Jam weker berwarna ivory itu berbunyi. 06.00, kedua jarumnya sejajar dengan dua angka.
Samantha membuka matanya perlahan. Bola matanya berputar memerhatikan langit-langit kamar dan seisinya. Kembali sesosok lelaki itu melayang dalam ingatannya. Ia terperanjat, lalu berlari keluar kamar.
“Opp—”
Dalam waktu sepersekian detik, ia tersadar baru saja melakukan hal bodoh. Kenapa ia harus berteriak keluar kamar dan memanggil Jae Woon? Hari ini, lelakinya itu tidak bisa mengantar.
“Aish! Lihat saja sana ponselmu! Dia pasti sudah mengirim pesan rutin padamu setiap pagi.” Seorang gadis berpiyama Lilac itu menggerutu sebal.
Bunyi jam weker semakin menjadi. Baiklah, Sam, kau jangan hanya terdiam diri begitu saja. Segera matikan. Suara gaduhnya memecah kesunyian pagi.
Dengan langkah mengendap-ngendap seperti pencuri, akhirnya kini ia berada di dalam kamar. Matanya masih berkeliling ke setiap sudut kamar seolah tetap waspada meski sebenarnya ia tahu pasti apa yang tengah dilakukannya itu terlihat menggelikan.
Ok, kau harus segera mandi, Sam. Jangan sampai terlambat. Akan sangat memalukan!
***
Samantha mengakhiri teleponnya dengan Jae Woon, lantas memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Pipi gadis itu memerah setelah lelakinya berkata I love you…
Irama embusan angin bergerak tidak beraturan. Menciptakan suasana yang tidak nyaman. Ada yang menafsirkan sebagai pertanda datanganya bencana, suasana magis, atau bahkan kesedihan untuk orang yang sedang terduduk sendirian.
“Rokku!” Samantha kebingungan memegangi rok selututnya agar tiak terangkat oleh angin. Akan sangat memalukan jika itu terjadi.
Blus biru laut dengan rok manis, lalu dipadukan dengan bootberwarna coklat khas remaja Korea. Sempurna. Bukan tidak mungkin ‘kan bagi seorang gadis yang lahir dengan darah Kanada dan Korea, menetap cukup lama di Kanada, tapi penampilannya tetap berkiblat pada styleala Korea?
“Hmm.” Terdengar suara gumaman seorang lelaki di belakang gadis itu. Ia menoleh, lalu membalikkan badannya, lantas menghentikan langkahnya. Dan, secara ajaib angin itu perlahan berhenti.
Lelaki itu! Samantha mencelos.
“Apa yang kau lakukan di belakangku? Kau mau mengintip rokku ‘kan! Jagalah mata mesummu itu!”
“…..” Seperti pertama kali Samantha bertemu dengan lelaki itu, ia masih tetap memasang imej misterius yang bagi Samantha sok keren.
“Lelaki mesum, aku bilang jangan intip rokku!” pekik Samantha hingga tenggorokannya terasa gatal. Tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya, lelaki itu hanya tersenyum getir.
“Percaya diri sekali kau,” kata lelaki itu sinis lantas berjalan melewati Samantha begitu saja. Gadis itu terdiam hingga beberapa saat. Terheran dengan apa yang diucapkan lelaki itu barusan. Dia tidak salah?
“Mwo[1]?” Samantha terheran kembali setelah membalikkan tubuh. Jaraknya dengan lelaki itu sudah terlampau jauh. Padahal, menurut Samantha, waktunya terdiam tadi tidak sampai sepuluh detik. Bagaimana bisa lelaki itu berjalan dengan sangat cepat?
Dia itu… Orang macam apa?
***
Layaknya jam Big Ben yang terletak di London atau lebih tepatnya iconnegara Inggris, jam dinding di kampus baru Samantha tidak kalah megah. Kini menunjuk angka satu di jarum pendeknya. Sudah satu jam semenjak benda itu berdentang menunjukkan waktu makan siang.
Kampus baru Samantha memang sangat teratur—sampai-sampai ada pengingat kapan waktu makan. Tapi, karena kelas gadis itu usai pukul 13.00, terpaksa harus mengundur waktu makan siang selama satu jam.
Samantha bernapas lega. Ia merapikan buku-bukunya dan bergegas untuk pulang. Ia merasa kuliahnya hari ini sedikit membosankan. Jadwal kuliahnya benar-benar seperti anak sekolahan. Dimulai pukul 07.00 KST dan berakhir pada 13.00 KST.
