Coba bayangkan. Kucing sudah dikasih makan, tapi sang kucing malah pipis dan buang air besar sembarangan di halaman rumah sang pemberi makan, bahkan sampai "bertebaran" di dalam rumah. Apa nggak kurang ajar namanya itu!
Lagipula, memberi makan kucing jalanan sama saja dengan "membudidayakan" hama. Alih-alih menguntungkan, malah merugikan.Â
Mungkin ibarat larangan pemerintah di lampu merah yang melarang para pengguna jalan memberikan sedikit imbalan kepada anak jalanan, pengamen, pengemis, pedagang asongan, dan lain sebagainya, supaya tidak menimbulkan kerumunan orang di perempatan lampu lalu lintas.
Apabila hal yang sama dilakukan pada kucing jalanan, maka juga bisa dibilang sama. Memberi makan kucing liar, berarti "mengizinkan" mereka untuk menetap dan mengacak-acak tempat kediaman kita.
Mengajari kucing untuk sopan dan tahu etika membuang air kecil dan besar pada tempatnya?
Kalau ada yang bisa, saya langsung hubungi karena langka dan luar biasa hal seperti itu!
Memelihara hewan juga harus ada etika. Jangan dibiarkan keluyuran seenaknya, jangan membuat keonaran di berbagai tempat, dan jangan membuat kotor pekarangan atau halaman rumah tetangga dan penduduk sekitar. Jangan juga dibiarkan hewan piaraan buang air kecil dan besar di jalanan. Sangat mengganggu kenyamanan pengguna jalan.
2. Warga perlu mengetahui tentang pertolongan pertama pada korban hewan liar
Dengan adanya teknologi informasi yang mulai merata di Indonesia, mencari tahu pengetahuan bukan lagi persoalan yang sukar. Dari resep masakan sampai video tutorial belajar hal tertentu tersedia di dunia maya.
Dengan begitu, warga sebenarnya tidak akan menemui kesulitan untuk mengetahui bagaimana cara memberikan pertolongan pertama pada korban hewan liar. Karena ketergantungan kepada penanganan dari faskes tentu saja sangatlah riskan, apalagi kalau tempat kejadian sangat jauh dari faskes. Kemungkinan terburuk, korban bisa tidak tertolong jiwanya kalau tergigit oleh ular berbisa.
Belum lagi menimbang ruwetnya birokrasi di dalam faskes itu sendiri. Seperti kasus yang menimpa L dan E, alih-alih pihak IGD menangani langsung situasi darurat, malah mereka menyuruh L dan E mendaftar dulu, menunggu panggilan pelayanan kesehatan lebih dari 30 menit, dan ternyata hanya menimbulkan kekecewaan karena pihak IGD tidak bisa mengobati dan mengalihkan korban ke faskes lain yang khusus menangani kasus-kasus seperti yang E alami.
Dengan mengetahui cara memberikan pertolongan pertama, ada kepercayaan bahwa diri sanggup mengobati secara darurat, baik itu anggota keluarga, orang lain, atau diri sendiri.