Mohon tunggu...
Hendra Wiguna
Hendra Wiguna Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausahawan

Seorang yang hobi menulis, mendaki gunung, dan nonton film. Pertama kali menulis adalah saat ingin mengabadikan momen pendakian Gunung Rinjani dalam bentuk buku yang berjudul "ITINERARY: Menggapai Rinjani" yang tayang di berbagai platform baca tulis. Sudah menerbitkan buku horor thriller dengan judul "Jalur Ilegal". Dan sering mengikuti kompetisi novel dan cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perbincangan Antara Sumbing dan Sindoro

17 November 2023   16:26 Diperbarui: 16 Desember 2023   10:38 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia terkekeh. Sepertinya sengaja menunjukkannya padaku.

"Aku sudah 40 tahun, tak ada lagi perempuan yang mau denganku. Tua, jelek, miskin, dan mandul!" 

Sekali lagi dia terkekeh.

Aku tak tahu harus berkata apa. Mungkin jikalau aku yang mengalaminya, semua itu tak akan sampai membuatku bunuh diri. Akan tetapi, aku tidak pernah mengalaminya dan tidak pernah ada di posisi dia, tak akan benar-benar mengerti apa yang yang sedang dialaminya.

"Apa kau punya istri?" tanyanya kemudian. 

"Belum. Aku belum menikah dan baru saja putus dari pacarku."

Untuk ketiga kalinya dia terkekeh yang sengaja diperdengarkan. Dan kali ini aku tak mengerti arti kekehan itu. Apa dia sedang menertawakan aku yang sama dengannya, sedang galau, atau menertawakan dirinya sendiri karena mungkin dipikirannya galauku tidak sebanding dengan penderitaannya? 

"Apa yang membuatmu putus dengan kekasihmu?"

Aku sempat diam dan sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Karena aku berpikir dia akan membandingkannya. Namun, aku tak punya topik lain untuk mengalihkan pertanyaan itu. 

"Beda agama," jawabku ketus. 

"Oh." Hanya itu suara yang kudengar. Apa dia sedang membandingkannya. Aku pikir tak akan ada yang mau membandingkan agama sebagai alasan perpisahan dengan penderitaan lain seperti yang dialaminya. Bukan soal lebih berat atau tidak, melainkan soal etika. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun