami yo..bhagai petir di siang bolong toh. Ko yaoo.. yang di PHK itu termasuk suami Mbak Sarah. Apalagi Mbak ga bisa bayangkan Dek Marwan sama sampean kan baru nikah. Ko yooo kebangetan manajemen nya ya!” suaranya berapi-api. Meluap-luap, tidak menyempatkanku untuk bertanya.

 

Aku Kaget. Bingung dan Nggak mengerti. Aku perlahan membawa Mbak sarah bergeser dari trotoar dan mendekat ke sebuah Toko. Jantungku mulai berdegup kencang!

 

“Untungnya ndek..suami mbak,  ketemu temennya yang kerja dipertambangan Purwakarta. Dan butuh tenaga Administrasi katanya. Sekarang Alhamdulilah sudah 4 hari kerja di sana, Tapi Ya gitu katanya  baru bisa pulang setiap akhir pekan” sambungnya bersemangat.

 

“Bentar..bentar ... Mbak,...maksudnya Mbak Sarah. Beberapa karyawan di kantor suami di PHK termasuk A Marwan?” tanyaku gugup.

 

“Lho..iya. Kok Ndek Mawar..koyo kaget toh ndek” tanya Mbak Sarah bingung.

 

“Apa sampean belum di kasih tau toh dek?” tanyanya memelan menangkupkan tangan kemulutnya.

 

Aku menggeleng. Diam tertunduk.

 

“Aduh..aduh....maaf ya ...” aku melihat rasa ga enak di wajah Mbak Sarah.

 

“Ga apa-apa Mbak...” lirih aku coba tersenyum. Mbak Sarah memegang tanganku pelan. Tanpa suara dia mengatakan maaf. Aku mengangguk. Dan tidak lama setelah itu kami berpisah. Dalam rasa yang tidak enak. Sangat!

 

Rabbana...aku tertegun sejenak setelah kepergian Mbak Sarah. Berita itu begitu saja datang. Terbayang beberapa potongan, saat suami sibuk mempersiapkan pekerjaannya di kantor, menyikat sepatunya sampai mengkilat, saat aku mengantarkannya ke sepeda, melihatnya pergi setiap pagi...setiap hari. Tiba-tiba dadaku sesak. Ah..suamiku.....kenapa?

 

Dan hari itu kulalui dengan hampa, beberapa kali ibu bertanya kenapa. Aku mencoba tersenyum. Meyakinkannya tidak terjadi apa-apa. Begitu sore, aku segera bergegas pulang. Aku ingin berlari, segera bertemu dengannya. Menunggunya, mempersiapkan makanan kesukaanya, merapikan rumah. Aku ingin suamiku tau, betapa aku menyayanginya. Betapa aku peduli padanya!

 

***

 

Deru suara motor itu begitu khas ditelingaku. Jam 8 malam. Aku segera bergegas menyambutnya. Ku sapa dengan senyum. Senyum termanis yang kupunya. Sekilas suamiku menatapku. Sedikit tersenyum kikuk.  Segera kuambil tasnya. Mengikutinya masuk rumah kontrakan mungil itu. Biasanya dia duduk di kursi depan. Aku segera menghampirinya, kubuka jaketnya yang baru saja mau dia buka. Dengan heran menatapku, dia terdiam. Setelah jaket. Aku segera merunduk di bawah kakinya, ku buka kaos kakinya. Aku tidak berani menatap suamiku ketika itu. Yang ku tahu pasti dia heran. Membuka jaket dan kaos kaki  biasa  dilakukkannnya sendiri.

 

“Mau mandi dulu apa makan A?” tanyaku lembut.

 

“Bentar mandi aja dulu” sahutnya datar.

 

Saat makan tiba. Aku melihatnya makan dengan lahap. Pelan mengamatinya. Ada gurat keras di keningnya, aku mulai merasakan ada beban yang selama ini dipendamnya. Dan baru kusadari setelah peristiwa siang tadi.

 

“Bagaimana tadi di kantor A? “ pelan kubuka percakapan.

 

“Euuu..ehm..baik..biasa aja..” jawabnya canggung Ah aku mulai yakin yang disampaikan Mbak Sarah benar. Bahwa suamiku sudah di PHK. Tapi aku harus memastikannya.Aku hanya mengangguk-angguk.

 

“Bagaimana di rumah ibu tadi..? “ tanyanya pelan. Aku segera menjawabnya dengan semangat. Kuceritakan semua. Terkecuali pertemuanku dengan Mbak Sarah. Dengan senyum termanis kuakhiri ceritaku. Dan saat itu aku tau dengan tepat dia sekilas menatapku. Entah apa yang dirasakannya.

 

Seperti biasanya, tidak banyak percakapan yang terjadi. Suamiku segera beristirahat. Aku menatapnya seperti biasa. Tidurnya yang segera pulas. Suamiku lelah..batinku. Perlahan aku meninggalkannya. Inilah kesempatanku memastikan berita itu. Dengan sangat hati-hati aku membawa tas yang belum pernah sedikitpun aku buka.

