Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Maraknya Kucing Jalanan dan Minimnya Faskes Korban Hewan Liar

29 Juli 2024   16:37 Diperbarui: 30 Juli 2024   07:55 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kucing (PIXABAY/LUKAS JANCICKA)

Mendengar pengalaman kakak perempuan saya, L dan E, saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala, tapi di antara segunung tanya, ada satu "big question" yang menyeruak: Mengapa hal ini terjadi di Indonesia?

Negara yang katanya kaya akan sumber daya alam (SDA), tapi sangat miskin dengan sumber daya manusia (SDM). Korupsi, matinya etika, lenyapnya rasa malu karena berbuat salah adalah salah tiga yang menggambarkan kemerosotan nilai SDM di negeri +62.

"E digigit kucing!"

Pernyataan mengagetkan dari L terlontar beberapa hari sesudah kejadian. Peristiwa beberapa bulan yang lalu ini yang membuat saya geregetan campur heran. 

"Waktu itu malam hari. Ada kucing yang sedang 'berdisko' di plafon.

"Sebenarnya sudah biasa. Karena ada sisi belakang rumah, khususnya antara atap dan plafon di belakang rumah yang tidak ada penutupnya, sehingga memudahkan kucing liar masuk. 

"Apalagi di perumahan ini, jarak antar rumah cukup rapat.

"Tak menyangka, salah satu plafon di kamar mandi jebol, karena perkelahian kucing di atasnya.

"E waktu itu ada di kamar depan, sekitar jam tujuh malam. Kaget karena keributan di kamar mandi, E segera beranjak ke kamar sebelah, menyalakan lampu kamar, lalu membuka pintu kamar mandi.

"Tidak siap dengan kemungkinan terburuk. Kucing liar yang nyasar ke kamar mandi melompat dan menggigit tangan E. E mencoba menangkap si kucing. Karena sulit, E nelepon aku malam itu. Minta tolong bantu nangkap kucingnya.

"Setelah berkutat lama, tertangkaplah sang kucing garong, Terpaksa aku sama E masukkan si kucing ke karung. Kita buang karungnya ke tempat sampah yang agak jauh dari rumah. Takut kucing kembali.

"Nah, persoalannya setelah itu adalah pergi ke rumah sakit secepatnya. Aku sama E naik taksi online aja. Gak berani bawa motor. Sudah malam. Gelap. Mataku sudah kurang awas. E juga.

"Sampai di rumah sakit, eh kita malah disuruh daftar dulu. Padahal itu di IGD! Perawatnya juga nggak nanya masalah calon pasiennya apa.

"Lama nunggu, ternyata zonk! Tidak ada vaksin anti rabies atau vaksin lain untuk pertolongan pertama pada korban hewan liar. 

"Jadi bagaimana adik saya ini?" begitu kataku pada sang dokter. Dokternya bilang, "Ibu sama adiknya bisa pergi ke Puskesmas 24 Jam yang ada di XYZ."

"Bayangkan, kita sudah lama nunggu. Eh, malah dengan entengnya si dokter bilang begitu! 

"Aku sama E buru-buru naik taksi online lagi ke Puskesmas yang disebut. Susah payah mencari. Selain jauh, lampu penerangan jalan juga kurang.

"Syukurlah, E dapat suntikan vaksin anti rabies. Tapi, ternyata ada lagi yang buat kita jengkel

"Perawat atau mantri, entahlah apa posisinya, yang menyuntik vaksin ke E ngomong begini, "Lain kali jangan berobat kesini kalau sudah malam seperti ini." 

"Gimana gak jengkel waktu dengar omongan seperti itu. Aku langsung ngomong gini, "Namanya musibah gak bisa pilih-pilih waktu, Pak. Lagian, ngapain juga nyusahin diri sendiri? Kami sudah keluar dana juga buat taksi online. Rugi banyak!"

"Tambah jengkel lagi waktu si mantri, bukannya minta maaf, tapi malah merespon," "Lain kali bisa dilihat kucingnya sehari setelahnya, apakah si kucing mempunyai penyakit atau tidak. Jika si kucing sehat, ibu tidak perlu berobat kemari meminta suntikan vaksin anti rabies."

