Aku letakan lagi HT di dalam tenda dekat pintu.Â
"Kau masih di sana rupanya. Dengar, lebih baik kau tidak beranjak dari posisimu sekarang karena mungkin hanya di titik itu frekuensinya bisa terhubung...."
Ingin sekali aku melempar jauh-jauh benda itu jika apa yang diucapkannya benar. Tetapi, sebelum itu terjadi suara itu berlanjut.Â
"....dan ya, aku tahu, tak ada yang peduli juga padaku. Bahkan teman-teman yang mendaki bersamaku kemarin tak peduli juga dan menganggap aku bercanda, sama sepertimu."
Aku mengabaikannya meski suara itu jelas terdengar.Â
"Berisik!" ucapku pelan.Â
"Dengar. Aku tahu kau orang yang tak kukenal. Aku hanya ingin meminta tolong padamu untuk membawa tas carrier dan semua peralatan mendakiku yang kutitipkan di basecamp bawah. Jika kau mau itu semua milikmu, tapi ada uang yang harus kau berikan pada ibuku. Di sana juga ada KTP dalam dompet, kau bisa tahu identitas alamatku. Bilang pada ibuku bahwa aku diterima kerja di Jakarta dan harus segera bekerja."
Aku benar-benar ingin mengabaikannya, akan tetapi ketika dia menyebut kata ibu, aku seperti tak bisa diam saja. Maka aku ambil lagi HT dan mulai berbicara.Â
"Jika kau masih peduli pada ibumu, kenapa kau bunuh diri?" tanyaku.Â
Lama sekali dia terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Aku diceraikan istriku,"Â ucapnya. Aku tak beraksi apapun, hanya menyungging tipis. Kemudian ia melanjutkan ucapannya, "lima belas tahun sudah kami menikah dan kami masih belum punya anak. Aku tahu itu salahku. Aku mandul."
Aku sempat tertawa yang mungkin terdengar olehnya karena tombol itu sengaja kutekan sebelum akhirnya aku berkata, "hanya karena itu kau bunuh diri?"