Hari hampir magrib ketika aku tiba di basecamp Gunung Sumbing, sebuah area tempat para pendaki yang bisa dibilang luas dan terbuka. Hanya terlihat dua tenda di sana, tepat di ujung dekat bangunan warung berbahan kayu dan bilik yang sepertinya sedang tutup. Maklum, ini weekday. Tak banyak pendaki yang naik. Bahkan para ranger pun tak terlihat.Â
Aku sengaja memilih untuk mendirikan tenda tepat di tengah area. Aku hanya ingin sendirian, melihat langit malam sambil menikmati kopi. Hal itulah yang memang kucari: menyepi. Aku baru saja mengakhiri hubungan dengan kekasihku setelah hampir empat tahun pacaran. Tak ada yang lebih menenangkan selain berkemah sendirian untuk melupakan sejenak kegalauanku.Â
Di tengah asyiknya menikmati langit malam Gunung Sumbing, sebuah suara terdengar beberapa kali, seperti suara radio butut. Suara itu mengusikku yang terbaring di atas martas. Aku bangun dan langsung mencari-cari sumber suara.
"Halo ... halo ... halo...."
Jelas sekali bahwa itu suara laki-laki, meski krasak-krusuk lebih dominan terdengar. Suara itu terus memanggil-manggil sebelum akhirnya hilang berganti suara statis mirip televisi analog yang menyala tanpa siaran.
Heran sekaligus agak takut, tetapi aku terus mencari-cari. Kemudian aku mengambil ponsel dan menyalakan fitur senter untuk membantu penglihatan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah Handy Talky berada tak jauh dari tenda bagian belakang.Â
"Halo?" Aku menyapa dengan mendekatkan benda itu ke mulut. Akan tetapi tak ada jawaban. "Halo?" Sekali lagi aku menyapa dan masih tak ada jawaban.Â
Kemudian aku membawanya masuk ke dalam tenda dan melemparkan benda berwarna hitam itu ke sudut tenda. Mungkin ada orang iseng, mungkin orang-orang di tenda dekat warung itu sedang mengerjai, pikirku. Aku mengabaikannya dan segera memasak air panas untuk membuat secangkir kopi.Â
"Halo? Apa ada orang di sana?"
Di tengah-tengah menunggu air mendidih, suara itu terdengar lagi dan kali ini lebih jelas. Aku berbalik, penasaran. Kuambil lagi benda itu di sudut kiri. Sempat ragu saat akan menekan tombol untuk menjawab. Namun, aku tetap menekannya dan berkata, "Siapa di sana?"
"Ada orang rupanya."
"Iya aku orang. Kau siapa?"
"Aku yang punya HT yang kau pegang."
"Oh. Ya. Silakan ambil sini. Kau orang yang di tenda dekat warung, kan?"
"Dekat warung? Bukan. Aku sedang di puncak."
"Puncak? Jam segini? Gak bahaya apa?"
"Ha ha ha, sengaja. Aku mau bunuh diri!"
"Apa? Jangan main-main kamu!"
"Gak main-main. Aku sekarang di puncak Sindoro."
"Sindoro? Bukan Sumbing. Aku di Sumbing sekarang."
"Ya, aku tahu. Kemarin aku baru turun dari Sumbing bersama teman-teman, lanjut Sindoro sendirian. Rupanya HT-ku ketinggalan satu di sana."
"Ya sudah. Kita ketemu nanti di bawah. Di Terminal Wonosobo. Aku balik ke Bandung dari sana. Sekitar besok sore lah."
"Ha ha ha. Kita tak akan bertemu. Sudah kubilang aku akan bunuh diri."
"Jangan becanda lah kau!"