"Kujawab lagi, "Itu kucing liar, Pak! Bukan kucing piaraan kami! Dia jebol plafon rumah karena kelahi dengan kucing lain. Dia melompat dan menggigit tangan adik saya. Spontan, Tiba-tiba.

"Lagian, kucingnya sudah kami karungin, dan karungnya kami buang ke tempat sampah. Masa kami harus pelototi si kucing sampai besok untuk memastikan dia berpenyakit atau tidak! Keburu adik saya terkena rabies dong!"

"Begitu aku bilang ke mantri. Gak ada empati sama sekali itu orang. Dikira kita sengaja kena penyakit," L mengakhiri keluh kesahnya.

"Ranjau darat" dimana-mana

Saya suka berolahraga di pagi hari. Lari menjadi pilihan. Selain murah meriah dari segi biaya, yaitu hanya perlu pakaian olahraga dan sepatu lari; juga fleksibilitas waktu yang menjadi keunggulan lainnya: bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, tidak memerlukan lapangan khusus layaknya olahraga-olahraga tertentu seperti bulutangkis, tenis, sepakbola, dan lain sebagainya.

Di tahun-tahun sebelumnya, saya berlari di Gelanggang Olahraga (GOR) Sempaja, yang lalu beralih nama menjadi GOR Kadrie Oening.

Udara bersih, jalan yang rata, dan terutama lingkungan yang asri yang membuat saya betah lari di sana, meskipun rutenya ya itu-itu saja.

Sayangnya, karena sesuatu dan lain hal, saya terpaksa pindah ke alamat yang lain. Rumah baru, suasana baru, dan yang paling merugikan: jauh dari GOR Kadrie Oening.

Melalui Google Map, saya melihat ada sekitar delapan kilometer rentang jarak membentang dari rumah saya ke GOR. Butuh waktu kira-kira 30 menit, setengah jam kalau berkendara dengan sepeda motor menuju GOR.

Terpaksa saya memilih lari di kompleks perumahan. Daripada membuang waktu di jalan dalam perjalanan ke GOR, lebih baik memanfaatkan 30 menit lari di "jogging track" alias jalanan di dekat rumah, yaitu di kompleks perumahan.

Secara pribadi, ada plus minus dari setiap hal.

Dulu, saya berlari di GOR Kadrie Oening karena letaknya tidak jauh dari kediaman saya. Selain tiga hal yang mendukung yaitu udara bersih, jalan rata, dan lingkungan asri; ada minusnya yaitu terkadang banjir menghadang di jalan menuju GOR.

Di kompleks perumahan, saya terpaksa berlari di area ini karena saya tidak punya pilihan lain. Area yang dekat rumah dan juga tidak di tepi jalan besar, jadi hanya di kompleks perumahan yang bisa dikategorikan minim polusi udara.

Sayangnya, ada hal lain yang mengurangi kenyamanan berlari di kompleks perumahan ini. Hal tersebut adalah banyaknya "ranjau darat" atau tokai atau tahi kucing di jalanan kompleks.

Terpaksa (lagi), saya harus pasang mata lebar-lebar saat menjejakkan kaki di aspal jalanan di hadapan. Salah-salah, sepatu yang sudah keren habis jadi habis kerennya karena ketempelan tokai/tahi kucing.

Problem yang muncul

Menurut pengamatan saya, ada 3 (tiga) masalah yang menyebabkan ketidaknyamanan dari dua peristiwa sebelumnya.

1. Populasi kucing liar tak terkendali

Saya tidak tahu berapa persisnya pertambahan populasi kucing liar di Indonesia pada umumnya dan di Samarinda pada khususnya. Namun apabila melihat di kompleks perumahan, ada banyak kucing liar yang wara-wiri berkeliaran di banyak blok.

Kucing bagaikan "wabah".

Bagaimana dengan di jalan raya?

