"Empat tahun berhubungan dengannya. Masing-masing dari kami keukeuh dengan agamanya. Dia tidak akan pernah mau masuk ke agamaku, begitu sebaliknya."
"Aku pikir kalian bisa menikah tanpa memandang agama."
"Bagaimana mungkin?" tanyaku.Â
"Banyak kok yang pernikahannya langgeng meski beda agama," ucapnya memberi pendapat.Â
"Dan banyak juga yang rumah tangganya berantakan karena beda prinsip karena agama. Aku tak mau ambil resiko itu."Â
Lama sekali dia terdiam. Mungkin dia sedang berpikir kalau dirinya tidak sedang berada di posisiku hingga tak tahu harus berkata apa, seperti sebelumnya aku yang tak tahu harus bereaksi apa saat mengetahui alasannya untuk bunuh diri. Akan tetapi ternyata salah, yang dia ucapkan selanjutnya membuatku sedikit menyadari hal penting.Â
"Dengar. Aku dan mantan istriku juga berbeda agama. Aku Hindu dan istriku katolik. Selama lima belas tahun aku menjalani rumah tangga dengannya tak ada satupun perkataan yang saling menyakiti tentang agama. Kami senantiasa menjaga agama masing-masing. Saling mentoleransi. Perbedaan bukan untuk kita saling terpecah justru untuk saling melengkapi," ucapnya.Â
Aku terdiam sejenak. Mencerna apa yang dia ucapkan.
"Kalau boleh tahu, apa agamamu?"
"Aku seorang muslim," jawabku.Â
"Bukankah kalau di Islam lelaki boleh menikahi perempuan yang non-muslim, tapi tidak sebaliknya?"