“afwan ya!” suaranya lirih. Senyumnya manis.Indaaaah sekali. “Afwan ga bisa nemani, dan terima kasih untuk kesabaranmu selama ini yah! Aa pergi dulu” Dikecupnya keningku, Dipeluknya aku erat, begitu hangat, pipiku merona. Aah...semua lelah itu hilang dalam sekejap.
“Heh..kok ngelamaun” suara berat itu mengagetkanku. Bersamaan dengan hilangnya suamiku yang mendekapku. Seperti kilatan cahaya. Kehangatan itu pun menghilang dengan sekejap. Mataku mengedip. Terkaget. Tersadar semua itu hanya...... imaji. Kulihat suamiku mengulurkan tangannya, persis didepan hidungku. Dia menggoyangkannya, pertanda aku harus segera menciumnya.
Aku segera mencium tangannya. “hati-hati ya A!” pelan dan kikuk kuucapkan. Dan tanpa menjawabnya suamiku segera menyetarter sepedanya. Kemudian bersegara pergi, melaju dengan pasti, meninggalkanku berdiri menatap punggungnya yang kemudian menghilang di dibelokan jalan itu. Angin pagi di jam 7, halaman depan rumah yang basah, buliran bening sisa hujan di atas dedaunan itu, beberapa perlahan menetes tersentuh angin, beberapa bertahan menunggu giliran. Kepejamkan mata, perlahan kurasakan sentuhan lembut angin di pagi itu, sejuk menyentuhku, kubuka mataku perlahan, menengadah ke atas. Ku lihat langit biru yang indah, meluas, beberapa dihiasi awan beiring putih lembut. Di sebuah desa di kaki Gunung Cikuray. Semua menetap dalam sunnahnya, berpasrah dalam ketentuannya. Yaa Rabb...nikmatmu mana yang telah kudustakan darimu?
***
Rumah ibu hanya tiga perempat jam dari rumah dengan naik kendaraan umum. Dua kali naik angkutan kota. Jam 09.15 pagi, baru saja turun dari angkutan pertama. Suara nyaring mengagetkanku.