“Tapi A, inilah kesempatan kita bicara. Kita hampir tidak punya waktu untuk berkomunikasi. Selesai sholat shubuh AA tidur lagi. Jam 7 AA udah berangkat kerja, pulang jam 9 malam. Terkadang jam 11 malam AA baru tidur, tapi itupun setelah menonton TV dalam diam. Atau AA sibuk dengan HP yang selalu AA bilang wilayah pribadi AA” Protesku. Tapi tentu saja semua kata-kakta itu kutelan dalam hati. Aku masih tertegun, semua tercekat dalam tenggorokanku. Jangan nangis batinku. Kamu perempuan kuat yang menyayangi suamimu. Tapi pada akhirnya mataku memanas, dan buliran itu menetes pelan. Tanpa dia tau. Ah..apakah aku benar-benar seorang perempuan yang kuat?...
Dan malam itu seperti beberapa malam lainnya kulewati dalam diam. Pelan setelah kuselimuti suamiku yang terlelap. Melihatnya dan pelan mengamatinya. Wajah itu sebenarnya teduh...tapi terkadang membuat takut. Pelan kurebahkan tubuhku disampingnya. Dengkurnya yang halus seperti irama di keheningan, memasukanku dalam pusaran sepi. Kenapa? Batinku. Bukankan kami pasangan yang baru menikah? Aku teringat dengan beberapa buku tentang pernikahan yang kubaca. Masa-masa awal pernikahan adalah masa – masa dimana banyak dirasakan manis. Orang banyak menyebutnya bulan madu. Di saat – saat penyesuaian dua asing bertemu, dua kebiasaan, dua sifat, dua karakter, dua keinginan, yah...dua kehidupan yang sebelumnya asing satu sama lain. Namun di saat itu menjadi indah karena semua perbedaan itu direkatkan dalam cinta yang luhur, suci, dan berkah. Sehingga akan penuh getaran emosi yang manis, romantika yang berkesan untuk kehidupan selamanya.
Dulu aku pernah berangan memiliki pasangan yang memahamiku. Seseorang yang mau mengejarku ketika naluri kanak-kanaku muncul dalam marah, atau merajuk. Seseorang yang mau mengalah demi senyumku, seseorang yang setiap hari menyapaku dan menghujaniku dengan kata-kata mesra.
Sementara saat ini? Aku memiliki kehidupan yang jauh dari bayanganku. Tidak ada cerita romantis yang ku dapatkan. Semua cerita indah awal pernikahan seperti hilang hanya beberapa hari setelah pernikahan. Ah...seketika mataku memanas, aku membalikan badan. Buliran bening yang tidak bisa ku tahan, kutangkupkan tangan ke mulutku, tak ingin tangis ini diketahuinya.Duh Rabbi....
***