Kini, gadis blasteran Korea-Kanada itu baru saja tiba di halaman gedung apartemennya setelah lima belas menit berjalan kaki. Tidak ada Jae Woon yang tadi sempat menjanjikan untuk menjemputnya.
Aku masih harus menyelesaikan beberapa scene drama hari ini. Jika waktu istirahatku cukup lama, aku akan menjemputmu. Begitulah pesan yang Jae Woon kirim.
“Pemandangan di kampus baruku ternyata menakjubkan. Aku baru menyadarinya sekarang,” gumam Samantha tanpa menggubris tentang pemutusan janji Jae Woon padanya. Ia langsung pulang begitu saja tanpa menunggu datangnya kemungkinan yang tiba-tiba saja membuat lelakinya bisa menjemput.
Sepasang kaki jenjang Samantha masih melangkah. Menyusuri koridor yang bagaimana suasananya bisa ditebak.
“Semenakjubkan itu ‘kah sampai kau lupa bahwa lantai yang kau lewati saat ini masih lantai sembilan?” tanya sebuah suara disela kekaguman gadis itu pada kampus barunya.
Samantha menoleh dan sedikit terkejut dengan sesosok lelaki yang ada di belakangnya.
Bagaimana bisa, tiba-tiba dia berada di belakangku? Setelah itu Samantha membalikkan tubuhnya.
“Lantai tempat apartemenmu masih satu lantai lagi. Apa kau mau menaiki satu tangga untuk sampai di lantai sepuluh?” Peringat lelaki itu dingin seraya mengarahkan tangannya ke tempat sebuah tangga yang ia maksud.
Bagaimana bisa gadis ini turun di lantai sembilan? Apa karena tadi ia melamun di dalam lift—sehingga tidak menyadari di lantai berapa ia turun? Dan, bahkan seorang wanita paruh baya mengernyitkan keningnya ketika Samantha keluar di lantai sembilan. Wanita paruh baya itu ingat benar karena Samantha meminta tolong padanya untuk menekan tombol bertuliskan angka sepuluh.
“A… apa pedulimu orang misterius sok keren?” tantang Samantha terbata-taba, namun pada akhirnya ia menirukan gaya bicara lelaki itu yang menurutnya sokkeren. Samantha meyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Cha Hyo Woon. Tapi, kau bisa memanggilku Autumn. Bukankah itu yang selama ini ingin kau ketahui?”
“Ne?” tanya Samantha dengan nada yang sedikit tinggi.
“Apartemenmu di atas sana, nona.” Autumn mengingatkan tanpa ekspresi. Samantha terdiam sejenak.
“Ah, baiklah,” hela Samantha menerima perkataannya lebih ke arah putus asa, dan lelah jika harus beradu mulut dengan lelaki dingin itu lagi. Seakan ingin Samantha cepat enyah dari hadapannya, Autumn mengangkat tangan kanannya ke udara, lalu menggerakkannya sekali seperti sedang mengusir orang.
“Baiklah,” kata Samantha pasrah dan melangkahkan kaki dengan mantap.
Gadis itu masih menapaki lima anak tangga. Tapi, akhirnya ia menoleh lagi. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada seseorang di belakangnya.
“Oya, Autumn-ssi[2]. Berapa nomor ap—” Pertanyaan Samantha terputus setelah memastikan bahwa yang akan ia lontarkan berakhir sia-sia saja; karena orang yang akan diajak bicara justru sudah tidak ada.
***
Di hadapan cermin benbentuk oval, Samantha sedang menguncir rambut panjangnya. Terdengar juga suaranya yang pas-pasan sedang menyanyikan sebuah lagu.
“Baiklah, sekarang jadwal berbelanja,” ucap Samantha usai berdandan. Kenapa begitu cepat? Ya, yang dinamakan berdandan oleh Samantha adalah setelah memoles wajah dengan bedak tipis, lalu memakai pelembab bibir. It’s so simple, right?
Gadis berkuncir itu dengan santainya melangkahkan kaki melewati koridor untuk menuju lift yang akan membawanya turun ke lantai dasar. Ia bersiul sesuka hati. Bukan tanpa maksud, hanya ingin menghibur diri saja, dan merasa menguasai koridor itu; karena tidak ada orang lain.
Samantha mengerang saat tiba-tiba saja ia tersungkur. Tersandung? Ah, itu tidak mungkin. Memangnya koridor apartemen berbatu seperti di pegunungan? Atau, karena ia memakai high heel? Tidak! Samantha tidak pernah memakai high heel kecuali saat menghadiri pesta.