Yah, kurang lebih sama saja. Bedanya di kompleks perumahan dimana saya tinggal, banyak kucing merajalela, entah lenggang kangkung dengan santainya, melibas halaman, pagar, dan atap rumah orang tanpa permisi; dan yang paling menjengkelkan kucing-kucing dengan mudahnya tidur-tidur di tengah jalan! Ya, Anda tidak salah baca! Beberapa kucing berebahan di tengah jalan tanpa memedulikan keselamatan diri.

Sebagai contoh betapa hebatnya pertambahan populasi kucing liar adalah keluhan dari para tetangga, yaitu emak-emak pada hari Senin pagi, 10 Juni 2024.

Salah satu emak, D, mengeluh keras, lebih tepatnya mengomel, mencak-mencak, karena lagi-lagi "tamu tak diundang" datang ke rumahnya dan "mengobok-obok" kebersihan serta kesegaran udara di sekitar.

"Aduuuh, kurang ajar nih kucing," omel D dengan volume memekakkan telinga, "Sudah kuusir, masih aja balik. Pusing aku! Bikin bau aja di sini!"

"Kamu pakai DEF kan? Emang gak mempan?" tanya emak T (DEF adalah salah satu merek karbol yang terkenal di Indonesia).

"Mana mempan! Udah kupel sama DEF tetep aja si meong balik," D geleng-geleng kepala.

"Kok bisa nyasar ke tempatmu, Say?" tanya T.

"Yah, salahku juga. Emak kucing beranak di atapku. Tiga ekor berojol. Bayangin! Awalnya sih gak masalah. Lama kelamaan mereka malah ngelunjak! Beol dan pipis sembarangan."

Akan menghabiskan berlembar-lembar kertas kalau menyangkut perbincangan para emak-emak. Singkat cerita, tidak ada solusi atas kenakalan para meong.

Saya juga pernah mengalami kucing beranak tiga di kos saya dulu. Sejak itu, kebersihan seakan susah terealisasi. Tiga anak kucing buang air besar dan air kecil sembarangan.

Untungnya ada teman kos yang "memindahkan" kucing-kucing tersebut. Akhirnya, Setelah berhari-hari tersiksa dengan kelakuan nakal para meong, keamanan dan kenyamanan kembali hadir di kos saat itu.

2. Tidak siapnya faskes dalam memberikan pertolongan pertama pada korban serangan hewan liar

IGD atau Instalasi gawat darurat.

Itulah tempat yang dituju bagi kebanyakan warga yang mengalami musibah, entah itu kecelakaan lalu lintas (lakalantas), mengidap penyakit kronis, atau hal-hal di luar kendali manusia.

Dimana posisi korban serangan hewan liar? Menurut saya, tentu saja dikategorikan pada hal-hal di luar kendali manusia. Apa pun fasilitas kesehatan (faskes) yang ada, sudah seharusnya siap dengan berbagai risiko yang menimpa setiap warga yang perlu segera mendapat penanganan medis terkait musibah yang mereka peroleh. 

Sebagai contoh, warga terkena gigitan ular berbisa; atau warga digigit anjing atau kucing liar. Seharusnya faskes yang ada dapat memberikan pertolongan pertama, khususnya memberikan vaksinasi anti rabies atau pengobatan darurat untuk membasmi "bisa" ular.

Jangan sampai menunggu merebaknya kasus gigitan anjing atau kucing liar dan pagutan ular berbisa baru pemerintah menyediakan penanganan.

3. Minimnya faskes korban hewan liar

"Cuma di puskesmas siaga ini tersedia vaksin anti rabies. Kalau untuk vaksinasi anti rabies lanjutan, ibu konfirmasi ke kami dulu, supaya kami cek dulu ketersediaan vaksin, karena dari Tenggarong, Bontang, Sangatta, dan kabupaten kota lainnya juga ambil vaksin di sini."

Perkataan sang mantri atau perawat (entah yang mana yang benar) menimbulkan tanda tanya besar di hati, apalagi ditambah dengan pernyataannya berikut, "Selain itu juga tidak banyak terjadi kasus gigitan kucing, anjing, ular, atau hewan-hewan liar lainnya, sehingga pasokan vaksin anti rabies dan obat- obatan penanganan pertama untuk korban hewan liar sangat terbatas, disesuaikan dengan kebutuhan...."