Setelah mengatakan itu, aku simpan benda itu di samping karena air dalam nesting sudah mendidih. Aku tuangkan ke dalam cangkir yang sebelumnya sudah terisi kopi hitam dan kemudian mengaduk-aduknya dengan lipatan bekas bungkusan sachet itu. Aromanya sungguh menggoda. Aku ingin menikmatinya sambil melihat langit malam. Namun, keberadaan benda telekomunikasi jarak dekat itu membuatku terusik dan agak mengganggu.Â
Maka aku ambil dan membawanya ke luar. Aku berniat akan mengembalikan ke pemiliknya. Aku yakin benda itu milik mereka yang buka tenda dekat warung. Karena tidak mungkin sinyal dari Sindoro bisa mencapai Sumbing dengan benda itu. Walaupun jarak kedua gunung itu memang dekat, tapi tak sedekat itu hingga bisa menggapai sinyal. Sungguh becandaan yang konyol! Pikirku.Â
"Permisi. Maaf aku mau mengembalikan HT ini. Siapa yang punya?" ucapku setelah berada di depan dua tenda itu, Â yang ternyata merupakan satu rombongan.Â
"HT? Riki, kau bawa HT?" tanya seorang perempuan berambut pendek pada kawannya di tenda sebelah.Â
Lelaki yang ditanya menggeleng.
"Maaf, Bang. Kami tidak bawa HT," timpal lelaki di samping lelaki bernama Riki itu.Â
"Terus ini siapa punya? Aku nemu di dekat tenda."
Sekelompok pendaki yang terlihat jauh lebih muda dari aku itu saling berganti pandang, saling mempertanyakan. Tetapi tak ada yang mengaku. "Kami tidak ada yang bawa HT, Bang."Â
"Kalian yakin?"
Semuanya mengangguk.Â
Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aku pikirkan, sebuah ide. Aku coba memposisikan HT itu di depan mulut, menekan tombol dan berkata sesuatu. "Test, test, test." Namun, ternyata tak ada suara terdengar dari HT yang kupikir ada di antara mereka. Mungkin mereka jujur. Semua orang itu tampak memandangiku seakan bertanya-tanya apa yang sedang kulakukan.Â
Walau sebenarnya belum yakin, aku lantas beranjak pergi.Â
"Ya sudah. Jika ada yang merasa kehilangan HT, suruh pergi ke tenda saya," ujarku.Â
"Baik, Bang."
Aku pergi dari hadapan mereka. Agak canggung sebenarnya karena sudah menuduh meski tak terucapkan.Â
Sampai di tenda, aku lemparkan lagi benda itu ke dalam. Lalu terduduk di matras tepat di depan pintu tenda. Kucoba menikmati kembali langit malam sambil menyesap kopi. Namun, beberapa saat kemudian, HT itu bersuara lagi.Â
"Halo, apa kau masih di sana?"
Mendengarnya, aku langsung mengembuskan napas kesal. Sempat berpikir untuk mengabaikan. Namun, suara itu terus memanggil. Dengan pasrah, aku bangkit dari posisi duduk dan mengambil HT itu.Â
"Hei, dengar. Aku tak peduli denganmu. Jika kau ingin benda ini, temui aku di Terminal Wonosobo."
Aku letakan lagi HT di dalam tenda dekat pintu.Â
"Kau masih di sana rupanya. Dengar, lebih baik kau tidak beranjak dari posisimu sekarang karena mungkin hanya di titik itu frekuensinya bisa terhubung...."
Ingin sekali aku melempar jauh-jauh benda itu jika apa yang diucapkannya benar. Tetapi, sebelum itu terjadi suara itu berlanjut.Â
"....dan ya, aku tahu, tak ada yang peduli juga padaku. Bahkan teman-teman yang mendaki bersamaku kemarin tak peduli juga dan menganggap aku bercanda, sama sepertimu."
Aku mengabaikannya meski suara itu jelas terdengar.Â
"Berisik!" ucapku pelan.Â
"Dengar. Aku tahu kau orang yang tak kukenal. Aku hanya ingin meminta tolong padamu untuk membawa tas carrier dan semua peralatan mendakiku yang kutitipkan di basecamp bawah. Jika kau mau itu semua milikmu, tapi ada uang yang harus kau berikan pada ibuku. Di sana juga ada KTP dalam dompet, kau bisa tahu identitas alamatku. Bilang pada ibuku bahwa aku diterima kerja di Jakarta dan harus segera bekerja."