Setelah beberapa detik bertahan dengan posisinya, perlahan ia bangkit. Dan, saat itu juga ia melihat pintu lift yang akan tertutup. Ia berteriak sambil berlari kecil.
“Hey… tunggu!” Namun, kakinya berhenti seperti rem pakem. Ia terenyak melihat sekilas sesosok lelaki dengan tatapan tajam ke arahnya diikuti pintu lift yang tertutup. Mata lelaki itu mengesankan. Tapi, pada akhirnya membuat Samantha ketakutan sendiri.
Kemudian, tangan gadis itu sedikit bergetar dan tengkuknya terasa dingin. Kedua pasang kakinya terasa kaku. Tidak hanya itu, ia merasakan ada sesuatu yang menyentuh kedua pasang kakinya.
Bukan sentuhan sejati yaitu tangan. Tapi, seperti… air. Dengan ragu, Samantha menundukkan kepala. Ia penasaran kenapa tiba-tiba ada air di koridor? Dan… ternyata itu bukan air.
“Aaaaa…,” Samantha berteriak sekencang-kencangnya setelah dengan cepat mengembalikan pandangannya ke atas. Ia menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Entah berapa lama ia melakukannya—hingga ada sentuhan lembut mendarat di pundaknya. Ia terkaget dan membalikkan tubuhnya dengan cepat, lalu mengalihkan telapak tangannya, kemudian membuka matanya. Air mukanya terpancar ketakutan.
“Apa yang terjadi?” tanya seorang wanita paruh baya bertubuh tambun. Ia terheran, bagaimana bisa gadis di hadapannya ini berteriak kencang, sedangkan suasana yang dilihatnya baik-baik saja? Tidak ada penjahat yang akan merampas tas miliknya.
“Ahjumma[3], apa apartemen ini ada hantunya?” tanya Samantha dengan nada gemetar. Wanita paruh baya itu terdiam. Tidak, lebih tepatnya terheran mengapa tiba-tiba saja gadis itu melontarkan sebuah pertanyaan yang terdengar begitu frontal. Ekspresi wajah Samantha yang gelagapan juga membuat mulut wanita paruh baya itu sedikit terbuka.
“Ah, maksudku, apa anda tidak pernah mengalami kejadian aneh saat tinggal disini? Hmm… seperti melihat hantu, atau bahkan banjir darah?” Samantha menatap wanita tambun itu hati-hati. Ia meragukan jawaban yang akan terlontar.
“Hahahahaha! Kau masih percaya pada hal seperti itu?” Gelambir di perut wanita paruh baya itu bergetar. Mata sipitnya seolah hilang ditelan tawa lebarnya. Samantha hanya bisa cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
“Kau penghuni baru?” Tebak wanita paruh baya itu tepat sasaran. Samantha mengangguk tanda mengiyakan. Tidak lama setelah wanita paruh baya itu bergumam, ia bertanya lagi.
“Kau blasteran?” tanyanya dengan pandangan mengintimidasi. Melihat Samantha dari atas sampai bawah hingga beberapa kali. Samantha merasa risih. Kenapa seorang blasteran seperti dia dipandang dengan aneh seperti itu? Memangnya apa yang salah?
“Ne, aku blasteran Korea-Kanada,” balas Samantha disertai dengan anggukan kecil. Begitu pula dengan wanita paruh baya itu. Ia sudah menduganya saat melihat wajah Samantha terutama matanya. Ya, mata besarnya itu. Hazel yang mewarnai irisnya.
“Mungkin kau belum terbiasa dengan suasana apartemen yang sepi. Makannya itu kau berhalusinasi—terutama yang berhubungan dengan hantu. Ah, anak zaman sekarang. Sukanya menonton film horror, tapi, sebenarnya penakut.”
Samantha sedikit geram. Perkataan wanita paruh baya itu terkesan meremehkannya. Padahal, ia sering menonton film horor sendirian. Ia juga selalu berpikiran rasional walaupun akhir-akhir ini pemikirannya tumbang.
“Sudahlah, kau mau keluar, kan? Kebetulan sekali. Aku juga mau keluar. Kajja, aku temani kau di lift,” ajak wanita paruh baya itu setelah menyadari jika di pundak kanan Samantha tergantung sebuah tas cantik khas remaja.
Samantha mendesis samar saat wanita paruh baya itu berlalu begitu saja dari hadapannya. Bukan semata karena tidak mengajaknya pergi dengan cara yang baik. Tapi, karena bau parfumnya yang begitu menyengat. Jauh berbeda dengan selera parfum Samantha. Bisa ditebak dengan mudah bagaimana parfum favorit Samantha jika berkaitan dengan kepribadiannya. Parfum yang memiliki aroma yang soft dan wangi yang segar, seperti: Kenzo dan Jazz pim.
Lift yang berisi dua orang berbentuk seperti angka sepuluh itu, berhasil turun ke lantai dasar dengan mulus. Pun tidak berhenti di lantai tertentu saat orang lain juga ingin menggunakannya.
Mereka kemudian berpisah di depan liftsaat berada di lantai dasar. Wanita paruh baya itu menuju garasi di mana mobilnya terletak, sedangkan kedua pasang kaki Samantha menuntunnya menuju halte bus yang berada persis di hadapan gedung apartemennya. Kini, Samantha kembali berjalan sendirian, tapi, ia bernapas lega. Ada banyak orang yang berlalu lalang di sana.
Dan, hey, kenapa Samantha sampai menaiki bus hanya sekadar untuk berbelanja ke pusat perbelanjaan? Bukankah letak apartemennya begitu strategis? Dekat dengan kampusnya, dan lima ratus meter dari sana terdapat pusat perbelanjaan?
Apa pun hal konyol yang dilakukan atau dipikirkan gadis itu, selalu ada alasannya. Ia menaiki bus agar bisa berbelanja di tempat yang lebih jauh. Tujuannya: agar bisa mengulur waktu lebih panjang lagi untuk berada di luar apartemennya.
Jenuh. Itu yang dirasakannya. Jae Woon—lelakinya—juga hanya menghubunginya satu kali sesaat sebelum melakukan persiapan untuk berbelanja.
Sam, maafkan aku belum bisa mengajakmu jalan-jalan.
Meski pun saat ia tinggal di Kanada lebih sering tidak bertemu Jae Woon, tapi, setidaknya ia tidak selalu sendirian di rumah. Di sana—di Kanada, ia tinggal dengan ayah, ibu, serta kakak laki-lakinya yang sering menjahilinya.
“Aish, Steven! Lebih baik kau menjahiliku daripada aku harus kesepian seperti ini. I miss you.”
Samantha tidak harus terlalu lama larut dalam lamunannya. Bus yang ditunggunya telah datang. Dengan sigap, ia pun menaikinya. Sepanjang jalan matanya tidak berhenti melihat ke luar jendela. Seolah membiarkan kedua pasang mata besarnya memasukkan keindahan malam kota Seoul ke dalam memori.
Samantha lelah. Terlebih kakinya yang ia pergunakan untuk berjalan ke sana kemari mencari benda-benda yang berada dalam list sepanjang lima belas senti yang ia buat.
Sembari mendorong keranjang belanjaan, ia mengecek apakah semua yang dibutuhkannya telah ia beli. Setelah itu, ia pun segera membayar benda-benda yang menggunung di keranjang kepada kasir dan berlalu pergi.
Tidak pergi begitu saja. Ia mampir ke café yang terletak di pusat perbelanjaan itu terlebih dahulu. Secangkir cokelat panas dan pastry yang didominasi dengan bahan cokelat kini sudah terhidang di mejanya.
Cokelat dapat memperbaiki mood seseorang. Pun itu juga yang dilakukan Samantha sekarang. Selain memang gadis itu adalah chocolate addict. Namun, akan percuma saja jika sedang memperbaiki mooddengan cokelat, Samantha masih saja digoda dengan kerlingan nakal seorang lelaki paruh baya yang letak tempat duduknya berada di depan Samantha.
Ingat umurmu ahjushi[4]!Samantha menatapnya tajam.
“Terserahlah. Kelezatan cokelat ini jauh lebih berharga ketimbang harus meladeni ahjushi mesum sepertimu!” gerutu Samantha saat memotong pastry coklat itu dengan sendok kecil.
***
Kembali, Samantha berada di halte bus. Sesekali ia memijit bahu kirinya yang terasa lelah karena membawa belanjaannya. Dan, keberuntungan kembali berpihak padanya.
Sekitar lima menit menunggu, bis itu pun datang. Tapi, kadar keberuntungannya tidak sebanyak keberangkatannya tadi. Semua bangku sudah ada yang menempati, ia berdiri, mendengus. Seharusnya ini terjadi saat ia berangkat. Kini ia lelah…
Gadis dengan beberapa kantung kresek besar di tangannya itu kerepotan membawanya. Akan tetapi, dari belakang, ada sebuah tangan kekar meraihnya kemudian membawakan semuanya.
“Kamsha—” ucap Samantha tidak sempurna saat menoleh ke belakang. Sedetik kemudian bulu kuduknya bergidik hebat. Tapi, lelaki di belakangnya hanya terdiam dan pandangannya tetap lurus ke depan.
Tidak tahan dengan keadaan yang tidak nyaman tersebut, akhirnya Samantha mengembalikan pandangannya lagi ke depan.
Tiga detik. Tiga detik kemudian tubuhnya bereaksi.
Tengkuknya seperti mendapat sebuah pukulan. Matanya terbelalak hebat. Lelaki di belakangnya itu adalah…
Autumn.
“Kau jangan mencoba mengelabuhiku dengan topi serta kacamata hitam yang kau kenakan itu! Baiklah, tapi untuk saat ini aku harus berterima kasih padamu.”
“…..” Samantha mencelos. Terheran dengan Autumn yang masih saja bersikap sok keren padanya. Ayolah… Samantha hanya ingin melihat lelaki sok misterius itu tersenyum saat ia mengucapkan terima kasih.
“Jeongmal gomawo[5], Autumn-ah!” pekik Samantha. Penumpang lain menanggapinya dengan pandangan sinis. Dan, secara tersirat, tatapan itu akan membuat malu dirinya jika tidak segera diam.
“Jika kau diam, itu lebih baik,” ucap Autumn datar.
***
Autumn melepas kacamata, melipatnya, lantas disematkannya pada jas sebagai mana mestinya.
“Hmm, mianhae, apa kau…?” Samantha tidak berani melanjutkan ucapannya saat mata sipit milik Autumn menatapnya tajam ibarat pisau yang baru saja diasah. Ia menelan ludah kering. Entah kenapa, saat berada di dekat laki-laki asing itu, ia selalu mengeluarkan keringat dingin.
“Ehm...,” Samantha berdehem ketika Autumn memalingkan wajahnya dengan angkuh.
“Aku rasa cukup sampai di sini saja. Jangan ikuti aku lagi!” Perintah Samantha dengan setengah berteriak. Autumn tidak menjawab. Samantha pun mengulangi perkataannya lagi dengan lebih keras.
“Aku juga tinggal di sini,” jawab Autumn.
Ting… Lantai sepuluh. Pintu lift itu terbuka dan Autumn berjalan terlebih dahulu dengan kedua tangan yang masih membawa belanjaan Samantha.
“Hey! Berapa nomor apartemenmu?” Langkah Samantha terhenti saat Autumn juga menghentikan langkahnya. Kemudian, lelaki itu membalikkan tubuh dan lagi-lagi menatap tajam ke arah Samantha. Terlihat bahwa lelaki di hadapan gadis yang jantungnya berdetak dengan cepat itu tidak senang dengan introgasi gadis penyuka warna pastel itu— hingga akhirnya, belanjaan-belanjaan itu ia jatuhkan dengan kasar. Ia pun berlalu pergi tanpa mengatakan apa pun.
“Aku hanya ingin bertanya, tapi, kenapa kau begitu menyebalkan!” Maki Samantha pada Autumn, yang sedikit demi sedikit bahunya mulai mejauh dari pandangan.
Sudah cukup Samantha melihat Autumn pergi begitu saja dan tidak mau bertanggung jawab atas kelakuan menyebalkannya. Ia pun menggerutu saat memasukkan belanjaannya ke dalam kantung kresek kembali. Saat tangan kanannya terasa basah, ia teringat jika salah satu belanjaannya adalah telur. Samantha geram dan ingin sekali memaki Autumn habis-habisan. Tapi, niatannya percuma saja.
Deg!“Ke… ke mana dia pergi?” tanya Samantha dalam hati. Tangannya gemetar dan tubuhnya mematung seperti patung berusia uzur yang sudah lumutan. Tidak lama setelah itu, ia terkaget hebat saat ponsel di dalam tasnya berbunyi.
My Beloved Jae Woon.Begitu nama pemanggil yang tertera. Samantha bernapas lega dan segera menerima panggilan itu.
“Yeoboseyo!” ucap Samantha dengan nada lembut yang dibuat-buat. Tapi, usahanya sia-sia. Jae Woon masih mendengarnya seperti suara orang ketakutan.
“Kau tidak apa-apa, kan?”
“Gwaencanayo,” balas Samantha, lalu terdiam memikirkan alasan apa yang bisa menjelaskan jika nada bicaranya mungkin masih terdengar seperti orang yang sedang ketakutan.
“Are you sure?” Jae Woon menggoda. Samantha terbahak sekilas sebelum menjawabnya. “Ya, I’m pretty sure.”
“Kau sudah pulang dari berbelanja? Sebelum aku pulang ke rumah, aku mau mampir ke apartemenmu dulu.” Kedua pasang mata Samantha berbinar. Jae Woon datang tepat waktu saat ia ketakutan.
“Ne, aku sudah pulang. Hmm, cepat ya…,” pinta Samantha dengan menambahkan nada manja di akhir. Ternyata, ketakutan bisa merubah Samantha menjadi manja. Hmm ya, tapi itu hanya SEDIKIT manja.
“Aku sudah ada di dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. Wait me, nona Samantha,” kata Jae Woon, kemudian suara kecupan dari seberang telepon membuat Samantha tersenyum tipis.
***
Samantha tersenyum lebar saat teman yang Jae Woon bawa itu berada di hadapannya. Air liurnya seakan menggenangi mulut. Teman lelakinya itu adalah sekotak brownies cokelat.
“Apa kau tidak takut gemuk?” tanya Jae Woon seraya bertopang dagu memerhatikan gadisnya dengan lahap memakan brownies cokelat yang sudah diiris-iris. Gadis yang sedang menguyah itu hanya menggeleng.
“Anniya. Dari dulu tubuhku juga tetap seperti ini ‘kan walau aku doyan sekali dengan cokelat.”
“Itu adalah kelebihanmu. Disaat orang lain selektif dengan makanan, kau malah makan sesukamu.”
“Tapi, jika aku gemuk bagaimana? Kau pasti akan meninggalkanku dengan aktris-aktris itu,” balas Samantha setelah menghabiskan sepotong brownies di tangannya.
Jae Woon mencabut tisu yang ada di hadapannya, lantas membersihkan ujung bibir Samantha yang meninggalkan partikel-partikel kecil cokelat.
“Apa kau tidak ingat berapa lama kita pacaran? Lima tahun, bukan? Aku menyayangi dirimu. Bukan fisikmu. Semua orang tahu jika kau adalah seorang gadis yang cantik. Bagiku, hal yang menarik dari dirimu adalah keunikanmu. Kau itu gadis langka, Sam!” ujar Jae Woon dengan nada serius. Membuat mulut Samantha sedikit menganga. Tapi, Samantha sedikit kesal dengan perkataan akhir lelakinya.
“Yak! Memangnya aku hewan, lalu bisa kau katakan langka?” Jae Woon terbahak dan memeluk Samantha gemas.
“Kau adik manisku yang nanti akan aku nikahi,” bisik Jae Woon tepat di dekat telinga kiri Samantha. Gadis itu membalas perlakuan lelakinya.
Brak!
Sepasang kekasih yang masih saling berpelukan itu terkaget. Kemudian, untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi, pelukan itu terlepas. Foto mereka yang berpigura dan tergantung di dinding terjatuh. Tidak hanya satu, tapi, semuanya, ada lima.
“Andwae[6]!” seru Samantha saat melihat serpihan kaca pigura itu. Semuanya hancur lebur. Samantha beranjak, menghampirinya. Ia membersihkan foto dari serpihan kaca dan memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
Jae Woon memanggil gadisnya lirih seraya meletakkan tangan kanannya di pundak yang naik-turun itu. Si pemilik pundak menggeleng frustrasi. Gempa? Kurasa tidak mungkin. Barang-barang di dalam apartemennya bahkan tidak ada yang bergetar. Lantas, bagaimana foto-foto itu bisa terjatuh seperti itu? Foto-foto itu jatuh tertumpuk. Seperti ada sapuan tangan yang sengaja menjatuhkannya.
“Apakah akan ada malapetaka yang akan mengakhiri hubungan kita? Mitos itu—” Perkataan Samantha harus terhenti manakala Jae Woon memeluknya dari belakang. Ia terdiam sesaat sebelum tangisnya pecah. Suara isakannya begitu kentara. Semakin isakan itu terdengar, semakin Jae Woon memeluknya erat.
Pelukan itu—menenangkan Samantha. Jika Jae Woon berkata, itu akan sia-sia saja. Pelukannya… seolah menahan tangisan seseorang di dekatnya semakin membludak. Tubuh Jae Woon kembang kempis. Bukan karena ia juga menangis. Tapi, karena pelukan itu terlalu erat. Samantha—menularkan tangisan.
“Apakah benar? Aku sudah mencoba berpikir logis kembali. Tapi, keadaan lah yang selalu membuat pikiranku tidak keruan,” ucap Samantha dengan nada gemetar. Suaranya parau.
“Tatap aku,” titah Jae Woon setelah melepaskan pelukannya. Samantha membalikkan tubuh dengan wajah yang sudah basah dengan air mata.
“Jujur, aku tidak mengerti dengan kejadian aneh yang kita alami akhir-akhir ini. Tapi, aku merasa ini semua lebih ke bentuk teror. Apakah ini semua ulah ssaeng fans[7]?”
“Anniya! Jangan mengatas namakan ssaeng fans! Untuk apa aku kembali ke sini jika keadaannya akan seperti ini? Lebih baik kau memutuskan hubungan kita saat aku berada di Kanada. Ini akan lebih menyakitkan.”
Jae Woon terenyak. Baru kali ini Samantha menentang dengan jelas perkataannya. Dan, cara bicara Samantha berbeda sekali dengan biasanya. Samantha—dia kesetanan.
“Kenapa kau berbicara seperti itu?” Alis Jae Woon bertautan. Marah? Iya. Tapi, Jae Woon masih bisa menahannya.
“Apa selama kau tidak ada di dekatku, aku baik-baik saja? Ada seorang lelaki yang sering mengikutiku. Dia misterius dan sok keren. Apa dia juga ssaeng fans yang akan menghancurkan hubungan kita? Nyatanya, mitos itu terbukti, kan? Setelah pulang dari pantai, kita mendapatkan banyak kejadian aneh.”
Jae Woon memicingkan mata. “Benarkah? Itu bukan alasanmu untuk memunculkan orang ketiga dihubungan kita, kan?”
“Maksudmu aku selingkuh? Yang memungkinkan selingkuh itu kau! Bukankah kau kerap dikelilingi wanita-wanita cantik di luar sana?” Samantha menatap Jae Woon nyaris tanpa kedipan. Sorot matanya nanar.
Rahang Jae Woon mengeras. Emosinya seperti gunung berapi yang siap memuntahkan lahar. Mereka bertatapan beberapa saat hingga akhirnya Jae Woon berdiri dan membalikkan tubuh.
“Kau marah padaku, kan? Tampar saja aku!” pekik Samantha pada lelaki yang memunggunginya. Ia mengepalkan tangan erat. Jika emosinya saja yang bekerja, sudah dipastikan ia akan melakukannya. Hati dan pikiran. Keduanya masih bisa bekerja dengan baik—sehingga Jae Woon tidak akan menampar gadisnya yang sedang merajuk itu.
Ting tung…Suasana menegangkan itu terpecah saat bel berbunyi. Dengan langkah mantap, si pemilik apartemen membuka pintu. Tidak lupa ia mengusap air matanya, dan membelalakkan mata agar tidak terlalu kentara jika habis menangis.
Orang yang memencet bel itu pasti akan berpikir yang tidak-tidak dengan keadaan yang seperti itu. Ada dua orang—lelaki dan perempuan. Si perempuan menangis, dan foto-foto berpigura itu pecah. Mirip sebuah kekerasan yang dilakukan pada pasangan, kan?
Gumaman Samantha bercampur dengan isak yang masih tersisa. Tidak ada seorang pun saat ia membuka pintu. Mungkin, orang yang memencet bel itu, ingin meninggalkan sebuah kejutan untuknya. Yang ada di depan pintu hanya sebuah kotak kado berwarna merah muda dengan motif hati.
Samantha membalikkan tubuh. Dan, rupanya, lelaki itu berada persis di hadapannya. Ia pun menatap lelaki itu dengan pandangan kosong.
“Apa itu?” tanya Jae Woon setelah melihat sebuah benda yang ada di tangan kanan gadis dengan mata sembab itu.
“Entahlah,” balasnya, dan berlalu begitu saja melewati Jae Woon. Ia terduduk di sofa dan mulai membuka isi kado. Jae Woon menghela napas. Ia pun akhirnya menutup pintu kembali dan teruduk di samping gadisnya.
Sebuah buku panduan bermain piano. Cukup tebal. Pasti seratus halaman lebih. Samantha sibuk membuka tiap lembarnya. Sementara itu, seseorang di sampingnya meraih kotak itu dan mengambil secarik kertas berwarna merah muda dari dalamnya. Rupanya ia ingin mengetahui siapa pengirimnya.
Autumn.
Begitu nama yang tertulis di samping tulisan from.
“Autumn itu siapa?” Jae Woon menatap Samantha dengan pandangan mengintimidasi. Tetapi, gadis itu mengabaikannya. Ia masih bersibuk membuka tiap lembar buku panduan itu.
Kenapa gadis itu terlihat begitu tertarik dengan piano? Ya, karena ia ingin menguasainya. Baginya, berlatih piano sama saja dengan memakai high heel di medan yang berbatu. Dan, Samantha lebih kagum dengan lelaki yang mahir bermain piano ketimbang gitar.
“Autumn itu lelaki yang aku ceritakan tadi,” balas Samantha. Kini ia sudah mengalihkan pandangannya ke Jae Woon.
“Dia itu perhatian, ya?” tanya Siwon dengan nada sindiran.
“Dan, dia adalah orang pertama yang memberiku buku panduan bermain piano. Dan, kau tahu? Buku ini bagus. Tidak seperti yang pernah aku beli.”
Perkataan Samantha barang kali seperti batu yang menghujam tepat di hati Jae Woon. Ia teringat jika ia memang tidak pernah membelikan gadisnya buku panduan bermain piano.
“Kelihatannya dia buka ssaeng fans. Tapi, dia orang yang menyukaimu. Kau satu kampus dengannya?” Jae Woon menatap curiga.
“Dia juga satu apartemen denganku. Tapi, aku tidak tahu berapa nomornya. Aku tadi sudah bilang ‘kan jika dia itu orang yang misterius dan sok keren?” ulang Samantha ketus.
Jae Woon memutar bola mata; karena kepalanya terasa pening. Ia merebahkan tubuh ke sofa. Pandangannya menerawang ke langit-langit.
“Kau berniat berselingkuh dengannya?” Jae Woon mengembuskan napas berat di akhir kalimatnya.
“Kau juga ada niat berselingkuh dengan aktris-aktris cantik itu, kan?” tanya Samantha balik dengan memberi penekanan pada kata aktris.
Jae Woon tidak menjawab. Ia sudah kehabisan kata-kata. Yang ia saat ini inginkan adalah membanting sesuatu untuk membuang emosinya. Namun, hal yang ingin dilakukannya itu malah akan memperkeruh suasana. Seperti lelaki kebanyakan jika sedang marah adalah diam.
Samantha merebahkan tubuhnya juga di sofa. Ia membuang napas berat. Sama. Ia juga kehabisan kata-kata. Sungguh, keadaan yang melelahkan.
“Katamu dia misterius. Bagaimana jika aku mencari tahu tentangnya?”
“Untuk apa?” tanya Samantha lagi-lagi ketus.
“Tentu saja agar aku mengetahui latar belakangnya. Dan, kenapa dia mengikutimu, bahkan sekarang memberimu sebuah kado dengan cara yang seperti itu?”
Samantha bergumam sejenak lantas berkata. “Jadi, secara tidak langsung kau ingin menjauhkanku dengannya?”
“Ya, kau benar.”
“Itu sulit. Aku dan dia satu kampus dan satu apartemen. Masih ada kemungkinan untuk bertemu.”
“Apa kau suka jika bertemu dengannya?”
“Molla[8],” ucap Samantha lelah.
Jam tangan kulit yang melingkar di pergelangan tangan Jae Woon seakan menyuruhnya untuk pulang. Sudah malam, pukul 11.00. Dengan tubuh yang tidak keruan rasanya, ia berdiri dan melangkah gontai ke arah pintu.
“Kau mau pulang begitu saja?” Langkah Jae Woon terhenti. Samantha beranjak dari duduknya dan mendekat persis di belakang lelaki bertubuh atletis itu.
“Untuk beberapa hari, jangan berkomunikasi dulu. Kita harus introspeksi. Dan, untuk saat ini, jangan selidiki tentang asal-usul Autumn.” Samantha menambahkan.
Jae Woon membalikkan tubuh dan tanpa jeda yang lama, ia mengecup kening Samantha. Kedua tangannya mengalung di leher gadis itu. Ia menutup mata dengan paksa. Luka yang memenuhi hatinya membuatnya tidak berdaya.
“Aku pulang,” ucap Jae Woon dengan suara serak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H