Pernyataan dari sang mantri patut diperdebatkan, "Tidak banyak terjadi kasus..." atau "menurun", kalau bisa dikatakan begitu, harus disertai dengan fakta dan data.

Fakta yang tak terbantahkan, terpampang di hadapan mata. Kucing liar ada di mana-mana. Menurut asumsi saya, mustahil kasus gigitan kucing liar tidak banyak,

Yang ada dalam benak saya, mengapa tidak banyak terjadi kasus, dilatari oleh 2 (dua) alasan.

Pertama, Kebanyakan warga berpikir rabies ditularkan oleh anjing, bukan kucing. Saya sendiri baru tahu beberapa tahun yang lalu bahwa kucing juga bisa membawa "rabies". Masifnya teknologi informasi membuka wawasan lebih lagi.

Kedua, Malasnya berobat ke faskes terdekat karena lamanya antrean. Sudah jamak terjadi di Indonesia kalau antrean mengular panjang di berbagai instansi pemerintahan.

"Sudah panjang, pelayanannya tidak ramah lagi," kata A, salah salah seorang teman yang menjalani layanan kesehatan di faskes terdekat dengan rumahnya.

Hanya satu faskes yang melayani penanganan kesehatan korban hewan liar tentu saja sangat tidak memadai, apalagi dengan jumlah penduduk di kota Samarinda yang terbilang banyak.

Bagaimana pemerintah bertindak?

Mungkin terlihat sepele, namun bila menyepelekan hal kecil, bagaimana dengan sesuatu yang besar?

Mungkin hanya di Indonesia saja, kucing bebas merdeka, berkeliaran sesuka hati, tanpa rasa takut ditangkap atau "diamankan" ke suatu tempat tertentu,

Itu asumsi saya, Entah benar, entah salah. Perkiraan saya, di negara-negara maju, populasi kucing tidak semarak dan juga tidak bebas wara-wiri di jalanan.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang pemerintah perlu lakukan demi menciptakan lingkungan yang bersih dan aman untuk warga.

1. Pemerintah melalui kementerian terkait harus menanggulangi maraknya populasi hewan liar

Berkembang biak sampai melahirkan tiga bahkan sampai lima anak kucing (kata tetangga) tentunya patut diwaspadai dan diantisipasi secepatnya.

Mengapa? Karena, selain tentu saja membuat lingkungan menjadi tidak bersih dengan kotoran-kotoran kucing yang menyertai, juga bahaya gigitan kucing liar yang mengintai anggota keluarga. Dan bukan hanya kucing liar yang harus diwaspadai. Anjing liar, ular, dan lain sebagainya patut mendapat perhatian serupa.

Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pemerintah melalui kementerian yang terkait menanggulangi maraknya populasi hewan liar seperti kucing ini.

Kalau tidak salah, saya pernah menonton di beberapa film layar lebar produksi Amerika Serikat (AS), ada instansi khusus yang menangani hewan liar yang berkeliaran di daerah AS.

Mereka mengamankan hewan-hewan yang menggelandang di jalanan, mengandangkan binatang-binatang tersebut (kucing, anjing, atau yang lainnya) di markas mereka.

Hewan-hewan yang mempunyai kalung nama di leher, menunjukkan bahwa mereka mempunyai majikan. Petugas-petugas instansi itu membuat beberapa selebaran berisi foto, ciri-ciri sang hewan, dan tercantum nomor telepon yang bisa dihubungi (film-film itu film- film lawas. Film lama. Belum ada internet saat itu).

Bagi warga yang merasa kehilangan, mereka bisa mendatangi instansi tersebut, siapa tahu hewan peliharaan mereka ada disana. Bagi yang melihat selebaran yang memuat info hewan peliharaannya, tentu saja sang pemilik merasa lega karena sang kucing atau anjing (atau hewan lain tertentu) berada di tangan yang tepat.

