"Punya! Kau punya pilihan!"
"Aku tidak punya. Jikalau punya, aku akan tetap memilih bunuh diri."
"Konyol sekali pikiranmu."
"Ya, aku tahu."
"Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Jika kau merasa kau tidak punya pilihan, aku akan memberimu pilihan itu."
"Maksudnya?"
"Kau akan aku berikan pilihan. Satu, kau tak perlu bunuh diri dan terus menjalani hidupmu dan mungkin kau bisa mencari perempuan lain yang bisa menerima kau apa adanya. Dua, kau tidak harus bunuh diri dan menjaga ibumu sampai beliau meninggal jika kau benar-benar sayang pada ibumu. Itu saja yang aku pikirkan."
Sejenak hening.
"Tak ada pilihan lain?" ucapnya kemudian.Â
"Ada! Kau bunuh diri saja karena aku tidak akan mengambil barang-barangmu dan tidak akan bilang kalau kau bekerja di Jakarta."
Karena kesal, aku lemparkan benda itu jauh-jauh dari tenda. Seketika suara krasak-krusuk itu hilang. Kuhela napas panjang untuk memenangkan diri. Aku tak habis pikir, bahwa ada orang konyol seperti dia, walaupun rasanya dia orang yang religius. Aku berpikir seperti itu sebab dia menasihatiku tentang toleransi agama itu. Namun, apakah aku harus menerima saran dari orang yang bahkan ingin bunuh diri? Sungguh konyol!