Apa pun hal konyol yang dilakukan atau dipikirkan gadis itu, selalu ada alasannya. Ia menaiki bus agar bisa berbelanja di tempat yang lebih jauh. Tujuannya: agar bisa mengulur waktu lebih panjang lagi untuk berada di luar apartemennya.
Jenuh. Itu yang dirasakannya. Jae Woon—lelakinya—juga hanya menghubunginya satu kali sesaat sebelum melakukan persiapan untuk berbelanja.
Sam, maafkan aku belum bisa mengajakmu jalan-jalan.
Meski pun saat ia tinggal di Kanada lebih sering tidak bertemu Jae Woon, tapi, setidaknya ia tidak selalu sendirian di rumah. Di sana—di Kanada, ia tinggal dengan ayah, ibu, serta kakak laki-lakinya yang sering menjahilinya.
“Aish, Steven! Lebih baik kau menjahiliku daripada aku harus kesepian seperti ini. I miss you.”
Samantha tidak harus terlalu lama larut dalam lamunannya. Bus yang ditunggunya telah datang. Dengan sigap, ia pun menaikinya. Sepanjang jalan matanya tidak berhenti melihat ke luar jendela. Seolah membiarkan kedua pasang mata besarnya memasukkan keindahan malam kota Seoul ke dalam memori.
Samantha lelah. Terlebih kakinya yang ia pergunakan untuk berjalan ke sana kemari mencari benda-benda yang berada dalam list sepanjang lima belas senti yang ia buat.
Sembari mendorong keranjang belanjaan, ia mengecek apakah semua yang dibutuhkannya telah ia beli. Setelah itu, ia pun segera membayar benda-benda yang menggunung di keranjang kepada kasir dan berlalu pergi.
Tidak pergi begitu saja. Ia mampir ke café yang terletak di pusat perbelanjaan itu terlebih dahulu. Secangkir cokelat panas dan pastry yang didominasi dengan bahan cokelat kini sudah terhidang di mejanya.
Cokelat dapat memperbaiki mood seseorang. Pun itu juga yang dilakukan Samantha sekarang. Selain memang gadis itu adalah chocolate addict. Namun, akan percuma saja jika sedang memperbaiki mooddengan cokelat, Samantha masih saja digoda dengan kerlingan nakal seorang lelaki paruh baya yang letak tempat duduknya berada di depan Samantha.