Entah bagaimana nasib hewan-hewan yang tak bertuan, karena tidak disinggung dalam film-film tersebut. Tapi kemungkinan, ada aturan hukum yang mengatur keberlangsungan hewan-hewan tersebut.

Kalau seandainya Indonesia mempunyai instansi yang menangani hewan-hewan liar seperti yang terlihat di film-film AS, niscaya jalan-jalan dan lingkungan (paling tidak) "bersih" dari hewan-hewan liar yang berkeliaran dan tidak jelas kepemilikannya.

2. Setiap rumah sakit melengkapi diri dengan kemampuan memberikan pertolongan pertama pada korban hewan liar

Seharusnya, antisipasi mencegah dengan penanganan segera kepada korban, apapun masalahnya, mengemuka. Bukan terlalu kaku mengikuti prosedur birokrasi dengan "daftar dulu"; mengantre sampai setengah jam lebih; dan pasien ternyata tidak mendapat pertolongan pertama, yaitu mendapat vaksin anti rabies, karena tidak ada persediaan vaksin tersebut di rumah sakit.

Korban ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga. Sudah harus antre lama, ternyata tidak mendapat pelayanan yang diharapkan, eh malah diarahkan ke faskes yang jauh, Puskesmas Siaga yang khusus hanya satu-satunya menangani korban hewan liar.

Lebih mahal ongkos taksi online-nya daripada harga satu kali suntik vaksin!

Terkadang saya bingung dengan kondisi di negeri +62 ini. Apa harus tunggu diviralkan dulu, baru ada perhatian dan penanganan dari pemerintah?

Apapun fasilitas kesehatan (faskes) yang tersedia, sudah seharusnya memandang warga sebagai sosok yang harus segera ditolong. Meskipun tidak ada vaksin anti rabies, paling tidak ada pemberian antiseptik untuk luka terbuka. 

Rumah sakit memang juga punya keterbatasan. Skala prioritas pada korban-korban penyakit tertentu yang berjumlah besar tentu saja mendapat perhatian yang lebih. Rabies, gigitan ular berbisa, atau hewan-hewan liar mungkin tidak banyak terjadi secara statistik.

Meskipun begitu, memberikan pertolongan pertama pada korban hewan liar seharusnya dapat dilakukan, apalagi oleh faskes sekelas rumah sakit. Meskipun ketiadaan vaksin, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan menolak pasien, apalagi pasien sudah menunggu giliran dipanggil sekian lama. Faktor kemanusiaan harusnya dikedepankan.

Memberikan pertolongan pertama seperti membersihkan luka dengan cairan antiseptik, memperban, dan lalu memberikan saran ke puskesmas siaga yang khusus menangani korban hewan liar akan lebih elegan dibanding lepas tangan tanpa upaya sama sekali dan langsung melimpahkan ke faskes lain.

3. Menambah jumlah faskes korban hewan liar dan tersebar merata di beberapa lokasi

Kaget saat mendengar hanya satu faskes yaitu sebuah Puskesmas Siaga yang mengurusi dan menangani korban hewan liar di Samarinda.

Lebih kaget lagi waktu mendengar puskesmas ini yang menjadi satu-satunya faskes yang mendistribusikan vaksin anti rabies dan lain-lain ke kabupaten/kota yang ada di sekitar seperti Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara (PPU), dan lain sebagainya.

Saya tidak tahu apakah kebijakan "sentralisasi" ini terjadi karena memang fakta dan data menunjukkan rendahnya kasus korban hewan liar, minimnya anggaran untuk menyediakan vaksin anti rabies, atau (malah) abainya pihak pemerintah dalam "melindungi" warganya.

Seharusnya perlu adanya pengumpulan fakta dan data di lapangan mengenai penyebaran hewan-hewan liar, khususnya kucing dan anjing jalanan, lalu seberapa banyak kasus penyerangan oleh hewan liar terjadi, entah itu gigitan atau cakaran.

