“Kau jangan mencoba mengelabuhiku dengan topi serta kacamata hitam yang kau kenakan itu! Baiklah, tapi untuk saat ini aku harus berterima kasih padamu.”
“…..” Samantha mencelos. Terheran dengan Autumn yang masih saja bersikap sok keren padanya. Ayolah… Samantha hanya ingin melihat lelaki sok misterius itu tersenyum saat ia mengucapkan terima kasih.
“Jeongmal gomawo[5], Autumn-ah!” pekik Samantha. Penumpang lain menanggapinya dengan pandangan sinis. Dan, secara tersirat, tatapan itu akan membuat malu dirinya jika tidak segera diam.
“Jika kau diam, itu lebih baik,” ucap Autumn datar.
***
Autumn melepas kacamata, melipatnya, lantas disematkannya pada jas sebagai mana mestinya.
“Hmm, mianhae, apa kau…?” Samantha tidak berani melanjutkan ucapannya saat mata sipit milik Autumn menatapnya tajam ibarat pisau yang baru saja diasah. Ia menelan ludah kering. Entah kenapa, saat berada di dekat laki-laki asing itu, ia selalu mengeluarkan keringat dingin.
“Ehm...,” Samantha berdehem ketika Autumn memalingkan wajahnya dengan angkuh.
“Aku rasa cukup sampai di sini saja. Jangan ikuti aku lagi!” Perintah Samantha dengan setengah berteriak. Autumn tidak menjawab. Samantha pun mengulangi perkataannya lagi dengan lebih keras.
“Aku juga tinggal di sini,” jawab Autumn.
Ting… Lantai sepuluh. Pintu lift itu terbuka dan Autumn berjalan terlebih dahulu dengan kedua tangan yang masih membawa belanjaan Samantha.