Aku benar-benar ingin mengabaikannya, akan tetapi ketika dia menyebut kata ibu, aku seperti tak bisa diam saja. Maka aku ambil lagi HT dan mulai berbicara.Â
"Jika kau masih peduli pada ibumu, kenapa kau bunuh diri?" tanyaku.Â
Lama sekali dia terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Aku diceraikan istriku,"Â ucapnya. Aku tak beraksi apapun, hanya menyungging tipis. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, "lima belas tahun sudah kami menikah dan kami masih belum punya anak. Aku tahu itu salahku. Aku mandul."
Aku sempat tertawa yang mungkin terdengar olehnya karena tombol itu sengaja kutekan sebelum akhirnya aku berkata, "hanya karena itu kau bunuh diri?"
"Aku malu. Bahkan kau pun tertawa."
"Oh, maafkan aku."
"Tak apa. Aku memang pantas ditertawakan."
"Tidak. Maaf. Aku tidak bermaksud...."
"Sudah kubilang tidak apa."
"Bukan. Maksudku, jika kau masih peduli pada ibumu lalu kenapa kau bunuh diri?" tanyaku sekali lagi.Â
"Ibuku sudah ada yang jaga, adikku. Lagipula ia sudah tua, sering sakit-sakitan, sebentar lagi mungkin juga menyusul."
Pikiran gila macam apa itu? Sungguh aku tak tahu pola pikir orang itu. Untuk sesaat aku merasa harus berbuat sesuatu padanya karena merasa sedikit bertanggungjawab atas keinginannya untuk bunuh diri yang harus kuselamatkan.
"Mungkin kau bisa mencari perempuan yang mau menerima dirimu apa adanya," saranku.Â
"Memang ada?"
"Ada kalau dicari."
Dia terkekeh. Sepertinya sengaja menunjukkannya padaku.
"Aku sudah 40 tahun, tak ada lagi perempuan yang mau denganku. Tua, jelek, miskin, dan mandul!"Â
Sekali lagi dia terkekeh.
Aku tak tahu harus berkata apa. Mungkin jikalau aku yang mengalaminya, semua itu tak akan sampai membuatku bunuh diri. Akan tetapi, aku tidak pernah mengalaminya dan tidak pernah ada di posisi dia, tak akan benar-benar mengerti apa yang yang sedang dialaminya.
"Apa kau punya istri?" tanyanya kemudian.Â
"Belum. Aku belum menikah dan baru saja putus dari pacarku."
Untuk ketiga kalinya dia terkekeh yang sengaja diperdengarkan. Dan kali ini aku tak mengerti arti kekehan itu. Apa dia sedang menertawakan aku yang sama dengannya, sedang galau, atau menertawakan dirinya sendiri karena mungkin dipikirannya galauku tidak sebanding dengan penderitaannya?Â
"Apa yang membuatmu putus dengan kekasihmu?"
Aku sempat diam dan sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Karena aku berpikir dia akan membandingkannya. Namun, aku tak punya topik lain untuk mengalihkan pertanyaan itu.Â
"Beda agama," jawabku ketus.Â
"Oh." Hanya itu suara yang kudengar. Apa dia sedang membandingkannya. Aku pikir tak akan ada yang mau membandingkan agama sebagai alasan perpisahan dengan penderitaan lain seperti yang dialaminya. Bukan soal lebih berat atau tidak, melainkan soal etika.Â
"Empat tahun berhubungan dengannya. Masing-masing dari kami keukeuh dengan agamanya. Dia tidak akan pernah mau masuk ke agamaku, begitu sebaliknya."
"Aku pikir kalian bisa menikah tanpa memandang agama."
"Bagaimana mungkin?" tanyaku.Â
"Banyak kok yang pernikahannya langgeng meski beda agama," ucapnya memberi pendapat.Â
"Dan banyak juga yang rumah tangganya berantakan karena beda prinsip karena agama. Aku tak mau ambil resiko itu."Â
Lama sekali dia terdiam. Mungkin dia sedang berpikir kalau dirinya tidak sedang berada di posisiku hingga tak tahu harus berkata apa, seperti sebelumnya aku yang tak tahu harus bereaksi apa saat mengetahui alasannya untuk bunuh diri. Akan tetapi ternyata salah, yang dia ucapkan selanjutnya membuatku sedikit menyadari hal penting.Â
"Dengar. Aku dan mantan istriku juga berbeda agama. Aku Hindu dan istriku katolik. Selama lima belas tahun aku menjalani rumah tangga dengannya tak ada satupun perkataan yang saling menyakiti tentang agama. Kami senantiasa menjaga agama masing-masing. Saling mentoleransi. Perbedaan bukan untuk kita saling terpecah justru untuk saling melengkapi," ucapnya.Â
Aku terdiam sejenak. Mencerna apa yang dia ucapkan.
"Kalau boleh tahu, apa agamamu?"
"Aku seorang muslim," jawabku.Â
"Bukankah kalau di Islam lelaki boleh menikahi perempuan yang non-muslim, tapi tidak sebaliknya?"
"Iya."
"Lantas kenapa kau masih ragu?"
"Tidak sesederhana itu."
Aku tak bisa melanjutkan perkataanku.
"Apa kau benar-benar mencintainya?"
"Ya. Sangat."
"Aku tidak tahu apa yang aku harus katakan lagi, tapi menurut pengalamanku perbedaan agama bukan alasan untuk tidak menikah. Tapi setiap orang berbeda. Pernikahanku hancur bukan karena agama, melainkan karena dirinya yang sangat ingin punya anak dari rahimnya sendiri."
"Apa kau mencintainya?" Aku balik bertanya hal yang sama.Â
"Ya. Sangat." Jawaban yang sama persis dengan jawabanku terlontar.Â
"Apa kau mencintai ibumu?" tanyaku. Entah kenapa pertanyaan itu begitu saja mencuat di pikiranku yang langsung aku ajukan padanya.Â
"Ya. Tentu saja. Kenapa?"
"Lantas kenapa kau ingin bunuh diri? Apa kau tidak ingin melihat ibumu untuk yang terakhir kalinya sebelum kau meninggal?"
"Maksudnya?"
"Paling tidak kau bisa menunda acara bunuh dirimu jika memang ibumu sakit-sakitan dan akan segera--"
Aku tidak bisa meneruskan perkataanku.
"Hei. Saran macam apa itu?"
"Aku hanya berpikir jika kau memang mencintai ibumu apa kau tidak mau melihatnya untuk yang terakhir kalinya. Dan bukanlah jika tahu anaknya meninggal duluan dari dirinya, seorang ibu akan sangat sedih?"
"Karena itu aku memintamu untuk mengatakan bahwa aku bekerja di Jakarta."
"Kalau aku tidak mau?"
"Berarti kau yang akan membuat ibuku sedih."
"Hei. Curang itu namanya!"
"Aku tidak punya pilihan."
"Punya! Kau punya pilihan!"
"Aku tidak punya. Jikalau punya, aku akan tetap memilih bunuh diri."
"Konyol sekali pikiranmu."
"Ya, aku tahu."
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Jika kau merasa kau tidak punya pilihan, aku akan memberimu pilihan itu."
"Maksudnya?"
"Kau akan aku berikan pilihan. Satu, kau tak perlu bunuh diri dan terus menjalani hidupmu dan mungkin kau bisa mencari perempuan lain yang bisa menerima kau apa adanya. Dua, kau tidak harus bunuh diri dan menjaga ibumu sampai beliau meninggal jika kau benar-benar sayang pada ibumu. Itu saja yang aku pikirkan."
Sejenak hening.
"Tak ada pilihan lain?" ucapnya kemudian.Â
"Ada! Kau bunuh diri saja karena aku tidak akan mengambil barang-barangmu dan tidak akan bilang kalau kau bekerja di Jakarta."
Karena kesal, aku lemparkan benda itu jauh-jauh dari tenda. Seketika suara krasak-krusuk itu hilang. Kuhela napas panjang untuk memenangkan diri. Aku tak habis pikir, bahwa ada orang konyol seperti dia, walaupun rasanya dia orang yang religius. Aku berpikir seperti itu sebab dia menasihatiku tentang toleransi agama itu. Namun, apakah aku harus menerima saran dari orang yang bahkan ingin bunuh diri? Sungguh konyol!
Selanjutnya aku mencoba menikmati acara kemah malam yang tertunda dan tidur dengan tenang kemudian.