Mungkin karena kurangnya kesadaran untuk berobat, kebanyakan warga menganggap enteng gigitan atau cakaran hewan liar tersebut (sebenarnya tak mengherankan karena melihat penanganan pengobatan di negeri ini sangat jauh dari kata "cepat dan melegakan". Yang ada adalah lama dan berbelit-belit).

Pemerintah seharusnya menambah jumlah faskes korban hewan liar dan tersebar merata di beberapa lokasi disesuaikan dengan fakta dan data jumlah populasi hewan liar dan kasus penyerangan hewan liar kepada warga.

Mengedukasi warga akan bahaya hewan-hewan liar perlu adanya demi mencegah menyebarnya penyakit. Selain itu, dengan adanya faskes-faskes tersebut di beberapa titik dapat memudahkan masyarakat untuk berobat ketika mereka menjadi korban hewan liar.

Bagaimana warga menyikapi?

Apakah warga diam dan berpangku tangan saja? Tentu saja, tidak berbuat apa-apa bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Ada banyak hal yang warga bisa perbuat dalam menghadapi maraknya populasi kucing liar.

1. Tidak sembarangan dalam memberi makan hewan liar dan dalam memelihara hewan piaraan

Mungkin perasaan kasihan yang timbul dalam hati.

Bisa juga merasa sayang pada anak-anak kucing yang berkeliaran. 

Memang tak salah dalam hati timbul belas kasihan. Sayangnya, apabila rasa sayang ditumpahkan kepada kucing-kucing liar, yang ada malah membuat para hewan kembaran harimau ini seperti "dikasih hati, minta jantung".

Bukannya berterimakasih, malah berkelakuan tidak sepatutnya. Air susu dibalas dengan air tuba.

Coba bayangkan. Kucing sudah dikasih makan, tapi sang kucing malah pipis dan buang air besar sembarangan di halaman rumah sang pemberi makan, bahkan sampai "bertebaran" di dalam rumah. Apa nggak kurang ajar namanya itu!

Lagipula, memberi makan kucing jalanan sama saja dengan "membudidayakan" hama. Alih-alih menguntungkan, malah merugikan. 

Mungkin ibarat larangan pemerintah di lampu merah yang melarang para pengguna jalan memberikan sedikit imbalan kepada anak jalanan, pengamen, pengemis, pedagang asongan, dan lain sebagainya, supaya tidak menimbulkan kerumunan orang di perempatan lampu lalu lintas.

Apabila hal yang sama dilakukan pada kucing jalanan, maka juga bisa dibilang sama. Memberi makan kucing liar, berarti "mengizinkan" mereka untuk menetap dan mengacak-acak tempat kediaman kita.

Mengajari kucing untuk sopan dan tahu etika membuang air kecil dan besar pada tempatnya?

Kalau ada yang bisa, saya langsung hubungi karena langka dan luar biasa hal seperti itu!

Memelihara hewan juga harus ada etika. Jangan dibiarkan keluyuran seenaknya, jangan membuat keonaran di berbagai tempat, dan jangan membuat kotor pekarangan atau halaman rumah tetangga dan penduduk sekitar. Jangan juga dibiarkan hewan piaraan buang air kecil dan besar di jalanan. Sangat mengganggu kenyamanan pengguna jalan.

2. Warga perlu mengetahui tentang pertolongan pertama pada korban hewan liar

Dengan adanya teknologi informasi yang mulai merata di Indonesia, mencari tahu pengetahuan bukan lagi persoalan yang sukar. Dari resep masakan sampai video tutorial belajar hal tertentu tersedia di dunia maya.

Dengan begitu, warga sebenarnya tidak akan menemui kesulitan untuk mengetahui bagaimana cara memberikan pertolongan pertama pada korban hewan liar. Karena ketergantungan kepada penanganan dari faskes tentu saja sangatlah riskan, apalagi kalau tempat kejadian sangat jauh dari faskes. Kemungkinan terburuk, korban bisa tidak tertolong jiwanya kalau tergigit oleh ular berbisa.

