"Ya sudah. Kita ketemu nanti di bawah. Di Terminal Wonosobo. Aku balik ke Bandung dari sana. Sekitar besok sore lah."
"Ha ha ha. Kita tak akan bertemu. Sudah kubilang aku akan bunuh diri."
"Jangan becanda lah kau!"
Setelah mengatakan itu, aku simpan benda itu di samping karena air dalam nesting sudah mendidih. Aku tuangkan ke dalam cangkir yang sebelumnya sudah terisi kopi hitam dan kemudian mengaduk-aduknya dengan lipatan bekas bungkusan sachet itu. Aromanya sungguh menggoda. Aku ingin menikmatinya sambil melihat langit malam. Namun, keberadaan benda telekomunikasi jarak dekat itu membuatku terusik dan agak mengganggu.Â
Maka aku ambil dan membawanya ke luar. Aku berniat akan mengembalikan ke pemiliknya. Aku yakin benda itu milik mereka yang buka tenda dekat warung. Karena tidak mungkin sinyal dari Sindoro bisa mencapai Sumbing dengan benda itu. Walaupun jarak kedua gunung itu memang dekat, tapi tak sedekat itu hingga bisa menggapai sinyal. Sungguh becandaan yang konyol! Pikirku.Â
"Permisi. Maaf aku mau mengembalikan HT ini. Siapa yang punya?" ucapku setelah berada di depan dua tenda itu, Â yang ternyata merupakan satu rombongan.Â
"HT? Riki, kau bawa HT?" tanya seorang perempuan berambut pendek pada kawannya di tenda sebelah.Â
Lelaki yang ditanya menggeleng.
"Maaf, Bang. Kami tidak bawa HT," timpal lelaki di samping lelaki bernama Riki itu.Â
"Terus ini siapa punya? Aku nemu di dekat tenda."
Sekelompok pendaki yang terlihat jauh lebih muda dari aku itu saling berganti pandang, saling mempertanyakan. Tetapi tak ada yang mengaku. "Kami tidak ada yang bawa HT, Bang."Â