Akan tetapi, semalaman itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikiran-pikiran itu menghantui dan terus bergerombol di kepalaku. Sekeras apapun aku berusaha, akan tetapi semakin dalam terpejam semakin dalam pula aku bertanya-tanya tentang lelaki itu: apa dia jadi bunuh diri?
Meski akhirnya sempat tertidur setelah lama dirundung kegelisahan yang menyiksa jiwa, sebelum terbangun kembali pukul 3 pagi karena mendengar orang-orang yang berkemah dekat warung itu berteriak-teriak. Sepertinya mereka tengah bersiap untuk melakukan summit.
Aku pun terpaksa bangun. Sebenarnya aku tak berniat untuk summit juga. Namun, karena tak bisa tidur aku pun memutuskan untuk naik ke puncak.Â
Setelah perlengkapan summit selesai, aku mencari HT itu lagi sebelum bergegas mendaki. Aku menemukannya di tempat yang agak jauh. Sempat aku berbicara melalui HT itu untuk mengetahui kabar lelaki itu, tapi tak ada jawaban.Â
Di sepanjang pendakian menuju puncak. Kegelisahan itu terus berlanjut. Tak nyaman hati menemani setiap langkah menanjak. Hingga akhirnya tiba di puncak tepat sebelum matahari terbit, pikiranku masih diselimuti tentang kabarnya. Aku benar-benar merasa bersalah telah mengajukan pilihan ketiga itu.Â
Aku terduduk di atas batu memandangi sunrise, mencoba untuk menikmati keindahannya. Tetapi, karena kegelisahan itu semakin besar, aku memutuskan untuk turun saat itu juga. Entahlah, aku ingin dia selamat. Karena kalau tidak, mungkin aku akan sangat menyesal.Â
Aku turun dari puncak ke area perkemahan dan langsung membongkar muat segalanya masuk ke dalam carrier, dan turun saat itu juga.Â
Tiba di pos pendaftaran simaski[1] Gunung Sumbing pukul 11 siang. Setelah melapor turun di sana, aku langsung bergegas berangkat ke pos  pendaftaran simaksi Gunung Sindoro dengan angkutan umum. Aku tidak langsung bertanya kepada petugas di sana perihal apakah ada orang yang menitipkan tas carrier. Walaupun aku melihat satu tas berwarna biru laut dengan robekan kecil di saku tempat menyimpan air mineral serta gantungan kunci berupa boneka SpongeBob, tergeletak di tepi dinding di ujung sana.
Di sana aku baru menyadari bahwa aku tidak serta merta bisa mengambil tas itu meski mengaku sebagai kawan atau keluarga lelaki itu. Akan ada pertanyaan jika aku melakukannya. Semisal, aku akan ditanya apakah lelaki itu sudah turun, jika sudah kenapa dia tidak pernah terlihat turun. Juga, bisa saja aku dikira pencuri dengan mengaku sebagai orang yang lelaki itu kenal. Maka, aku memilih tidak bertanya.
Seperti halnya lelaki itu, aku berlanjut mendaki Gunung Sindoro meski keadaan fisikku sudah lelah. Mungkin aku akan melakukan pendakian santai, yang penting aku tiba sebelum magrib di basecamp.Â
Singkat cerita, aku tiba di basecamp pos 5 dan mendirikan tenda di sana. Seperti malam kemarin, di sepanjang malam itu aku masih dirundung kegelisahan dan tak bisa tidur hingga pukul 3 pagi, waktu ketika aku bergegas pergi ke puncak.
Bau belerang tercium menyengat di beberapa tempat di puncak. Setelah matahari terbit, aku segera beranjak berkeliling puncak. Ada berbagai tempat yang bisa kusinggahi sebenarnya, tetapi aku berfokus melihat-lihat kawah. Karena mungkin lelaki itu pergi ke bawah sana jika memang berniat bunuh diri. Namun, aku tak menemukan pertanda keberadaannya.Â
Jika dirinya memang sudah meninggal di bawah sana, aku harus melapor. Hatiku kalut saat sudah berkeliling untuk yang kedua kalinya. Kemudian aku duduk di sebuah batu menghadap kawah. Terdiam. Merenung.Â
Di tengah-tengah lamunanku, tiba-tiba saja suara krasak-krusuk itu terdengar dari dalam tas selempang. Aku terkejut dan langsung mengambilnya. Suara itu masih tidak jelas. Lantas aku berdiri dan mencari titik tempat di mana dapat menangkap frekuensi itu, yang ternyata dekat saja dari sana.Â
"Halo," ucapku mencoba menyapa.Â
"Halo, apa kau masih yang kemarin?"
"Iya. Kau belum mati?"
"Kau ingin aku mati?"
"Ha ha ha. Tentu saja tidak. Di mana kau sekarang?"
"Di Gunung Sumbing, di basecamp, di tengah area perkemahan sendirian. Kau di mana?"
"Aku di puncak Gunung Sindoro."
"Lah tukar tempat kita. Aku turun tadi pagi dan langsung naik lagi ke Gunung Sumbing untuk menemuimu."
"Aku juga turun tadi pagi dan langsung mendaki Gunung Sindoro. Tapi kenapa kita tak bertemu?"
"Mungkin kau lewat ketika aku istirahat dulu di saung di kebun warga. Aku sudah sangat lelah saat turun."
"Dan kau masih memaksa untuk naik Gunung Sumbing lagi? Kau memang konyol," ucapku. Dia terkekeh yang sengaja diperdengarkan lewat HT. Aku merasakan suara itu kali ini lebih bahagia, bukan suara kekecewaan. Perlahan aku duduk. Masih di atas batu menghadap kawah yang menyemburkan asap. "Jadi kau pilih yang mana?" tanyaku.Â
Untuk beberapa jenak hening. Aku menunggu suara itu, bahkan suara krasak-krusuk itu.Â
"Yang pasti bukan yang ketiga."
Seketika aku tersenyum.Â
Selanjutnya kami saling berkenalan dan bercerita tentang hidup masing-masing. Termasuk kemungkinan aku akan menikahi pacarku. Kami berjanji bertemu di Terminal Wonosobo agar aku dapat mengembalikan HT miliknya.Â
****
Sore itu di Terminal Wonosobo. Aku menunggu lelaki itu datang. Jadwal keberangkatan bus ke Bandung adalah sehabis magrib, jadi aku tak punya waktu banyak karena aku tiba di sana pukul 5.Â
Aku sedang duduk di bangku rumah makan ketika serombongan pendaki yang aku tahu adalah orang-orang yang kutemui di basecamp Sumbing kemarin itu lewat. Mereka sempat melihatku dan tertawa-tawa. Aku heran melihatnya dan sedikit curiga. Apa sebenarnya mereka yang mengerjaiku?Â
Pukul 6 tiba dan suara adzan magrib terdengar. Aku harus segera masuk ke dalam bus karena kendaraan itu akan segera berangkat. Para petugas travel pun sudah menyuruh para penumpangnya.Â
Sepertinya aku harus melewatkan pertemuan itu. Namun, sesaat setelah bus bergerak maju, aku melihat seorang pria berjaket merah menggendong carrier berwarna biru dengan gantungan kunci SpongeBob itu. Sepertinya dia terlambat datang. Aku tak mungkin menghentikan bus.Â
Lalu aku teringat dengan HT itu. Aku langsung mengambilnya dan mencoba menghubunginya.Â
"Halo. Aku melihatmu. Maaf aku sudah pergi," ucapku. Berharap dia mendengarnya.Â
Sesaat kemudian. "Iya. Aku melihat bus ke Bandung sudah keluar dari terminal."
"Maaf. Mungkin lain kali kita bertemu," ucapku. "Jadi sebenarnya kau pilih yang mana?"
"Aku pilih yang ke empat."
"Keempat?" jawabnya. "Aku akan mengurus ibuku dan akan bunuh diri setelah dia meninggal."
"Hah? Kau memang benar-benar konyol! Aku yakin kau tidak akan melakukan itu. Iya, kan?"
Setelah pertanyaan itu tak ada lagi jawaban darinya, bahkan suara krasak-krusuk itu. Mungkin karena bus sudah terlalu jauh melaju hingga frekuensi itu tak tertangkap. Aku hanya bisa melihat keluar jendela bus, menatap Gunung Sindoro dan Sumbing.Â
-selesai-
[1] surat ijin masuk kawasan konservasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H