Belum lagi menimbang ruwetnya birokrasi di dalam faskes itu sendiri. Seperti kasus yang menimpa L dan E, alih-alih pihak IGD menangani langsung situasi darurat, malah mereka menyuruh L dan E mendaftar dulu, menunggu panggilan pelayanan kesehatan lebih dari 30 menit, dan ternyata hanya menimbulkan kekecewaan karena pihak IGD tidak bisa mengobati dan mengalihkan korban ke faskes lain yang khusus menangani kasus-kasus seperti yang E alami.

Dengan mengetahui cara memberikan pertolongan pertama, ada kepercayaan bahwa diri sanggup mengobati secara darurat, baik itu anggota keluarga, orang lain, atau diri sendiri.

Sehingga, warga tidak perlu terlalu panik dengan keadaan terluka akibat gigitan hewan liar, karena paling tidak diri mempunyai keterampilan dasar dalam memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.

3. Warga perlu memberikan vaksinasi berkala dan cek kesehatan rutin pada hewan peliharaan

Nah ini menjadi persoalan besar yang terus dikecil-kecilkan.

Sebagai contoh yang sudah sangat umum, kebanyakan warga tidak membawa hewan peliharaan tercinta ke dokter hewan untuk divaksinasi.

Anjing dan kucing peliharaan dibiarkan begitu saja. Bebas berkeliaran di dalam, bahkan sampai di luar rumah entah kemana.

Berkeriapan ayam di mana-mana, siapa tuannya juga tidak tahu adanya.

Sang majikan memeluk dan bercengkerama dengan hewan piaraan tersayang saat tiba di rumah setelah bekerja seharian. Bermain, bahkan sampai (maaf) mencium hewan kesayangan meluruhkan penat dan rasa lelah di raga.

"Padahal si kucing minum air di jamban toilet. Eh, si D dengan entengnya malah menciumi si kucing.

"Aku sudah bilangi D kalau kucingnya kotor. Minum air di jamban dan keluyuran seharian. Tapi dianya malah tetap cuek memeluk dan menciumi kucingnya," kata L, kakak perempuan saya, yang menceritakan tentang teman indekosnya dulu.

Hal yang sama juga terjadi pada tetangga dari kakak perempuan saya, E. Sang tetangga, P, yang seorang penjual nasi kuning dan beberapa penganan, dulunya memelihara beberapa kucing. 

"Kucing-kucingnya dibiarkan begitu aja. Keluyuran semaunya, sesukanya. Berak dan pipis sembarangan. Vaksinasi kucing? Kayaknya nggak deh. Aku cuma sekali aja beli nasi kuningnya. Setelah Itu nggak lagi. Jijik rasanya membayangkan kucing-kucing wara-wiri di rumahnya saat masak," E berkisah suatu kali.

Kesadaran warga untuk memvaksinasi hewan piaraan penting adanya demi kesehatan warga sekitar dan juga terutama anggota keluarga sendiri.

Mau anggota keluarga cacingan, kena rabies, atau sering sakit-sakitan karena terpapar bau kencing dan 'eek' kucing?

Saya yakin, tidak ada seorang pun yang menginginkan hal itu terjadi pada anggota keluarganya.

Vaksinasi adalah 'harga mati', tidak bisa ditawar-tawar lagi. Demi keamanan dan kesehatan keluarga.

Fatal mengabaikan hal kecil

Mungkin bagi kebanyakan orang, kucing adalah perkara kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.

Namun, hal yang 'terlihat' lumrah belum tentu benar. Kucing berkeliaran atau hewan-hewan lain bebas keluyuran di jalanan bukan saja membahayakan pengguna jalan; tapi juga mengancam keamanan, keselamatan, dan terutama kesehatan warga.

Pemerintah tidak boleh lepas tangan. Masyarakat tidak boleh mengabaikan eksistensi hewan-hewan liar yang bebas wara-wiri di jalanan dan rumah-rumah.

Menciptakan lingkungan yang bersih, sehat, dan aman, serta nyaman harus dimulai dari diri setiap insan. Apabila sudah timbul perasaan skeptis dan apatis, negara tidak akan kemana-mana. Tetap di tempatnya semula atau malah mundur lagi ke belakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun