Dia terkekeh. Sepertinya sengaja menunjukkannya padaku.
"Aku sudah 40 tahun, tak ada lagi perempuan yang mau denganku. Tua, jelek, miskin, dan mandul!"Â
Sekali lagi dia terkekeh.
Aku tak tahu harus berkata apa. Mungkin jikalau aku yang mengalaminya, semua itu tak akan sampai membuatku bunuh diri. Akan tetapi, aku tidak pernah mengalaminya dan tidak pernah ada di posisi dia, tak akan benar-benar mengerti apa yang yang sedang dialaminya.
"Apa kau punya istri?" tanyanya kemudian.Â
"Belum. Aku belum menikah dan baru saja putus dari pacarku."
Untuk ketiga kalinya dia terkekeh yang sengaja diperdengarkan. Dan kali ini aku tak mengerti arti kekehan itu. Apa dia sedang menertawakan aku yang sama dengannya, sedang galau, atau menertawakan dirinya sendiri karena mungkin dipikirannya galauku tidak sebanding dengan penderitaannya?Â
"Apa yang membuatmu putus dengan kekasihmu?"
Aku sempat diam dan sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Karena aku berpikir dia akan membandingkannya. Namun, aku tak punya topik lain untuk mengalihkan pertanyaan itu.Â
"Beda agama," jawabku ketus.Â
"Oh." Hanya itu suara yang kudengar. Apa dia sedang membandingkannya. Aku pikir tak akan ada yang mau membandingkan agama sebagai alasan perpisahan dengan penderitaan lain seperti yang dialaminya. Bukan soal lebih berat atau tidak, melainkan soal etika.Â