 

Dengan sangat perlahan aku membuka tas itu di ruang tamu. Isinya beberapa map. Satu- per satu aku membukanya.  Surat lamaran! Beberapa surat lamaran dan CV. Ku rogoh saku kecil di depan tas itu. Satu amplop putih agak lusuh. Dengan antusias aku membukanya. Membacanya dengan seksama..

 

Kepada Marwan Hamdani. ....Saudara diberhentikan dengan hormat...... Dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas pengabdiannya selama ini...... 

 

Beberapa potong kalimat itu kuulangi dengan jelas. Setelah memahami perusahaan tempat bekerjanya mengalami krisis dan harus melakukan rasionalisasi pegawai. Pilihan yang berat yang harus dilakukan. Ah...aku menangkup kertas itu di dadaku..Mbak Sarah benar. Aku memejamkan mata. Ada perasaan yang menyeruak dalam hatiku. Bukan sedih karena suami di PHK. Bukan!!...

 

***

 

Malam mendingin di awal Desember. Hujan yang  menghiasi di siang dan malam. Karena cintaNYA malam menjadi tempat peraduan di saat lelah. Lelah berjalan dalam putaran hidup yang terus bergerak. Melingkar. Kadang terasa pelan, kadang terasa cepat. Malam menjadi pelindung jiwa dari kelelahan. Di sepertiganya. Di saat cintaNYA begiiiiiitu dekat. Dan aku selalu merindukan saat-saat itu. Saat kening tersungkur di atas sajadah. Saat mengadukan semua peran yang kusandang. Saat tangan yang lemah ini tak sanggup mengurai hidup yang terkadang sulit ....

 

Jam 2.30 pagi aku terbangun. Alhamdulillah Rabbi. Engkau membangunkanku untuk jamuan malamMU. Aku melihat ke samping. Ku kucek mataku sekali lagi. Kemana A Marwan? Aku segera terbangun. Perlahan meninggalkan tempat tidur. Ah mungkin ke kamar mandi....batinku.

 

Perlahan aku menyeret kakiku ke luar kamar.  Sayup aku mendengar suara itu.  Dari kamar sebelahI!!

 

Suaranya  lirih. Aku mendekat.....seorang laki-laki tertunduk, bahunya terguncang-guncang pelan, doanya sayup kudengar. Ah..suamiku!!

 

Perlahan aku semakin mendekat. Teramat pelan. Aku tak ingin dia mengetahui keberadaanku.

 

“...Yaaa Rabb..ampuni hamba atas segala khilaf. Rabbana jangan engkau adzab kami atas kesalahan-kesalahan kami, namun ampunilah kami, sayangilah kami, berikanlah kami petunjuk yang lurus...Rabbi...maafkan hamba yang belum bisa membahagiakan...isteri hamba..”

 

suaranya tercekat. Badannya terguncang, tangisnya menghebat. Dan mataku pun mulai memanas. Bulir bening yang tak sanggup ku tahan. Keharuan yang teramat....

 

Aku tersungkur persis di depan punggungnya. Suamiku tersadar. Aku memeluknya erat dari belakang. Sangat erat.

 

“Sayang..aku mencintaimu karena Allah...” suaraku lirih tercekat. Tangis yang tidak bisa ku bendung.

 

Perlahan dia mengurai pelukanku. Membalikan badannya. Matanya sembab...aku tertunduk. Buliran bening itu masih berkejaran...

 

“Mawar...” suaranya pelan “Lihat AA...” dia menegakan daguku. Menatapku lekat. Aku menatapnya. “Maafkan AA selama ini... maaf sudah mengabaikanmu selama ini... maaf membuatmu menderita..maaf karena suamimu ini belum bisa membahagiakanmu..” suaranya memelan.

 

“Mawar...maafkan AA...sebenarnya... “suaranya tercekat.

 

“A..Mawar sudah  tau..” aku mengangguk meyakinkannya bahwa aku sudah memaafkannya. Dia menatapku kaget.

 

“Mawar..ketemu Mbak Sarah kemarin siang..dia cerita semuanya” lanjutku  dalam isak tangis yang mulai mereda. Aku menatapnya lekat. Kami bertatapan dalam diam. Aku melihat bulir bening diujung matanya. Perlahan menyusuri pipinya. Dan tiba-tiba..... dia mendekapku erat. Teramat sangat erat...Dikecupnya keningku lembut...kupejamkan mataku..merasakannya. Dalam diam aku mulai memahaminya. Suamiku...engkau jaga supaya aku tidak terbebani dengan masalahmu, engkau tidak ingin aku terluka, .engkau tidak ingin aku menderita...dengan caramu. Ah...ada damai di sana....

 

Ada janji dalam hati…seberat apapun masalah hidup ini, aku akan bersamamu…

 

Di kehidupan kita bersamaNYA.

 

 

 

  • __ end  __

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun